"Aku akan menikahinya, Rin," kata Bayu dengan suara berat.
"Memang seperti itu kan yang kalian rencanakan?" Bukannya menanggapi, Airin malah memberinya pertanyaan."Aku mohon, Rin, mengertilah. Dewi sedang mengandung anakku, darah dagingku, Rin," balas Bayu dengan suara memelas."Dengan menanam benihmu di rahimnya, tidak serta merta menjadikanmu seorang ayah, Mas! Anak yang lahir di luar pernikahan maka dia tidak bernasabkan ayahnya. Mas Bayu pasti tahu itu 'kan."Tajamnya ucapan Airin begitu menohok di telinga Bayu. Ya, tentu Bayu sangat tahu dan mengerti perkataan istrinya barusan. Namun, semua kajian yang pernah diikutinya dulu, terasa sangat berat untuk dijalankannya sekarang."Tidakkah kau berbelas kasihan kepadanya, Rin? Kepada bayi yang dikandungnya? Apa kau 'tak kasihan jika bayi itu lahir tanpa ayah?""Harusnya kalian pikirkan itu sebelum berbuat, Mas!"Airin mengusap air mata di wajahnya. Berat sekali kenyataan yang harus Airin hadapi. Sudah lima tahun lebih pernikahan, tetapi belum juga diberi momongan, dan sekarang harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa ada wanita lain yang sedang mengandung anak suaminya."Ceraikan aku, Mas! Dan kamu bisa berbuat sesukamu," ucap Airin dengan nada bergetar."Airin, please... Aku masih sangat mencintaimu. Aku tidak ingin kita berpisah. Aku menikahi Dewi hanya untuk mendapatkan anakku. Setelah anak itu lahir dan... aku berjanji akan menceraikannya saat itu juga. Setelah itu kita bisa merawat anak itu bersama-sama, dan keluarga kita akan menjadi keluarga yang sempurna seperti yang lainnya.""Kau sungguh naif, Mas. Apa kamu pikir aku masih sudi menjadi istrimu setelah apa yang kamu lakukan di belakangku?""Ceraikan aku sekarang juga!" kata Airin lantang. Kali ini tidak ada keraguan dalam ucapannya."Tidak, Rin! Aku 'gak akan ceraikan kamu. Kamu istriku, dan selamanya kamu akan tetap menjadi istriku. Karena aku sangat mencintaimu, Rin. Mengertilah, semua yang aku lakukan ini demi keluarga kita juga. Demi kebahagiaan kita, Rin." Bayu meraih bahu Airin dan mendekapnya."Bersabarlah, aku janji keluarga kita akan menjadi keluarga yang lengkap dan bahagia setelah anak itu lahir. Aku akan menjadi ayah dan kamu ibunya, Rin." Bayu memeluk erat istrinya, mendekapnya lebih dalam ke dadanya yang bidang."Lepaskan aku, Mas. Lapaskan. Tinggalkan aku sendiri, please. Aku ingin sendiri." Airin mendorong kuat tubuh Bayu agar menjauh, kemudian berjalan menjauh membelakangi suaminya. Bayu menjadi frustasi setelah segala bujuk rayunya tidak mampu meluluhkan hati istrinya. Istri yang selalu lemah lembut kepada-nya kini sudah tidak sama lagi setelah luka dalam yang dia torehkan di hatinya.Bayu mengacak kasar rambutnya. "Ah si_l, seharusnya Dewi merahasiakan kehamilannya, maka keadaan tidak akan menjadi kacau seperti ini", umpat Bayu dalam hati.***Dua hari sebelumnyaBu Fatma memandangi tamu yang duduk di depannya dengan pandangan menyelidik. Dia seorang perempuan yang cantik. Rambutnya panjang tergerai, dan wajahnya mulus terawat. Meski tidak berhijab seperti Airin menantunya, pakainya terbilang sopan."Maaf, tadi siapa namanya yah, Mba?" tanya Bu Fatma kepada tamunya."Dewi, Tante. Nama saya Dewi," jawab Dewi sedikit gugup."Jadi, Mba Dewi ada perlu apa yah datang kemari?""Em... Saya temannya Mas Bayu, Tante." "Temannya Mas... Bayu? Maksudnya teman... ?" Bu Fatma menggantungkan pertanyaannya di udara, ketika dari belakang menantunya, Airin, membawakan tamunya minuman."Silahkan diminum, Mba," ucap Airin sopan setelah meletakkan secangkir teh di atas meja."Iya , Mba, terimakasih," jawab Dewi malu-malu, lalu mengambil cangkir teh tersebut dan menyesapnya. Matanya tak berkedip memandangi perempuan berhijab sekarang dia duduk persis di hadapannya. 