Share

Dukungan

"Jadi beneran kamu mau bercerai dengan Mas Bayu, Rin?" tanya Nirma penasaran.

"Iya, Nir. Keputusan ku sudah bulat," jawab Airin yakin. Disedotnya lemon tea yang dipesannya, matanya menerawang hampa.

"Aku gak nyangka kalo Mas Bayu bisa berbuat seperti itu. Setahuku dia 'kan alim kayak kamu," ucap Nirma tak percaya dengan apa yang dihadapi sahabat baiknya itu.

"Apa kamu yakin kalau anak yang dikandung perempuan itu memang benar-benar anaknya Mas Bayu? Bisa saja 'kan dia cuma ngaku-ngaku biar Mas Bayu mau menikahi nya," tanya Nirma lagi.

"Entahlah, Nir. Aku gak terlalu peduli itu anak Mas Bayu apa bukan. Yang jelas Mas Bayu mengakui dia ada hubungan dengan perempuan itu. Bagiku itu alasan yang sangat cukup untuk berpisah darinya," ucap Airin datar.

"Kamu yang sabar yah, Rin. Apapun keputusan mu, aku akan selalu ada untukmu," ucap Nirma menghibur. Dirangkulnya bahu sahabat karibnya itu.

"Thanks yah," ucap Airin sembari mengurai pelukan sahabatnya.

"Apa aku ini memang kurang peka yah, Nir? Selama enam bulan terkahir aku bahkan tidak merasa ada yang berbeda dengan Mas Bayu. Kalau saja perempuan itu tidak datang kerumah dan memberi tahu semuanya, mungkin sampai saat ini mereka akan terus-terusan bermain dibelakang ku," ucap Airin sedih.

"Sudahlah, Rin, jangan terlalu dipikirkan. Kamu bukannya kurang peka, hanya saja kamu terlalu baik sehingga tidak curiga ternyata sudah dicurangi Bayu."

"Apa Ibumu sudah tahu, Rin?" tanya Nirma cemas.

"Itulah yang jadi beban dipikiran ku, Nir. Kamu tahu 'kan kalau keluarga ku dulu kurang terlalu setuju aku menikah dengan Mas Bayu. Dan sekarang aku harus menghadapi ini semua mungkin juga karena dulu aku gak dengerin orang tuaku, Nir."

"Sudahlah, Rin. Tidak perlu terlalu disesali, bukankah semua yang terjadi itu sudah takdir."

Mendengar ucapan Nirma yang mendadak bijak, Airin tersenyum.

"Tumben nih kamu bijak," ucap Airin sambil tersenyum meledek.

"Baru tahu yah kalau sekarang sahabat mu ini sudah menjadi orang bijak," ucap Nirma sedikit jengkel.

"Iya Nirma manis, sahabat ku yang paling cantik. Jangan ngambek gitu dong nanti gak cantik lagi loh," ucap Airin membujuk. Tangannya mencubit pipi sahabatnya. Gemas!

"Aw sakit tau. Pacarku aja gak pernah cubit-cubit" 

"Iya maaf, makanya jangan cemberut dong. Udah mau asar nih. Kita pulang yuk!" Ajak Airin.

"Baru jam tiga, Rin! Azan masih lama sayang. Kita jalan-jalan ke atas bentar yuk. Ada baju-baju bagus nih."

"Gak bisa, Nir. Aku harus pulang. Nenek sapa nanti yang ngurusin?"

"Ya Allah, Rin. Dirumah 'kan banyak orang. Ayolah, jarang-jarang 'kan kamu keluar rumah," ajak Nirma memaksa.

"Iya deh, tapi cuma sebentar aja yah,"

"Oke deh."

Airin memutuskan untuk mengikuti ajakan Nirma. Berjalan-jalan dan melihat-lihat sebentar mungkin bisa menghilangkan sejenak beban di hatinya. Terlalu larut dalam kesedihan juga tidak ada gunanya. Toh sudah cukup lama juga dia tidak keluar rumah selama ini. Tugasnya menjaga Nenek membuatnya tidak bisa berlama-lama berada diluar rumah. 

***

Airin memasuki rumah dengan sedikit terburu-buru. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore lewat, dia sedikit terlambat kali ini. Meski dia sudah menghubungi Bi Nah sebelumnya untuk menggantikan nya mengurus Nenek, namun dia masih sedikit khawatir.

"Jam berapa sekarang kamu baru pulang?" Terdengar suara Bu Fatma mengagetkan Airin dari belakang. Tangannya disilangkan di depan dada tanda 'tak suka.

"Maaf, Ma, tadi jalanan sedikit macet," ucap Airin memberi alasan.

"Jangan mentang-mentang kamu ingin bercerai dengan Bayu, terus kamu bisa pergi-pergi semaunya yah, Rin," ucap Bu Fatma ketus.

"Bagaimana pun sekarang kamu masih menjadi menantu di rumah ini. Kamu tidak boleh melupakan apa yang sudah menjadi tanggungjawab mu," lanjut Bu Fatma.

"Maaf, Ma, sudah mau magrib. Airin masuk kamar dulu," pamit Airin sopan dan berlalu  meninggalkan Bu Fatma yang masih jengkel.

