Tidak perlu menjadi seorang brilian untuk memahmi makna dibalik pertanyaan tadi.
“Maksudmu?”
Dimas memaksa diri untuk tersenyum.
“Aku ... aku mengulang ajakan sebelumnya.”
“Ajakan?” Maia ternganga.
“Ya. Ajakan makan malam. Ingat? Atau kau masih cukup sibuk sehingga belum bisa aku, eh ... kami ganggu?”
Maia tetap ternganga. Bingung.
“Tak apa, tak apa. Kalau memang tak sempat, tentu tak apa,” Dimas cepat-cepat menyambung. Kepalanya menangguk-angguk tanpa ia sendiri mengerti mengapa ia melakukan hal tersebut.
“Kami tak mau mengganggu atau terlalu merepotkan dirimu,” cetus Dimas lagi yang lagi-lagi ditanggapi Maia dengan tatap bingung.
Sikap diamnya Maia terasa oleh Dimas sebagai satu bentuk penolakan halus. Tak tahu hendak berkata apa lagi, Dimas langsung beranjak untuk pamit. Ia baru saja dua-tiga langkah berjalan ketika Mai
Orang itu tidak menjawab. Hal ini memancing Casdi untuk usil bertanya lebih jauh.“Situ suaminya cewek itu kali ya? Hayo ngaku? Wah, kalo udah ketemu mau diapain nih?” Casdi terkekeh.Upaya canda Casdi tidak ditanggapi. Orang itu tetap dingin saat menjawab pertanyaannya.“Saya mau bunuh,” cetusnya sambil kemudian beranjak pergi.Casdi yang mulanya terkekeh kini tertawa terbahak-bahak.Tak terbersit setitikpun dalam benak pria sederhana itu bahwa orang yang baru ia temui serius dengan ucapannya.Sangat serius.*Tropicana Dome malam itu sesak dipenuhi pengunjung. Sebagai mall terbaru di ibukota dan karena saat itu masih awal bulan, begitu banyak orang berkunjung. Hipermarket skala raksasa yang ada nampak sesak oleh lautan manusia yang seolah hendak menghabiskan gajinya sekaligus malam itu.Maia berada didalam salah satu resto
Dimas bersyukur. Niken yang sejak kasus tewasnya isteri tercinta menjadi amat perasa, emosional dan cenderung tertutup, belakangan semakin keluar dari kungkungan kesedihan seiring perkenalannya dengan Maia. Suatu hal yang ia ragu apakah akan cepat terjadi seandainya pertemuan dengan Maia tidak pernah terjadi.Pertemuan demi pertemuan antara mereka semakin intens tejadi. Maia sendiri nampaknya menyukai kehadiran mereka. Sayang, kendati hal tersebut berulang terjadi, Maia masih tetap dengan sosoknya semula.Misterius.“Melamun terus.”Dimas tersadar. Astaga, benar. Ia terlalu lama tenggelam dalam lamunannya. Kentang dan ayam goreng pesanannya juga mulai mendingin.“Kenapa?”Dimas masih enggan menjawab. Pura-pura sibuk untuk mulai menyantap makan malamnya.“Tidak apa-apa.”“Sungguh?““Sungguh.““Kau tak berpiki
Tersipu, mbak Sarni menjawab bahwa ia tidak tahu dimana letak toiletnya. Dimas menggeleng kepala. Dengan mencoba sabar ia lalu mengantar mereka ke toilet meninggalkan Maia sendirian di tempatnya.“Kami tinggal dulu sebentar, oke?“*Dua orang pria yang mencari-cari keberadaan Maia sudah hampir sejam lalu tiba di mall yang sama. Baik pria pertama yang biasa mengemudikan mobil van, maupun pria kedua yang selalu mengenakan jaket coklat dengan lengan kiri dipenuhi tato. Mereka mulai bergerak menjalani lantai basement gedung dengan mata setajam elang ketika mengawasi setiap orang yang berlalu-lalang. Kendati mall begitu penuh oleh para pengunjung, rasanya tidak terlalu sulit bagi mereka untuk menemukan orang yang mereka cari. Setiap rombongan yang terdiri atas beberapa orang dewasa dan seorang anak perempuan dengan s
Bagi Maia yang melihat jelas peristiwa tadi ia sangat hafal bahwa dirinyalah yang tengah menjadi target sasaran pria tadi. Terlebih ketika dalam gerak yang luar biasa tenang, pria itu melempar baki dan mengeluarkan senjata fully-automatic Uzi yang dibawanya dengan tatapan mata terarah pada Maia yang hanya berjarak belasan meter saja darinya. Tatapan matanya dingin dan kejam layaknya seorang pembunuh bayaran. Beberapa pengunjung restoran melihat ulahnya seolah tidak percaya ketika tangan kirinya terulur. Bukan banyaknya tato di tangan orang tersebut yang membuat mereka menatap penuh keheranan, melainkan senjata api yang berada dalam genggamannya.Melihat Maia dalam bahaya, dengan gerak refleks Dimas mencoba merebut senjata. Sungguh suatu tindakan luar biasa ceroboh. Demi menyelamatkan Maia, Dimas mencoba menangkap senjata yang siap menyalak. Ini memberikan tambahan waktu beberapa detik bagi Maia untuk menyelamatkan diri atau melakukan sesuatu.&nb
