Maia diam. Otaknya berputar keras mencari cara bagaimana untuk mengatasi keadaan tak terduga.
“Mana dompetnya, hah?!“ sopir yang nampaknya menjadi otak kejahatan, kembali membentak.
“Ada.“
“Jangan sok tenang lu! Mana dompetnya?!“
Mengabaikan bentakan tadi, Maia seolah menantang ketika ia memberi tahu si sopir. “Stop pinggir! Aku berhenti disini. Aku mulai tidak suka dengan kalian semua!“
Orang di samping kiri dan kanan Maia spontan tergelak.
“Aku serius,“ cetus Maia. “Jika tidak mau berhenti, maaf, kalian terpaksa harus siap dengan resikonya.“
Kini, sopir taksi ikut tergelak.
“Nona ini pintar menggertak,“ kata orang itu disela tawanya.
“Aku tidak menggertak.“
“Bohong!“
“Mau bukti?“ tanya Maia datar. Nyaris tanpa emosi.
“Tentu,“ tantang sopir itu. “Apa yang bisa kau lakukan, sayang?“
Ekspresi Maia tidak berubah. Sopir itu melihat mata Maia melalui kaca spion depan. Saat keduanya saling tatap, sopir itu tiba-tiba bergidik.
Dunia kriminalitas tidaklah asing baginya. Ketika ia berhadapan dengan para korban, ia hafal betul mana tatapan mata penuh ketakutan, minta belas kasihan, menggertak atau yang serius melakukan ancaman.
Dan hal inilah yang tadi membuatnya bergidik. Tatapan mata wanita yang jadi korbannya.
Si sopir tahu, wanita yang jadi korbannya bukan sekedar menggertak.
Dan ia memang benar.
Semenit kemudian, dalam keadaan melaju dengan kecepatan tidak kurang dari 80 kilometer per jam, taksi mendadak berjalan oleng.
Suara ban berdecit terdengar membuat ngilu orang yang mendengarnya. Bau sangit karet ban yang tergerus menyeruak hingga ke dalam kabin mobil. Baik sopir taksi maupun kedua rekannya tidak ingat persis apa yang terjadi setelah sebuah pukulan sikut yang ekstra keras masing-masing menimpa telak kepala, dada, punggung leher, dan bagian tubuh mereka yang lain.
Dalam keadaan pening dan mata berkunang-kunang, usaha membela diri dan penyerangan yang mereka bertiga lakukan tidak berarti banyak. Perlawanan wanita yang mereka kira lemah, ternyata jauh diluar dugaan mereka.
Orang di sisi kiri bermaksud membekap. Tapi upayanya dengan mudah diketahui Maia. Dua buah pukulan karate mendarat di tengkuk orang-orang di sisi kiri dan kanan Maia. Ia masih melakukan berbagai upaya untuk memukul dan juga mencekik, menampar, menjepit. Namun segala bentuk pukulan dengan mudah ditangkis. Dalam ruang sempit, beberapa pukulan itu diarahkan sedemikian rupa oleh Maia sehingga malah mengenai rekannya.
Tragis betul.
Kendaraan makin melaju tak terkendali. Beberapa kali moncong kendaraan melabrak pembatas jalan dan menimbulkan percikan api. Sebuah sedan hatchback di belakang taksi dengan marah membunyikan klakson tanda protes ketika taksi itu nyaris menyerempetnya.
Salah seorang penjahat di samping Maia mengelurkan sebilah senjata tajam. Saat benda itu meluncur deras ke tubuh korbannya, Maia tidak menghindar. Dengan cepat tangannya menangkis pergelangan tangan orang itu. Akibatnya, pisau kemudian terpental ke lantai kendaraan.
Saat penjahat berikut bermaksud mengambil pisau yang terjatuh, Maia menggunakan kesempatan untuk menghantam dengan sikut. Jerit parau terdengar seketika. Dan sedetik kemudian, tiba-tiba saja Maia sudah berpindah posisi dengan salah seorang penjahat di sampingnya. Pintu kemudian dibuka paksa.
Sopir taksi memerintahkan rekannya untuk menutup kembali.
Tapi terlambat. Maia sudah melompat keluar. Dengan kecepatan gerak refleksnya Maia melindungi kepala dengan kedua tangannya sebelum terjatuh di aspal jalanan.
Hal berikut yang teringat oleh sopir taksi itu adalah terjadinya sebuah benturan ketika bumper kendaraan menghantam habis pembatas jalanan.