'Ini pasti istrinya Mas Bayu, cantik!' gumam Dewi dalam hati."Airin, Mba Dewi ini katanya temannya Bayu. Kamu kenal?" tanya Bu Fatma kepada menantunya."Dewi?" tanya Airin. Dahinya berkernyit mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi seingatnya tidak ada teman suaminya yang bernama Dewi."Em...Maaf. Sepertinya kita belum pernah bertemu sebelumnya. Saya gak tau kalau anda temannya Mas Bayu. Atau sayanya yang lupa yah," ucap Airin sedikit bingung."Saya teman kerjanya, i-iya saya teman kerja Mas Bayu," ucap Dewi bergetar. Kali ini Dewi benar-benar bingung bagaimana harus mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumah ini."Oh teman kerja. Tapi maaf, Mba, kalau Mba ada urusan kerjaan dengan Mas Bayu, lebih baik, Mba Dewi ke kantornya saja. Kalau jam segini Mas Bayu pasti masih di kantornya.""Oh bukan-bukan. Saya sebenarnya kesini bukan untuk menemui Mas Bayu. Tapi saya kesini untuk menemui Mba Airin.""Bertemu dengan saya?" tanya Airin yang masih bingung."Mba... Mba Airin 'kan, istrinya Mas Bayu?" tanya Dewi mencari kepastian."Iya, Mba saya Airin istrinya Mas Bayu. Ada perlu apa yah dengan saya? Kalau Mba ada keperluan yang berhubungan dengan kerjaan Mas Bayu, terus terang saya kurang paham." "Tidak, Mba, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan Mas Bayu. Tapi ini berhubungan dengan hubungan saya dengan Mas Bayu.""Hubungan yang bagaimana maksudnya, Mba Dewi?" ucap Bu Fatma penasaran. Sebenarnya apa yang ingin diungkapkan perempuan ini?"Ya hubungan antara laki-laki dan perempuan," ucap Dewi tegas. Kali ini dia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan tujuannya datang kesini."Maksudnya?" tanya Airin penasaran."Saya hamil, Mba. Saya hamil anaknya Mas Bayu" ucap Dewi tanpa ragu-ragu."Apa?" ucap Airin dan Bu Fatma hampir bersamaan."Kamu jangan bicara sembarangan yah tentang anak saya. Mana mungkin anak saya menghamili perempuan yang bukan istrinya," ucap Bu Fatma lantang."Benar tante, saya tidak bohong. Saya sedang mengandung anaknya Mas Bayu," ucap Dewi bersungguh-sungguh."Kalau Tante tidak percaya dengan ucapan saya, tante bisa menanyakannya sendiri kepada Mas Bayu, anak Tante. Dia pasti tidak akan mengelak nya.""Hem. Percaya diri sekali kamu ini. Tidak mungkin anak saya yang Sholeh itu mau menghamili kamu. Jangan mengada-ada. Kamu bisa saya tuntut atas tuduhan pencemaran nama baik anakku.""Silahkan, Tante, saya tidak takut. Karena apa yang saya ungkapkan adalah kebenaran dan fakta.""Apa Mas Bayu tau kalau Mba Dewi sedang hamil?" tanya Airin tiba-tiba. Entah bagaimana, dia merasa kalau perempuan didepannya kini tidak sedang berbohong."Airin! Kamu jangan percaya begitu saja dong dengan ucapan perempuan gak jelas ini!" ucap Bu Fatma jengkel."Iya, Mba. Mas Bayu tau. Dia bahkan berjanji akan menikahi saya. Hanya saja dia belum berani untuk berbicara dengan keluarganya. Makanya saya nekat datang kesini, Mba." Seketika suasana menjadi hening. Bu Fatma memijat kepalanya yang sedikit pusing. Sedang Airin duduk termangu, larut dengan pikirannya sendiri.Saat ini yang paling terguncang adalah Airin. Meski dia harus menanyakan dulu kebenaran cerita perempuan ini kepada Bayu suaminya. Namun sebagai perempuan dia merasa jika perempuan ini tidak sedang main-main dengan ucapannya."Apa yang saya ingin sampaikan, sudah saya sampaikan. Maaf saya pamit." Merasa sudah melakukan apa yang menjadi tujuannya, Dewi segera beranjak keluar dari rumah besar itu.