Dimas menarik nafas dalam. Sedikit kehilangan akal bagaimana caranya agar Niken puterinya mau sekolah.
Dimas melirik jam tangannya. Pukul 6.20 pagi. Aduh, beberapa menit lagi mobil pak Agus datang dan Niken harus ada di pintu gedung rumah susun kalau tidak mau ketinggalan naik mobil jemputan ke sekolahnya.
Gara-gara terlambat bangun, Dimas jadi terlambat pula membangunkan Niken agar siap-siap berangkat sekolah. Semenjak kepergian isterinya, Dimas yang hanya tinggal berdua dengan Niken di rumah susun memang harus melakukan segala sesuatu sendiri. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, memandikan Niken, mendandaninya, semuanya. Ia sudah biasa melakukan hal tersebut. Mbak Sarni memang membantunya secara paruh waktu.Tapi pagi hari ini wanita itu memang berhalangan datang.
Kesibukan sebagai jurnalis dan penulis lepas, dalam beberapa kesempatan, membuat dirinya mau tidak mau harus bekerja hingga larut malam. Dan kemarin malam k
Dalam beberapa menit berikut, mereka bertiga telah turun ke bawah dimana sudah ada pak Agus yang untungnya masih berada disana. Pria tua itu ikut membantu mengantar Niken masuk ke dalam kabin mobil sebelum kemudian mengantar Niken, dan anak-anak lain yang sudah lebih dulu ada, berangkat sekolah.“Daaah tante!” Niken melambai dari kendaraan yang membawanya. “Nanti main ke rumah Niken ya?”Mobil kemudian menghilang dibalik tikungan. Meninggalkan Dimas yang kini berdua dengan Maia.“Terima kasih,” cetus Dimas.Maia tidak langsung menjawab. “Menurutmu tindakanmu bagus?”Maia masih tetap memandang arah dimana mobil tadi menghilang.“Tindakan apa?”Maia meradang. Kini ia menatap tajam-tajam mata Dimas. Tidak mau kalah, Dimas balik menatap. Ini kesempatan langka baginya untuk menatap keindahan mata wanita di depannya!“Aku
Maia tetap dengan diamnya. Suara ketukan sepatu Dimas terdengar sedikit bergaung dalam koridor rumah susun yang mulai sepi. Mereka terus berjalan sampai akhirnya keduanya tiba di depan pintu masuk unit tempat tinggal Maia. “Dan kau tahu, Maia?“ Maia menoleh sehingga keduanya kini saling bertatapmuka. “Kau begitu misterius,” Dimas menyambung. Tatapannya tajam menusuk. Kali ini bukan sebuah tatapan nakal. “Benar-benar misterius.“ “Misterius?“ Dimas mengangguk. “Selama sekian bulan mengenalimu, nampak jelas bahwa kau menyembunyikan sesuatu yang aku tidak tahu apa. Bukan hanya aku. Keluarga pak Casdi pun tidak tahu apa-apa mengenai dirmu. Kami tidak tahu dari mana kau datang, pekerjaanmu, keluargamu. Pintu rumahmu lebih sering tertutup rapat sepanjang hari dan nyaris sepanjang minggu. Pernah seharian kau disana dan itu sempat membuat kami berpikir untuk mendobrak pintu rumah. Kau mengerti kenapa
Di tengah keramaian lalu lintas, kendaraan van hitam berjalan melambat. Pria berbadan gempal nampak mencari-cari sesuatu di antara kerumunan orang. Jarum penunjuk kecepatan di speedometer yang terpampang didepannya menurun hingga berhenti di titik terendah.Terdengar suara klakson dari sebuah mobil sedan tepat di belakangnya. Kendati demikian, pengemudi van sama sekali tidak menggubris. Kendaraan yang dikemudikannya tetap diam di tengah keramaian lalu lintas. Sedan di belakang van kemudian menyalip hingga kini merendengi van yang tadi menutup jalan. Serapah keluar dari mulut pengemudi sedan yang merasa perjalanannya terganggu karena ulah pengemudi van yang tidak disiplin. Tapi hanya sesaat saja ia menyerapah. Kaget bercampur ngeri menyelimuti pengemudi sedan ketika pengemudi van tiba-tiba mengacungkan sebuah senjata revolver ke arahnya. Tidak lama kemudian ia melaju kendaraannya menembus keramaian. Kabur ketakutan.Sesosok pria lain mu
