Profesor Senjaya menatap tajam. “Aku ingin benda itu dihancurkan. Kendati perang dingin antara blok barat dan timur tak lagi muncul ke permukaan akan muncul hegemoni lain yang sama membahayakannya. Tak sulit membayangkan bencana macam apa yang terjadi jika sampai Jetpack diproduksi masif di masa ini.”
Penjelasan Profesor terdengar masuk akal. Alex berpikir dan menimbang-nimbang sekian lama di tempat duduknya. Gelas berisi minuman jus jeruk yang ia pesan dari tadi sudah lama tandas. Kendati demikian, ia tetap saja mengaduk-aduk gelas yang kini hanya tersisa es batu saja.
“OK,” katanya kemudian. Nyaris tanpa suara. “Aku di pihakmu.”
Profesor nampak lega.
“Namun sebelum kuserahkan padamu, tolong jawab pertanyaan terbesarku. Bagaimana ceritanya benda itu bisa berada di goa Jepang, teronggok bersama barang-barang peninggalan Perang Dunia kedua, sementara Prof send
“Sialnya aku tiba di medan pertempuran antara pasukan Jepang dengan tentara sekutu. Aku langsung berada dibawah todongan salah seorang tentara Jepang. Penjelasan bahwa aku dari masa depan tentu saja tidak membuatnya percaya. Ia hampir saja membunuhku sampai kemudian kubuktikan kebenaran ucapanku melalui Jetpack yang kubawa. Tentara Jepang itu, Letnan Hamada namanya, memaksaku untuk memakaikan Jetpack padanya. Di bawah todongan, aku menurut. Aku hanya menge-set agar benda itu terbang naik, melayang di ketinggian tertentu, dan mendarat kembali. Semua tak lebih dari lima menit. Tapi itu memang berdampak signifikan. Dalam gelap malam, dengan mitraliurnya dan dengan sekali pukul ia melumpuhkan sekutu di tempat persembunyian dari udara. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang.”Alex menyimak rangkaian cerita menakjubkan tadi sementara Profesor tetap meneruskan.“Kami kemudian pulang ke barak Jepang yang ternyata me
Veily menyadari sesuatu yang lain lagi. Alex tidak lagi mengenakan kalung akik merah padam. Benda yang dulu diberikan khusus untuk pria itu kini tak ada lagi di lehernya. Sebersit rasa kecewa seketika menyeruak dalam batinnya....Bagi Veily, Alex bukan pria biasa. Ia pernah mendapat perhatian khusus dalam diri Veily yang seiring berjalannya waktu mulai berani menyalakan bara api dalam hatinya. Dan kala Alex menyambut, bara api itu – cinta, tentu saja – makin memuai. Menyalakan rindu, perhatian, dan ketertarikan yang terus bergejolak. Sampai kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman yang belakangan ia sesali hingga saat itu. Kesalahpahaman yang membuat tersingkirnya Alex dari lembar hidupnya. Andai bisa membalik waktu, ingin rasanya ia jatuh dalam rengkuhan pria itu. Menumpahkan maaf. Mencurahkan sesalnya yang nyaris tak berujung.Dan kini. Tidak bukan kini - tapi kemarin pagi tepatnya – secara tak terduga
Embun pagi baru menampakkan diri pada kelam dini hari dalam bentuk bayang-bayang tipis. Bagai kelambu raksasa, alurnya menyusup diantara beton-beton gedung dalam waktu tersunyi ibukota untuk kemudian hinggap sisi-sisi dinding kaca rayban pencakar langit Menara Gigapolitan. Titik-titik air yang sebelumnya membentuk embun, kini memecah dan kembali menjadi titik air membentuk butiran yang makin lama makin besar menyerupai bentuk pulau. Dibawahnya, di jalur arus lalu lintas, dua-tiga kendaraan sesekali melintas. Meninggalkan gaung demi gaung yang seolah berlomba menggapai puncak gedung. Dimana kini ada sesosok bayang hitam berkelebat disana. Sosok hitam tadi bergayut seolah mengapung di sisi utara bangunan termewah dalam distrik segitiga emas megapolitan Jakarta. Tali ekstra kuat berwarna hitam yang terkait antara sabuk yang d
