Dimas tengah melangkah menuju lobby sebuah perusahaan penerbitan ketika sebuah teguran terdengar.
“Kau langsung pulang?“ Sari, editor di perusahaan tersebut langsung mencegatnya ketika ia baru saja keluar dari pintu lift..
Dimas menoleh dan melihat wanita itu mendekat ke arah dirinya.
“Ya.“
“Kau sudah dapat honor dari cetakan pertamamu?“
“Cetakan kedua,“ kata Dimas mengoreksi sembari menunjukkan selembar cek tunai dari saku bajunya. “Sudah.“
“Jadi mentraktir atau tidak?“
Dimas menyungging seulas senyum. “Pasti jadi.“
Wajah Sari yang mulanya ceria, hanya bertahan sedetik ketika Dimas dengan pura-pura lugu melanjutkan ucapannya.
“Dari honor ini, masih cukuplah aku sisihkan sebagian untuk mentraktir kau, Sissy dan pak Hernawan. Makan ramai-ramai di fast food tak apa-apa kan?“
Dimas tetap dengan kepura-puraanya ketika memasukkan kembali lembaran cek tunai tadi ke saku bajunya. Tidak menggubris air muka Sari yang berubah, Dimas mencoba mengalihkan subyek pembicaraan.
“Bagaimana menurutmu dengan draft novel yang terakhir kukirim. Suka?“
Agak lama Sari baru menjawab.
“Suka.“
Dimas diam. Mengharapkan Sari memberikan penilaian lebih jauh. Tapi ternyata memang hanya sepatah kata itu saja yang keluar dari mulut wanita itu.
“Cuma itu saja?“ raut Dimas nampak sedikit kecewa. “Ayolah, kau biasanya memberikan penilaian lain misalnya mengenai alur cerita, karakter tiap tokoh, ending atau apa saja. Masukanmu penting untuk naskahku berikut.“
“Aku belum baca semua.“
Dimas mengangguk-angguk. “Kapan kau mau baca semua?“
“Mungkin malam ini.“
Senyum Dimas kembali terlontar. “Thanks. Masukan dari seorang senior editor sepertimu pasti bagus. Aku tidak segan merombak total jika itu yang kau mau.“
Sari mengeluh dalam hati. Dimas hanya pandai merayu hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan profesinya. Seandainya - Sari berpikir lebih jauh - ya seandainya saja Dimas merayunya untuk ...
Sebuah panggilan dari operator telpon melalui pengeras suara di langit-langit mengejutkan Sari. Sari segera tersadar.
“Aku pamit dulu,“ kata Dimas kemudian. “Kau sudah dipanggil boss tuh!“
Dimas kemudian pamit yang hanya dibalas dengan sebuah anggukan kecil.
“Aku tunggu emailmu,“ cetus Dimas lagi sambil dirinya melangkah ke pintu keluar.
Sari tidak menjawab.
Diluar tiupan angin nampak menekuk batang-batang pohon yang tertanam di halaman depan gedung. Desau yang ditimbulkannya dengan segera diikuti butir-butir air yang menerpa deras permukaan dinding kaca gedung kantor. Suara titik-titik airnya menimbulkan suara riuh yang dengan cepat menembus ketenangan suasana di dalam lobby.
Hujan turun cukup deras ketika sejam lalu Dimas tiba di tempat itu. Kendati menggunakan payung, derasnya curah hujan tetap terasa merepotkan dirinya yang harus berjalan menembus tirai hujan sebelum tiba di lobby. Dan Dimas heran, bagaimana mungkin hujan yang sempat berhenti sekarang berlanjut lagi di saat ia baru saja hendak pulang.
Dimas tidak langsung pulang melainkan bergegas menuju tempat resepsionis. Payung yang tadi dipakai telah ia titipkan di meja resepsionis..
“Permisi mbak,“ sapa Dimas ramah pada petugas resepsionis yang bertugas.
Resepsionis yang bertugas menoleh. Senyumnya segera merekah begitu melihat siapa orang yang kini ada di depannya.
“Mau ambil payung yang tadi dititip ya?“
“Ya,“ Dimas menunjuk ke belakang kursi yang resepsionis itu duduki. “Yang itu.“
“Tunggu sebentar ya?“ Si resepsionis menyelesaikan menulis sesuatu sebelum kemudian mengambil payung milik Dimas.