Tidak perlu menjadi seorang brilian untuk memahmi makna dibalik pertanyaan tadi.“Maksudmu?”Dimas memaksa diri untuk tersenyum.“Aku ... aku mengulang ajakan sebelumnya.”“Ajakan?” Maia ternganga.“Ya. Ajakan makan malam. Ingat? Atau kau masih cukup sibuk sehingga belum bisa aku, eh ... kami ganggu?”Maia tetap ternganga. Bingung.“Tak apa, tak apa. Kalau memang tak sempat, tentu tak apa,” Dimas cepat-cepat menyambung. Kepalanya menangguk-angguk tanpa ia sendiri mengerti mengapa ia melakukan hal tersebut.“Kami tak mau mengganggu atau terlalu merepotkan dirimu,” cetus Dimas lagi yang lagi-lagi ditanggapi Maia dengan tatap bingung.Sikap diamnya Maia terasa oleh Dimas sebagai satu bentuk penolakan halus. Tak tahu hendak berkata apa lagi, Dimas langsung beranjak untuk pamit. Ia baru saja dua-tiga langkah berjalan ketika Mai
Orang itu tidak menjawab. Hal ini memancing Casdi untuk usil bertanya lebih jauh.“Situ suaminya cewek itu kali ya? Hayo ngaku? Wah, kalo udah ketemu mau diapain nih?” Casdi terkekeh.Upaya canda Casdi tidak ditanggapi. Orang itu tetap dingin saat menjawab pertanyaannya.“Saya mau bunuh,” cetusnya sambil kemudian beranjak pergi.Casdi yang mulanya terkekeh kini tertawa terbahak-bahak.Tak terbersit setitikpun dalam benak pria sederhana itu bahwa orang yang baru ia temui serius dengan ucapannya.Sangat serius.*Tropicana Dome malam itu sesak dipenuhi pengunjung. Sebagai mall terbaru di ibukota dan karena saat itu masih awal bulan, begitu banyak orang berkunjung. Hipermarket skala raksasa yang ada nampak sesak oleh lautan manusia yang seolah hendak menghabiskan gajinya sekaligus malam itu.Maia berada didalam salah satu resto
Dimas bersyukur. Niken yang sejak kasus tewasnya isteri tercinta menjadi amat perasa, emosional dan cenderung tertutup, belakangan semakin keluar dari kungkungan kesedihan seiring perkenalannya dengan Maia. Suatu hal yang ia ragu apakah akan cepat terjadi seandainya pertemuan dengan Maia tidak pernah terjadi.Pertemuan demi pertemuan antara mereka semakin intens tejadi. Maia sendiri nampaknya menyukai kehadiran mereka. Sayang, kendati hal tersebut berulang terjadi, Maia masih tetap dengan sosoknya semula.Misterius.“Melamun terus.”Dimas tersadar. Astaga, benar. Ia terlalu lama tenggelam dalam lamunannya. Kentang dan ayam goreng pesanannya juga mulai mendingin.“Kenapa?”Dimas masih enggan menjawab. Pura-pura sibuk untuk mulai menyantap makan malamnya.“Tidak apa-apa.”“Sungguh?““Sungguh.““Kau tak berpiki
Tersipu, mbak Sarni menjawab bahwa ia tidak tahu dimana letak toiletnya. Dimas menggeleng kepala. Dengan mencoba sabar ia lalu mengantar mereka ke toilet meninggalkan Maia sendirian di tempatnya.“Kami tinggal dulu sebentar, oke?“*Dua orang pria yang mencari-cari keberadaan Maia sudah hampir sejam lalu tiba di mall yang sama. Baik pria pertama yang biasa mengemudikan mobil van, maupun pria kedua yang selalu mengenakan jaket coklat dengan lengan kiri dipenuhi tato. Mereka mulai bergerak menjalani lantai basement gedung dengan mata setajam elang ketika mengawasi setiap orang yang berlalu-lalang. Kendati mall begitu penuh oleh para pengunjung, rasanya tidak terlalu sulit bagi mereka untuk menemukan orang yang mereka cari. Setiap rombongan yang terdiri atas beberapa orang dewasa dan seorang anak perempuan dengan s
Bagi Maia yang melihat jelas peristiwa tadi ia sangat hafal bahwa dirinyalah yang tengah menjadi target sasaran pria tadi. Terlebih ketika dalam gerak yang luar biasa tenang, pria itu melempar baki dan mengeluarkan senjata fully-automatic Uzi yang dibawanya dengan tatapan mata terarah pada Maia yang hanya berjarak belasan meter saja darinya. Tatapan matanya dingin dan kejam layaknya seorang pembunuh bayaran. Beberapa pengunjung restoran melihat ulahnya seolah tidak percaya ketika tangan kirinya terulur. Bukan banyaknya tato di tangan orang tersebut yang membuat mereka menatap penuh keheranan, melainkan senjata api yang berada dalam genggamannya.Melihat Maia dalam bahaya, dengan gerak refleks Dimas mencoba merebut senjata. Sungguh suatu tindakan luar biasa ceroboh. Demi menyelamatkan Maia, Dimas mencoba menangkap senjata yang siap menyalak. Ini memberikan tambahan waktu beberapa detik bagi Maia untuk menyelamatkan diri atau melakukan sesuatu.&nb