***"Harusnya kamu bersabar sedikit lagi, Wi," ucap Bayu sedikit kesal."Sampai kapan aku harus bersabar, Mas. Perutku ini akan semakin besar dan orang-orang akan mulai menggunjingku. Apa kamu tidak memikirkan perasaanku juga, Mas?" Dewi mulai kesal, kedua tangannya dilipat didada."Iya, Mas ngerti, tapi semua juga harus dipikirkan dulu matang-matang. Gak bisa kita bertindak terburu-buru seperti itu, Wi. Ini juga demi masa depan kita dan bayi kita nantinya. Iya 'kan!" Bayu merangkul pundak Dewi dan mencium pipinya."Memang apa kata istrimu, Mas?" Dewi menyandarkan kepalanya di dada Bayu."Dia minta cerai!" Jawab Bayu ketus."Bagus dong, Mas. Jadi kita bisa segera menikah," ucap Dewi riang. Senyum tersungging di bibirnya yang mungil mendengar perkataan Bayu barusan."Tapi aku 'tak ingin menceraikannya. Aku masih mencintainya, Wi. Dia adalah cinta pertamaku." Bayu mengurai pelukannya."Sialan kamu, Mas. Lalu kamu anggap apa aku ini, Mas? Kamu juga bilang mencintaiku. Jadi aku ini cinta ked
Plak! Plak!Dua tamparan keras mendarat di kedua pipi Bayu. Panas dan perih terasa. Sakit sudah pasti, lebih-lebih hatinya. Dipermalukan di depan Ibu dan Istrinya membuat harga dirinya terinjak-injak.Bu Fatma yang duduk di dekatkan sontak terkaget, dia tidak menyangka jika suaminya Guntur Suseno akan semarah ini. Sedang Airin hanya diam tak berekspresi. Saat ini hatinya lah yang paling tersakiti."Anak 'tak tau diri! Kamu ingin mencoreng nama baik keluarga ini, hah! Bikin malu saja," umpat Pak Guntur lantang. Tangannya terangkat untuk menampar pipi anaknya untuk ketiga kalinya, namun di urungkannya."Jika kamu memang menginginkan anak, kamu kan bisa menikah lagi bukannya malah menghamili anak perempuan orang.""Apa kamu tau siapa Dewi itu? Bagaimana keluarganya? Bagaimana sifatnya, bibit dan bobotnya? Hah! Apa kamu pikirkan itu?""Dewi perempuan baik-baik, Pah!" ucap Bayu membela diri."Omong kosong! Perempuan baik macam apa yang punya hubungan gelap dengan laki-laki beristri.""Aku
"Jadi beneran kamu mau bercerai dengan Mas Bayu, Rin?" tanya Nirma penasaran."Iya, Nir. Keputusan ku sudah bulat," jawab Airin yakin. Disedotnya lemon tea yang dipesannya, matanya menerawang hampa."Aku gak nyangka kalo Mas Bayu bisa berbuat seperti itu. Setahuku dia 'kan alim kayak kamu," ucap Nirma tak percaya dengan apa yang dihadapi sahabat baiknya itu."Apa kamu yakin kalau anak yang dikandung perempuan itu memang benar-benar anaknya Mas Bayu? Bisa saja 'kan dia cuma ngaku-ngaku biar Mas Bayu mau menikahi nya," tanya Nirma lagi."Entahlah, Nir. Aku gak terlalu peduli itu anak Mas Bayu apa bukan. Yang jelas Mas Bayu mengakui dia ada hubungan dengan perempuan itu. Bagiku itu alasan yang sangat cukup untuk berpisah darinya," ucap Airin datar."Kamu yang sabar yah, Rin. Apapun keputusan mu, aku akan selalu ada untukmu," ucap Nirma menghibur. Dirangkulnya bahu sahabat karibnya itu."Thanks yah," ucap Airin sembari mengurai pelukan sahabatnya."Apa aku ini memang kurang peka yah, Nir?