“Terima kasih,“ Dimas mengangguk sembari kemudian melangkah pergi.
Saat ia menjauhi tempat itulah Dimas merasa bahwa ada sebuah catatan kecil, kertas post it, merekat di gagang payung. Didorong rasa ingin tahu, Dimas mengambil kertas kuning tadi.
Ia tidak bisa menahan senyum ketika melihat ada sebuah nama disitu.
Nama seorang wanita dan sebuah nomor telpon yang Dimas yakin, pasti dimiliki resepsionis tadi.
Dimas mendadak membalik badan.
Benar.
Gadis itu tertangkap basah tengah menatapnya. Upayanya pura-pura sibuk dengan berlagak menerima telpon masuk, makin menguatkan kesan pada diri Dimas bahwa gadis itu tertarik untuk mengenalnya lebih jauh.
*
Supermarket yang Maia masuki cukup banyak dikunjungi orang dengan counter buah-buahan dan makanan ringan paling banyak diminati. Itu tidak mengherankan karena pihak supermarket menyediakan obral besar saat itu. Kendati demikian, Maia tidak berminat bergabung dengan sekumpulan orang-orang tadi. Ia lebih suka menghabiskan waktu untuk memilih barang-barang lain. Maia bukan tipe shopaholic. Itu sebabnya kendati di lantai yang sama tersedia berbagai butik dan pernak-pernik kebutuhan wanita, Maia tidak banyak menghabiskan waktu disana. Hanya lima menit ia gunakan untuk membeli beberapa perlengkapan wanita sedangkan setengah jam berikut ia pakai untuk memilih keperluan-keperluan lainnya. Saat berada di depan kasir, Maia beruntung. Ia dilayani bukan kasir baru melainkan kasir yang dengan terampil mem
Baju yang dikenakan Dimas cukup banyak terkena curahan hujan saat ia tiba di dalam kabin kendaraan. Ini akibat payung yang ia pakai tergolong kecil sehingga tidak cukup lebar melindungi tubuhnya dari hujan yang turun begitu deras. Dimas baru saja akan menghidupkan mesin kendaraan ketika handphone-nya berbunyi. Perangkat komunikasi berkategori low-end itu menunjukkan sebuah nama di layar tampilannya. Nama Niken. Dalam rangka memonitor keberadaan Niken, kendati ia masih duduk di bangku kelas I, sudah satu-dua minggu ini Dimas membekalinya dengan sebuah handphone. Dimas bersyukur karena Niken ternyata tergolong cerdas sehingga hanya butuh waktu tidak lama sebelum puterinya benar-benar menguasai alat komunikasi tersebut.“Halo sayang,“ Dimas langsung menyapa dengan mesra.&nb
Urusan belanja baru saja Maia selesaikan. Dari depan pintu keluar, Maia mengawasi mobil-mobil yang berlalu-lalang di depannya. Jam menunjukkan pukul satu siang. Sebuah taksi yang Maia perkirakan buatan sepuluh tahun lalu mendekat. Bemper depannya nampak berkarat dengan cat dan plang taksi yang makin buram termakan usia, hujan dan sinar matahari. Sopir didalamnya memberi isyarat pada Maia untuk mau menggunakan jasanya. Produk sisa awal 2000-an yang segera lenyap tergerus zaman akibat bermunculannya taksi online itu, meluncur pelan. Merendengi langkah kakinya.Maia mengebas tangan. Sebuah isyarat penolakan.Maia berharap bisa mendapatkan satu buah taksi yang bersih dengan pendingin udara yang nyaman untuk mengantarnya pulang. Namun
Maia diam. Otaknya berputar keras mencari cara bagaimana untuk mengatasi keadaan tak terduga.“Mana dompetnya, hah?!“ sopir yang nampaknya menjadi otak kejahatan, kembali membentak. “Ada.“ “Jangan sok tenang lu! Mana dompetnya?!“Mengabaikan bentakan tadi, Maia seolah menantang ketika ia memberi tahu si sopir. “Stop pinggir! Aku berhenti disini. Aku mulai tidak suka dengan kalian semua!“ Orang di samping kiri dan kanan Maia spontan tergelak. “Aku serius,“ cetus Maia. “Jika tidak mau berhenti, maaf, kalian terpaksa harus siap dengan resikonya.“ 