Jerit parau terdengar karena berbarengan dengan benturan tadi, jalan di depannya lenyap. Berganti dengan udara terbuka.
*
Cuaca mendung yang seharian melingkup langit Jakarta sedikit terkuak. Penetrasi sinar matahari mulai menyentuh jalan dan deretan mobil yang siang itu memadatinya. Berada di deretan terakhir, pengemudi mobil van berwarna hitam merutuk atas kemacetan yang terjadi.Rekannya, orang kedua yang berbadan lebih gempal dengan jaket coklat dan gambar tato menyembul di tangan kirinya, tidak menanggapi kekesalan rekannya. Pria yang mengemudi kemudian menghembus asap rokok melalui kaca yang sedikit dibiarkan terbuka. Udara diluar sana dengan cepat menarik asap tipis yang ditimbulkannya.Ketika barisan kendaraan di depan mulai beringsut, mobil yang mereka kendarai bergerak satu meter.“Ada apa?“ tanya pria gempal bertato kepada seorang pedagang buah yang kebetulan datang dari arah depan.“Kecelakaan, oom. Ada mobil taksi melayang sehabis nabrak trotoar.““Dahsyat sekali?“
“Memang belum ada,“ akunya jujur.Dimas mengumbar senyum.“Aku punya yodium, alkohol 70 persen, perban. Pokoknya, cukup untuk mengobati lukamu.“Langkah kaki mereka terhenti ketika tiba di lantai teratas rumah susun.“Selain itu, aku juga pernah menjadi anggota palang merah saat aktif di sekolah dan kampus.“Gantian, kini Maia yang tersenyum. “Selain kelengkapan obat dan pengalaman bidang medis, apalagi yang kau mau tawarkan padaku?“Dimas berpikir keras.“Pengobatan gratis,“ ujarnya hati-hati, “berikut makan malam bersama Niken. Dan aku.“*Seorang petugas di ruang Unit Gawat Darurat menerima seorang tamu pada sore menjelang malam hari itu. Kalau boleh sebetulnya ia lebih suka agar tamu itu datang satu atau dua jam lagi. Apalagi setelah tahu bahwa orang tersebut ternyata bukan kel
Dimas menarik nafas dalam. Sedikit kehilangan akal bagaimana caranya agar Niken puterinya mau sekolah.Dimas melirik jam tangannya. Pukul 6.20 pagi. Aduh, beberapa menit lagi mobil pak Agus datang dan Niken harus ada di pintu gedung rumah susun kalau tidak mau ketinggalan naik mobil jemputan ke sekolahnya.Gara-gara terlambat bangun, Dimas jadi terlambat pula membangunkan Niken agar siap-siap berangkat sekolah. Semenjak kepergian isterinya, Dimas yang hanya tinggal berdua dengan Niken di rumah susun memang harus melakukan segala sesuatu sendiri. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, memandikan Niken, mendandaninya, semuanya. Ia sudah biasa melakukan hal tersebut. Mbak Sarni memang membantunya secara paruh waktu.Tapi pagi hari ini wanita itu memang berhalangan datang.Kesibukan sebagai jurnalis dan penulis lepas, dalam beberapa kesempatan, membuat dirinya mau tidak mau harus bekerja hingga larut malam. Dan kemarin malam k
Dalam beberapa menit berikut, mereka bertiga telah turun ke bawah dimana sudah ada pak Agus yang untungnya masih berada disana. Pria tua itu ikut membantu mengantar Niken masuk ke dalam kabin mobil sebelum kemudian mengantar Niken, dan anak-anak lain yang sudah lebih dulu ada, berangkat sekolah.“Daaah tante!” Niken melambai dari kendaraan yang membawanya. “Nanti main ke rumah Niken ya?”Mobil kemudian menghilang dibalik tikungan. Meninggalkan Dimas yang kini berdua dengan Maia.“Terima kasih,” cetus Dimas.Maia tidak langsung menjawab. “Menurutmu tindakanmu bagus?”Maia masih tetap memandang arah dimana mobil tadi menghilang.“Tindakan apa?”Maia meradang. Kini ia menatap tajam-tajam mata Dimas. Tidak mau kalah, Dimas balik menatap. Ini kesempatan langka baginya untuk menatap keindahan mata wanita di depannya!“Aku