Pukul tiga kosong-kosong, Airin masih terjaga dalam sujud nya. Menghabiskan sepertiga malam terakhir dengan bermunajat kepada Sang Pencipta, mengadukan segala masalah yang dihadapinya kepada Sang Penguasa kehidupan. Apa pun yang terjadi, tentu semua atas kehendak Ilahi.Enam tahun pernikahan bukanlah waktu yang sebentar, ujian datang silih berganti. Menjadi menantu di keluarga kaya raya tidaklah semudah yang orang lain bayangkan. Latar belakang keluarga yang berbeda membuat keluarga Bayu tidak menerima nya diawal-awal pernikahan, namun semua itu Airin hadapi dengan kesabaran. Dia selalu berusaha untuk menjadi istri dan menantu yang berbakti kepada suami dan juga keluarganya.Berkat kesungguhan dan kesabaran Airin untuk membaktikan diri di keluarga suaminya, seiring berjalannya waktu keluarga ini pun lambat laun menerimanya menjadi bagian dari keluarga. Terlebih-lebih nenek dan ayah mertuanya sangat menyayangi nya. Bahkan mereka sudah menganggap nya seperti putri mereka sendiri. Hanya
Airin berdiri mematung di depan jendela kamarnya. Agak lama dia melamun di sana, matanya melihat keluar kepada pohon mangga besar yang mengembangkan daunnya yang rimbun. Di sana sini nampak sinar bulan jatuh dari antara sela-sela daun yang rimbun. Dibukanya lebih lebar jendela kamarnya, sejauh mata memandang nampak sinar bulan purnama yang putih lembut.Sudah empat purnama dia tinggal di rumah ini semenjak kepergian nya dari rumah suaminya. Mantan suami lebih tepatnya, karena sekarang sudah habislah masa Iddah nya. Sudah sah dia menjadi janda yang diceraikan. Semenjak kepulangannya, hari-hari nya lebih banyak dihabiskan di dalam rumah. Sesekali dia pergi ke Toko meubel Mas Rahman kakaknya, hanya sekedar mengantarkan makanan atau berkunjung, terkadang dia juga mengantarkan Raka keponakan bersekolah. Untunglah di rumah ada Ibu, Mba Laras, dan anak-anaknya sehingga waktu tidak terasa sepi.Sebenarnya dia sudah mengutarakan keinginnya untuk bekerja di toko Mas Rahman. Akan tetapi Mas Ra
"Astaghfirullah! Dompet saya gak ada, Mba." ucap Airin kepada Mba kasir."Jadi ini, jadi dibeli gak, Mba?""Bentar yah mba aku telpon temanku dulu." Airin mengeluarkan hp dari dalam tasnya. Mencoba menghubungi Nirma, akan tetapi tidak ada jawaban."Maaf yah Mba, saya gak jadi beli bukunya," ucap Airin kecewa dan meninggalkan meja kasir dengan perasaan menyesal."Mau numpang baca aja, pura-pura beli," ucap Mba kasir lemah, namun masih dapat terdengar oleh Airin yang baru beberapa langkah saja meninggalkan meja kasir. Airin jadi tidak enak hati.Diluar toko buku, Airin berkali-kali menghubungi Nirma, namun tidak ada jawaban. Di acara sebising itu pasti Nirma tidak akan mendengar panggilan telepon nya. "Jatuh di mana yah dompetnya. Perasaan tadi langsung masukin ke tas," gumam Airin. Diketiknya sebuah pesan untuk Nirma.***Pukul 12.00 acara baru selesai, Nirma membuka HP ny
Senin pagi yang cerah untuk memulai kesibukan. Ya, kesibukan adalah obat terbaik untuk melupakan banyak hal. Itulah yang saat ini Airin lakukan. Dengan bekerja di Toko Mas Rahman akan membuat hari-harinya cepat berlalu tanpa terasa.Sebenarnya hari ini bukanlah pertama kalinya untuk Airin bekerja di sana. Sebelum menikah dengan Bayu, setelah menamatkan diploma nya dia bekerja di sana membantu kakaknya di bagian administrasi. Dan sekarang dia juga ditempatkan di bagian yang sama.Dikeluarkan nya kartu identitasnya yang baru setelah sebelumnya dirubah di kantor dinas terkait , tertera di sana status nya sudah berubah menjadi 'cerai hidup'. Sebelumnya dia berpikir jika tulisan yang akan tertera di sana adalah 'janda'. Airin senyum-senyum sendiri mengingat nya.Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Ada panggilan masuk, dari Nirma."Airinnn...!" ucap Nirma girang."Assalamualaikum, Nirma.""Waalaik
Arga segera memasuki toko. Dilihatnya toko tersebut lengang."Permisi, Assalamualaikum." ucap Arga, namun tidak ada jawaban."Permisi, Assalamualaikum." ucap Arga sekali lagi. "Waalaikumsalam," jawab seorang perempuan dari dalam ruangan."Mana orangnya?" gumam Arga. Matanya sibuk mencari sumber suara yang menjawab salamnya, tapi tidak juga menampakkan wajahnya."Maaf tadi saya tinggal ke dalam sebentar. Ada yang bisa saya bantu?" ucap Airin yang baru keluar dari ruangannya.Arga menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya perempuan yang baru keluar dari ruangan di ujung toko dengan sedikit terkejut."Dia 'kan... yang waktu itu nabrak aku di mall," gumam Arga.Diperhatikan seperti itu oleh seorang laki-laki, Airin merasa tidak nyaman, apalagi di toko hanya tinggal mereka berdua. Ratna dan Sisca sedang makan siang di ruangan belakang. Akan tetapi Airin harus tetap bersikap ram