Cuaca mendung yang seharian melingkup langit Jakarta sedikit terkuak. Penetrasi sinar matahari mulai menyentuh jalan dan deretan mobil yang siang itu memadatinya. Berada di deretan terakhir, pengemudi mobil van berwarna hitam merutuk atas kemacetan yang terjadi.Rekannya, orang kedua yang berbadan lebih gempal dengan jaket coklat dan gambar tato menyembul di tangan kirinya, tidak menanggapi kekesalan rekannya. Pria yang mengemudi kemudian menghembus asap rokok melalui kaca yang sedikit dibiarkan terbuka. Udara diluar sana dengan cepat menarik asap tipis yang ditimbulkannya.Ketika barisan kendaraan di depan mulai beringsut, mobil yang mereka kendarai bergerak satu meter.“Ada apa?“ tanya pria gempal bertato kepada seorang pedagang buah yang kebetulan datang dari arah depan.“Kecelakaan, oom. Ada mobil taksi melayang sehabis nabrak trotoar.““Dahsyat sekali?“
“Memang belum ada,“ akunya jujur.Dimas mengumbar senyum.“Aku punya yodium, alkohol 70 persen, perban. Pokoknya, cukup untuk mengobati lukamu.“Langkah kaki mereka terhenti ketika tiba di lantai teratas rumah susun.“Selain itu, aku juga pernah menjadi anggota palang merah saat aktif di sekolah dan kampus.“Gantian, kini Maia yang tersenyum. “Selain kelengkapan obat dan pengalaman bidang medis, apalagi yang kau mau tawarkan padaku?“Dimas berpikir keras.“Pengobatan gratis,“ ujarnya hati-hati, “berikut makan malam bersama Niken. Dan aku.“*Seorang petugas di ruang Unit Gawat Darurat menerima seorang tamu pada sore menjelang malam hari itu. Kalau boleh sebetulnya ia lebih suka agar tamu itu datang satu atau dua jam lagi. Apalagi setelah tahu bahwa orang tersebut ternyata bukan kel
Dimas menarik nafas dalam. Sedikit kehilangan akal bagaimana caranya agar Niken puterinya mau sekolah.Dimas melirik jam tangannya. Pukul 6.20 pagi. Aduh, beberapa menit lagi mobil pak Agus datang dan Niken harus ada di pintu gedung rumah susun kalau tidak mau ketinggalan naik mobil jemputan ke sekolahnya.Gara-gara terlambat bangun, Dimas jadi terlambat pula membangunkan Niken agar siap-siap berangkat sekolah. Semenjak kepergian isterinya, Dimas yang hanya tinggal berdua dengan Niken di rumah susun memang harus melakukan segala sesuatu sendiri. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, memandikan Niken, mendandaninya, semuanya. Ia sudah biasa melakukan hal tersebut. Mbak Sarni memang membantunya secara paruh waktu.Tapi pagi hari ini wanita itu memang berhalangan datang.Kesibukan sebagai jurnalis dan penulis lepas, dalam beberapa kesempatan, membuat dirinya mau tidak mau harus bekerja hingga larut malam. Dan kemarin malam k
Dalam beberapa menit berikut, mereka bertiga telah turun ke bawah dimana sudah ada pak Agus yang untungnya masih berada disana. Pria tua itu ikut membantu mengantar Niken masuk ke dalam kabin mobil sebelum kemudian mengantar Niken, dan anak-anak lain yang sudah lebih dulu ada, berangkat sekolah.“Daaah tante!” Niken melambai dari kendaraan yang membawanya. “Nanti main ke rumah Niken ya?”Mobil kemudian menghilang dibalik tikungan. Meninggalkan Dimas yang kini berdua dengan Maia.“Terima kasih,” cetus Dimas.Maia tidak langsung menjawab. “Menurutmu tindakanmu bagus?”Maia masih tetap memandang arah dimana mobil tadi menghilang.“Tindakan apa?”Maia meradang. Kini ia menatap tajam-tajam mata Dimas. Tidak mau kalah, Dimas balik menatap. Ini kesempatan langka baginya untuk menatap keindahan mata wanita di depannya!“Aku