Di restoran itu sendiri kali ini muncul seorang lain, yang juga turun ke arena perkelahian. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan yang pertama kecuali dalam hal potongan rambut. Pria yang selama ini mencari-cari Maia dengan mengemudikan mobil van warna hitam. Sebuah revolver di tangan kirinya menyalak. Sebuah alat transmisi radio dengan microphone menyembul dekat mulutnya. Dengan langkah bergegas pria kedua menyerbu masuk dimana Maia masih bergelut dengan pria bersenjata pertama untuk mencoba merebut senapan mesin yang masih erat tergenggam di tangan lawan. Diiringi lengking tinggi, Maia yang berada dalam posisi dibawah mengangkat tubuh pria bersenjata pertama dengan kedua kakinya. Bertelekan punggung, tubuhnya menekuk membentuk busur sebelum kemudian melontar tubuh berbobot nyaris satu kuintal itu hingga tiga meter ke udara. Untuk kedua kalinya si pria bersenjata pertama terbanting. Lagi-lagi dengan sebelumnya membentur meja. Rasa
Namun cepat sekali pria kedua ini bangkit dan menyerang kembali dimana di saat yang sama, pria pertama, si gempal bertato, juga telah berhasil meraih senjatanya.Dengan sedikit merunduk, Maia berlari secepat kilat ke arah pintu keluar yang berada tak jauh dari posisinya berdiri.Suara tembakan terdengar lagi. Maia kembali berguling, berguling dan terus berguling di antara deretan kursi dan meja restoran yang kini benar-benar porak poranda. Proyektil peluru berkejaran mendesing disamping tubuh. Pecahan keramik diatas lantai kini bercampur dengan pecahan piring, gelas, bekas makanan dan serpihan meja yang terkoyak sambaran peluru. Ini menimbulkan rasa perih ketika Maia harus bergulingan diatasnya.Sesaat berikutnya, Maia sudah berhasil keluar dari restoran. Terdengar suara salah seorang dari mereka merutuk keras melihat buruan mereka lolos. Nampak wajar kalau mereka sangat emosional mengingat buruan mereka ternyata masih dapat lolos ken
Malang bagi pria bersenjata kedua itu. Baru saja ia tersadar dari sakit yang menyengat, lawannya, Maia telah mendarat. Suara bergemeretak terdengar ketika sebuah upper cut bersarang di rahang untuk menjadikannya kembali tergeletak lagi. Kali ini dalam keadaan pingsan dengan wajah memar dan berdarah.Benar-benar sebuah kombinasi bela diri abad dua belas ala jiu-jitsu dan tinju abad modern yang luar biasa indah. Sekaligus mematikan.Ini menggetarkan si gempal bertato, pria pertama, yang sadar bahwa kendati lawannya adalah seorang wanita, ia memiliki keterampilan bela diri yang sangat bagus untuk dengan mudah mengalahkan dirinya. Hal ini dibuktikan dengan kehebatan melumpuhkan lawan, rekannya yang juga seorang pembunuh bayaran kelas elit seperti dirinya, cukup hanya dengan beberapa jurus!Tidak mau mengambil resiko, pria pertama memutar tubuh. Mengarahkan dan siap mengosongkan gagang Uzi-nya yang kini
Deru angin pantai menyibak rambut lurus Maia. Suasana malam amat sejuk kendati sedikit berangin. Gelombang ombak berkejaran seolah berlomba mencapai jarak terjauh di daratan. Beberapa diantaranya berhasil bergerak sangat jauh hingga menyentuh ujung sepatu Maia. Air laut yang berhasil menyelinap masuk serta-merta meninggalkan endapan pasir di dalamnya.Dimas berjalan mendekat sembari membawa dua cangkir susu coklat panas yang baru dipesannya di kedai. Ia menyodorkan salah satunya ke Maia.“Terima kasih,” Maia menolak halus.“Ayolah,” Dimas membujuk.Maia sebetulnya masih berniat menolak. Namun ia kemudian mengalah. Sekian cc susu coklat segera terhirup dan menyelusup masuk kedalam tenggorokannya.Dimas lantas duduk di sampingnya. Pria itu menunggui sampai Maia menyelesaikan beberapa tegukan.“Seperti kau tahu, aku tadi sempat melihat perbuatanmu di restoran,” katany