Acara mandi pagi hari itu bisa jadi merupakan mandi yang mengesalkan yang Dimas pernah alami. Sabun sudah tersisa sebuku ibu jari. Odol harus ia kuras sekuat tenaga dari ujung hingga ke bibir tube. Shampo yang diperbanyak dengan cara dicampur air hanya menyisakan tiga-empat tetes terakhir. Belum cukup dengan itu, cobaan berikutnya muncul lagi.Air di bak untuk dirinya mandi hanya tersisa setengah tegel. Itu mungkin kuantitas yang cukup untuk ia mandi. Namun, dengan lantai bak tersaput lapisan lumpur tipis sebagai residu penampungan air selama satu minggu, Dimas tidak yakin ia bisa cukup mandi saat itu. Guncangan yang tiimbul akibat dari cedokan air sekecil apapun akan menyebabkan endapan lumpur tadi tercampur dengan air ledeng.Ini menyebalkan Dimas. Tak terbayang ia harus keramas dan mandi dengan air kecoklatan.Ya, kendati bukan merupakan karyawan tetap yang terpaku bekerja di sebuah institusi perusahaan, sebagai penulis lepas yang
“Ada Niken, pak?“ terdengar suara Dimas di luar pintu rumah Deni saat menanyai puterinya.Niken menoleh bersamaan dengan meluncurnya jawaban dari Casdi, orangtua Deni.“Ada.“Pintu masuk yang berada di belakang Niken terbuka. Dimas muncul. Setelah permisi pada ibu Deni yang menemani putera mereka bermain, Dimas membawa Niken pulang.Pertanyaan berbau protes diajukan Niken ketika keduanya melangkah ke unit rumah susun mereka.“Kenapa Niken nggak boleh main lama-lama sih?““Mbak Sarni kan sudah datang untuk membantu Niken mandi, sikat gigi dan ganti baju sebelum berangkat sekolah,“ jawab Dimas mencoba menjelaskan selembut mungkin.“Dan mbak Sarni sebentar lagi sudah harus pergi ke tempat lain.“Terus, kenapa Niken nggak ayah beliin playstation sih?“Sebuah ide jawaban melintas di benak Dimas.
“Selamat siang, pak“ sebuah sapaan terdengar dari arah belakang pintunya.“Met siang.“Casdi membalik badan. Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Di depannya kini berdiri sesosok wanita yang ia percaya pasti memenuhi benak impian semua pria termasuk dirinya. Ia hampir saja menatap lebih lama kalau isterinya tidak bertanya.“Ada perlu apa, mpok?““Mau tanya,“ kata wanita itu sambil tangannya menunjuk sebuah unit rumah yang tertutup. “Itu unit nomor D14?“Casdi dan isterinya melihat arah yang ditunjuk sebelum Casdi mengiyakan.“Bener, mpok.““Unit ini disewakan?“ “Bener. Kebetulan emang bini saya yang megang kuncinya. Yang punya rumah ngasih kepercayaan sama saya dengan bini saya buat nyerahin kunci. Kali-kali aja minat gitu. Mau ngeliat-liat dulu, mpok?&ldqu
Dimas mengelus rambut puterinya. Ia tahu Niken kembali merindukan almarhumah isterinya, ibunda Niken.“Sayang,“ cetus Dimas, “pulang yuk?“Niken menggeleng kepalanya perlahan. Ia terus saja menyaksikan pemandangan di depannya. Dimas lalu ikut menonton.Tak lama kemudian, dari pelataran parkir Casdi datang dengan motornya menjemput mereka. Deni segera naik di jok terdepan sedangkan isteri Casdi duduk di bagian belakang. Mereka tertawa-tawa kecil sebelum kemudian Casdi melajukan motornya meninggalkan areal rumah susun.Mata Niken tak berkedip menyaksikan kejadian tadi. Waktu Dimas memeluk pinggangnya, Niken lalu membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Raut wajahnya kelihatan semakin sedih.Dimas menghela nafas dalam-dalam.Sesaat berikut, Niken sudah berada dalam rangkulan Dimas yang mengantarnya kembali ke unit rumah susun dimana mereka tinggal.Ketika tiba di lantai teratas dima
Dimas tengah melangkah menuju lobby sebuah perusahaan penerbitan ketika sebuah teguran terdengar. “Kau langsung pulang?“ Sari, editor di perusahaan tersebut langsung mencegatnya ketika ia baru saja keluar dari pintu lift.. Dimas menoleh dan melihat wanita itu mendekat ke arah dirinya. “Ya.“ “Kau sudah dapat honor dari cetakan pertamamu?“ “Cetakan kedua,“ kata Dimas mengoreksi sembari menunjukkan selembar cek tunai dari saku bajunya. “Sudah.“ “Jadi mentraktir a