"Eh diajak bicara malah nyelonong aja. Dasar menantu tidak sopan. Sudah berani kamu yah sekarang!" ucap Bu Fatma sedikit berteriak.

Airin sejenak menghentikan langkahnya, menarik nafas panjang dan menghembuskan nya kuat-kuat, kemudian berlalu meninggalkan mertuanya yang semakin jengkel.

***

Pak Guntur menikmati makan malamnya hanya ditemani istrinya. Sudah seminggu lebih suasana seperti ini terjadi. Duduk berdua di meja makan hanya dengan istrinya.

"Semalam Bayu tidak pulang lagi, Ma?" tanya Pak Suseno sambil tangannya menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Untuk apa dia pulang jika dirumah dia disambut dengan wajah masam istrinya," jawab Bu Fatma kesal.

Mendengar jawaban istrinya, Pak Guntur seketika meletakkan sendok nya lalu mengambil segelas air dan meminumnya.

"Lama-lama rumah ini semakin tidak nyaman saja. Semua ini karena ulah anakmu."

"Papa jangan bisanya nyalahin Bayu terus dong, Pa! Kalau menantu kesayangan mu bisa memberikan anak untu Bayu, 'tak mungkin dia mencari wanita lain di luaran. Salahin juga tuh menantu mu yang mandul."

"Cukup, Ma! Apapun alasannya, tindakan Bayu tidak bisa dibenarkan," bentak Pak Guntur lantang dan pergi meninggalkan istrinya begitu saja.

***

Pak Guntur duduk di ruang kerjanya. Banyak yang harus dipikirkan nya akhir-akhir ini. Sebagai pimpinan di perusahaan developer ternama tentu banyak tanggungjawab yang harus diemban nya, ditambah lagi dengan masalah rumah tangga putranya. Secepatnya dia harus mengambil tindakan yang bijak demi kedamaian keluarga.

Tok tok tok

Terdengar suara pintu diketuk kemudian terbuka.

"Papa panggil saya?" tanya Airin.

"Masuklah, Papa ingin bicara."

Airin menarik kursi yang ada di depan meja kerja mertuanya, kemudian dia duduk dengan sopan.

"Apa sudah kamu pikirkan dengan matang, Rin, keputusan mu untuk berpisah dengan Bayu."

"Sudah Airin pikirkan dengan matang-matang, Pa," ucap Airin tanpa ragu.

"Tidakkah kamu pertimbangan kan kembali keputusan mu itu?"

"Maaf, Pa. Keputusan Airin sudah bulat untuk bercerai dengan Mas Bayu."

"Baiklah jika memang seperti itu keputusan mu, Papa akan menghargai nya. Papa hanya tidak ingin kamu menyesalinya di kemudian hari."

"Insyaallah tidak, Pa." ucap Airin penuh keyakinan.

"Papa dulu pernah menjanjikan Airin untuk boleh meminta apa saja yang Airin inginkan karena sudah menjaga Nenek. Bolehkah jika Airin memintanya sekarang?"

"Katakanlah. Kamu berhak meminta apa saja selama Papa mampu mewujudkan nya."

"Tolong bantu Airin untuk bercerai dari Mas Bayu?"

Pak Guntur terkejut mendengar permintaan Airin. Ditatapnya wajah menantu nya lekat-lekat seolah-olah tidak yakin bahwa permintaan itu keluar dari mulut menantu nya.

"Kenapa kamu meminta sesuatu yang sangat sulit, Rin?" ucap Pak Guntur lemah.

"Airin mohon, Pah. Jika Papa benar sudah menganggap Airin sebagai putri Papa sendiri dan bukannya menantu, Papa pasti mengerti perasaan Airin sekarang." Air mata Airin mulai mengalir di kedua netranya.

"Bagaimana mungkin Papa akan membantu mu meninggalkan rumah ini jika Papa sudah menganggap kamu seperti putri Papa sendiri, Rin?"

"Tapi yang Airin inginkan saat ini adalah bercerai dengan Mas Bayu secepatnya, Pa. Airin mohon penuhi janji Papa untuk terakhir kali. Airin tidak menginginkan apa-apa lagi, Pa," ucap Airin memelas, air matanya membanjiri kedua netranya.

Sebenarnya bisa saja Airin mengajukan sendiri gugatan cerainya ke pengadilan. Akan tetapi hal itu pasti akan membutuhkan waktu yang lama dan berbelit-belit, karena Bayu menolak untuk menceraikan nya.

"Sudah Airin jangan menangis lagi, Papa tidak tahan jika melihat perempuan menangis. Apalagi jika yang menangis itu adalah menantu yang sudah Papa anggap putri Papa sendiri," ucap Pak Suseno menenangkan menantunya. Tangannya memegang kedua bahu Airin mencoba menenangkan.

"Papa akan mempertimbangkan permintaan mu itu, Rin. Tapi Papa tidak janji bisa mengabulkan nya. Kamu membuat permintaan yang sangat sulit Papa wujudkan Airin," ucap Pak Suseno ragu.

"Terimakasih, Pa. Airin sangat berharap Papa mau mengabulkan pepermintaan Airin." Airin undur diri meninggalkan Pak Guntur yang berdiri membelakangi nya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status