Share

Introducing Dimas, A Single Parent

Acara mandi pagi hari itu bisa jadi merupakan mandi yang mengesalkan yang Dimas pernah alami. Sabun sudah tersisa sebuku ibu jari. Odol harus ia kuras sekuat tenaga dari ujung hingga ke bibir tube. Shampo yang diperbanyak dengan cara dicampur air hanya menyisakan tiga-empat tetes terakhir. Belum cukup dengan itu, cobaan berikutnya muncul lagi.

Air di bak untuk dirinya mandi hanya tersisa setengah tegel. Itu mungkin kuantitas yang cukup untuk ia mandi. Namun, dengan lantai bak tersaput lapisan lumpur tipis sebagai residu penampungan air selama satu minggu, Dimas tidak yakin ia bisa cukup mandi saat itu. Guncangan yang tiimbul akibat dari cedokan air sekecil apapun akan menyebabkan endapan lumpur tadi tercampur dengan air ledeng.

Ini menyebalkan Dimas. Tak terbayang ia harus keramas dan mandi dengan air kecoklatan.

Ya, kendati bukan merupakan karyawan tetap yang terpaku bekerja di sebuah institusi perusahaan, sebagai penulis lepas yang harus memasok berbagai tulisan ke sejumlah penerbit, kesegaran fisik dan pikiran merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar. Tak habis pikir oleh Dimas seandainya ia harus menulis buku dan berbagai artikel dalam keadaan kurang segar. Apa yang harus ia tulis? Ia tidak cukup bodoh mempertaruhkan nama besarnya sebagai penulis artikel dan terutama sebagai novelis best-seller untuk menghasilkan karya-karya asal jadi.

Untuk berkarya maksimal, ia harus selalu dalam keadaan mood. Dan itu sulit tercapai jika melihat debit air yang tersisa di bak mandinya.

Tapi apa boleh buat, pikirnya. Dimas sadar bahwa ia tak punya pilihan lain. Mau tidak mau ia harus dalam keadaan segar kendati untuk itu ia harus mandi dengan air kecoklatan tadi. Keputusan untuk tidak mandi adalah keputusan yang jauh lebih bodoh lagi, demikian pikirnya. Apalagi ia memiliki sebuah urusan maha penting dengan sebuah penerbit besar pagi hari itu.

Ia baru saja menyelesaikan keramas dan mandi paginya ketika terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar.

Tok! Tok!

“Tunggu sebentar!“ cetus Dimas setengah berteriak sembari membalut tubuhnya dengan handuk.

Ah Niken-ku, pikir Dimas. Penghuni rumah kedua selain dirinya itu memang sering demikian. Mengetuk pintu untuk kemudian ikut mandi, mengantar handuk yang Dimas kerap lupa bawa atau sekedar untuk menyampaikan kabar kecil yang sering dianggapnya berita maha penting.

Di usianya yang masih enam tahun, Niken begitu menggemaskan Dimas. Itu sebabnya Dimas bermaksud mengusili dengan cara mengagetkannya. Dimas lantas diam. Menunggu hingga pintu diketuk untuk keduakalinya.

Dan benar. Pintu diketuk kembali. Sebelum Niken bersuara, Dimas meraih gagang pintu, memutar dan langsung membuka pintu dengan cara mendadak.

“Ada apa, sayangku?!“

Orang yang tadi mengetuk pintu terkesiap kaget.

Terlebih lagi Dimas begitu menyadari bahwa yang ada di depannya bukan sosok gadis mungil penuh pesona, melainkan sosok wanita empat puluhan tahun dengan kunyahan daun sirihnya yang khas.

Mbak Sarni.

Pembantu paruh waktu yang diminta Dimas untuk mengurus kebutuhan di rumahnya selama ini.

“A-ada apa, mbak?“ Dimas tergagap sembari kembali mengencangkan handuk yang dirasanya melonggar.

Mbak Sarni tidak segera menjawab. Mungkin masih terkaget karena dipanggil dengan sebutan ’sayang’ dari pria di depannya.

“Anu, mas Dimas mandi pakai apa?“

Dimas nampak bingung dengan pertanyaan tadi.

“Dengan air ledeng tentunya.“

“Maksud mbak, pakai air yang dari mana? Dari bak?“

Dimas mengangguk. “Ya.“

Melihat mbak Sarni nampak menyesal, Dimas nampak heran. “Memang kenapa, mbak?“

“Kenapa mas Dimas pakai air dari bak?“

“Memang kenapa?“ raut Dimas nampak semakin menunjukkan keheranan.

“Sehabis mas Dimas dan Niken pergi, air itu rencananya akan mbak kuras pagi ini.“

“Dikuras?“ Dimas protes.

“Lalu aku harus mandi dimana?“

Dimas gemas ketika mbak Sarni memberikan jawabannya.

“Lho, mbak sudah siapkan air satu gentong untuk kalian mandi. Gentong yang di dekat dapur itu lho. Tahu kan?“

*

Niken memang sedang tidak di rumah. Tepatnya, tidak berada di unit rumah susun dimana ia selama ini tinggal bersama Dimas, ayahnya. Saat ia bangun tidur dan tidak menemukan Dimas, Niken langsung bermain ke rumah Deni yang berada di unit sebelahnya. Di rumah Deni yang seumur dengannya, Niken menemukan kesenangan baru dengan hadirnya seperangkat playstation yang dibelikan orangtua Deni kepada puteranya.

Deni sebetulnya tergolong murah hati. Ia sering berbagi bukan hanya dengan Niken tapi juga dengan anak-anak lain. Namun karena banyaknya anak yang ingin ikut bermain, Niken lebih sering duduk sebagai penonton. Kesempatan bermain playstation yang langka ia dapatkan, pun hanya dapat ia mainkan tidak lebih dari lima menit. Selain karena ia sudah ditunggui anak lain, hal itu juga karena Niken masih belum banyak menguasai game yang dimainkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status