Maia tetap dengan diamnya. Suara ketukan sepatu Dimas terdengar sedikit bergaung dalam koridor rumah susun yang mulai sepi. Mereka terus berjalan sampai akhirnya keduanya tiba di depan pintu masuk unit tempat tinggal Maia. “Dan kau tahu, Maia?“ Maia menoleh sehingga keduanya kini saling bertatapmuka. “Kau begitu misterius,” Dimas menyambung. Tatapannya tajam menusuk. Kali ini bukan sebuah tatapan nakal. “Benar-benar misterius.“ “Misterius?“ Dimas mengangguk. “Selama sekian bulan mengenalimu, nampak jelas bahwa kau menyembunyikan sesuatu yang aku tidak tahu apa. Bukan hanya aku. Keluarga pak Casdi pun tidak tahu apa-apa mengenai dirmu. Kami tidak tahu dari mana kau datang, pekerjaanmu, keluargamu. Pintu rumahmu lebih sering tertutup rapat sepanjang hari dan nyaris sepanjang minggu. Pernah seharian kau disana dan itu sempat membuat kami berpikir untuk mendobrak pintu rumah. Kau mengerti kenapa
Di tengah keramaian lalu lintas, kendaraan van hitam berjalan melambat. Pria berbadan gempal nampak mencari-cari sesuatu di antara kerumunan orang. Jarum penunjuk kecepatan di speedometer yang terpampang didepannya menurun hingga berhenti di titik terendah.Terdengar suara klakson dari sebuah mobil sedan tepat di belakangnya. Kendati demikian, pengemudi van sama sekali tidak menggubris. Kendaraan yang dikemudikannya tetap diam di tengah keramaian lalu lintas. Sedan di belakang van kemudian menyalip hingga kini merendengi van yang tadi menutup jalan. Serapah keluar dari mulut pengemudi sedan yang merasa perjalanannya terganggu karena ulah pengemudi van yang tidak disiplin. Tapi hanya sesaat saja ia menyerapah. Kaget bercampur ngeri menyelimuti pengemudi sedan ketika pengemudi van tiba-tiba mengacungkan sebuah senjata revolver ke arahnya. Tidak lama kemudian ia melaju kendaraannya menembus keramaian. Kabur ketakutan.Sesosok pria lain mu
Tidak perlu menjadi seorang brilian untuk memahmi makna dibalik pertanyaan tadi.“Maksudmu?”Dimas memaksa diri untuk tersenyum.“Aku ... aku mengulang ajakan sebelumnya.”“Ajakan?” Maia ternganga.“Ya. Ajakan makan malam. Ingat? Atau kau masih cukup sibuk sehingga belum bisa aku, eh ... kami ganggu?”Maia tetap ternganga. Bingung.“Tak apa, tak apa. Kalau memang tak sempat, tentu tak apa,” Dimas cepat-cepat menyambung. Kepalanya menangguk-angguk tanpa ia sendiri mengerti mengapa ia melakukan hal tersebut.“Kami tak mau mengganggu atau terlalu merepotkan dirimu,” cetus Dimas lagi yang lagi-lagi ditanggapi Maia dengan tatap bingung.Sikap diamnya Maia terasa oleh Dimas sebagai satu bentuk penolakan halus. Tak tahu hendak berkata apa lagi, Dimas langsung beranjak untuk pamit. Ia baru saja dua-tiga langkah berjalan ketika Mai
Orang itu tidak menjawab. Hal ini memancing Casdi untuk usil bertanya lebih jauh.“Situ suaminya cewek itu kali ya? Hayo ngaku? Wah, kalo udah ketemu mau diapain nih?” Casdi terkekeh.Upaya canda Casdi tidak ditanggapi. Orang itu tetap dingin saat menjawab pertanyaannya.“Saya mau bunuh,” cetusnya sambil kemudian beranjak pergi.Casdi yang mulanya terkekeh kini tertawa terbahak-bahak.Tak terbersit setitikpun dalam benak pria sederhana itu bahwa orang yang baru ia temui serius dengan ucapannya.Sangat serius.*Tropicana Dome malam itu sesak dipenuhi pengunjung. Sebagai mall terbaru di ibukota dan karena saat itu masih awal bulan, begitu banyak orang berkunjung. Hipermarket skala raksasa yang ada nampak sesak oleh lautan manusia yang seolah hendak menghabiskan gajinya sekaligus malam itu.Maia berada didalam salah satu resto