Share

Canggung

Dimas mengelus rambut puterinya. Ia tahu Niken kembali merindukan almarhumah isterinya, ibunda Niken.

“Sayang,“ cetus Dimas, “pulang yuk?“

Niken menggeleng kepalanya perlahan. Ia terus saja menyaksikan pemandangan di depannya. Dimas lalu ikut menonton.

Tak lama kemudian, dari pelataran parkir Casdi datang dengan motornya menjemput mereka. Deni segera naik di jok terdepan sedangkan isteri Casdi duduk di bagian belakang. Mereka tertawa-tawa kecil sebelum kemudian Casdi melajukan motornya meninggalkan areal rumah susun.

Mata Niken tak berkedip menyaksikan kejadian tadi. Waktu Dimas memeluk pinggangnya, Niken lalu membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Raut wajahnya kelihatan semakin sedih.

Dimas menghela nafas dalam-dalam.

Sesaat berikut, Niken sudah berada dalam rangkulan Dimas yang mengantarnya kembali ke unit rumah susun dimana mereka tinggal.

Ketika tiba di lantai teratas dimana mereka tinggal, baik Dimas maupun Niken terkesima. Beberapa perabot rumah tergeletak dekat tangga. Buku, komputer dan beberapa alat elektronik terhampar disana-sini.

“Idih, koq berantakan sih disini, Ayah?”

Dimas tersenyum. Sikap kenes dan ingin tahu Niken menunjukkan bahwa untuk sesaat ia melupakan kesedihannya.

“Ayah juga bingung. Kenapa ya? Bukan Niken yang bikin berantakan kan?” tanya Dimas mulai menggoda.

“Bukan.”

“Kalau begitu, kenapa di tempat ini bisa berantakan sekali?” Dimas pura-pura bertanya.

Nggak tahu!”

“Jadi siapa ya?”

Masih tetap dengan akting pura-pura bingungnya, Dimas menoleh ke kiri-kanan. Memang tidak ada orang lain karena penghuni yang lain yaitu Casdi baru saja membawa isteri dan anaknya pergi.

“Ayah, barang-barang ini kan bukan punya kita.”

“Oh begitu ya?”

“Iya. Pasti ini kepunyaan teman baru kita.” Niken akhirnya mengambil kesimpulan sendiri.

“Tetangga,” Dimas mengoreksi.

“O,” mata Niken berbinar “ayah kenal?”

“Kenal,” jawab Dimas asal bunyi.

“Siapa sih dia?”

“Mmmm …. teman ayah.”

Dimas terus mencari-cari calon penghuni baru pemilik barang-barang tadi. Tapi matanya tidak menangkap satu sosokpun.

“Dia orangnya baik?”

“Baik sekali.” Mata Dimas masih mencari-cari.

“Perempuan? Kayak Niken?”

He-eh.”

“Cantik?”

“Cantik sekali,” jawab Dimas yang terus saja asal bunyi.

Dimas nyaris terlonjak kaget ketika terdengar suara di belakangnya.

“Terima kasih atas pujiannya.”

Dimas menengok sumber suara. Niken tersenyum lebar. Didepan mereka berdiri orang yang sejak tadi mereka cari-cari. Calon tetangga mereka yang baru. Seorang wanita tinggi semampai, mungkin sama tinggi dengan Dimas, dengan wajah oval serta rambut hitam lurus hingga ke bahu. Hidungnya bangir dengan bentuk alis tipis.

Dimas mendadak rikuh. Tidak menyangka ucapan yang seharusnya dipendam dalam hati ternyata terdengar juga oleh orang yang jadi obyek pembicaraan.

“Nama aku Maia.” Ia memperkenalkan diri. “Tetangga baru kalian di sini. Mudah-mudahan kita bisa jadi tetanggaan yang harmonis.“

Dimas masih terpaku. Antara rikuh dan terpana atas kejadian yang tidak disangka-sangka ini sehingga untuk sesaat ia lupa untuk balik memperkenalkan diri. Dan yang ia heran pada dirinya sendiri: mengapa ia menatapi bibir wanita itu?!

“Dimas,” katanya singkat setelah tersadar dari kekagetannya. “Dan ini Niken, puteriku.”

Maia tersenyum. Seolah memamerkan keindahan giginya yang tumbuh rata dan sempurna.

“Halo Niken.“

Alih-alih menjawab, Niken malah buru-buru berbisik di telinga Dimas.

 “Cantik ya, ayah?”

Dimas semakin rikuh.

           

*

Pertemuan singkat sore hari itu ternyata berlanjut.

Ketika mbak Sarni baru saja menyelesaikan tugas terakhirnya dan meninggalkan Dimas dan Niken setengah jam sebelumnya, mereka berdua sudah bertemu lagi dengan Maia.

Dan sialnya, Dimas masih saja belum mampu bersikap wajar saat melihat tatap mata penuh pesona milik tetangga baru mereka. Ketika Maia selesai menyapa dan berkata ia perlu meminjam beberapa perlengkapan rumah untuk bersih-bersih, butuh empat-lima detik lagi sebelum Dimas tersadar.

“Maaf,” katanya malu saat meminta Maia mengulang apa yang ia perlukan, “butuh apa tadi?”

“Sapu, kemoceng, kain pel.”

Maia rasanya belum lagi selesai berbicara ketika Dimas dengan setengah berlari langsung pergi ke bagian belakang. Seingatnya, mbak Sarni biasa menyimpan perlengkapan kebersihan disana. Begitu cepatnya Dimas bergerak sampai-sampai ia nyaris melanggar kursi makan dimana Niken masih menyelesaikan santap malamnya.

“Siapa sih, Ayah?”

“Maia, sayang.”

“Tante cantik itu lagi?”

Jawaban ‘ya’ dari Dimas tertutup oleh dentum ember plastik saat benda itu terjatuh akibat terburu-burunya Dimas mengambil kemoceng.

“Tante Maia mau pinjam?”

“Betul sayang.”

“Pinjam apa sih ayah?”

“Pel, sapu, kemoceng.”

Niken meng-ooo panjang sambil kemudian mulai menyuap kembali. Dimas nampaknya telah berhasil menemukan apa yang ia cari. Ia kemudian berlari lagi arah pintu depan. Namun, belum lagi ia tiba disana, Dimas sudah kembali pergi ke arah belakang.

“Koq ayah balik lagi?” Niken menatap heran melihat sikap ayahnya yang mendadak jadi amat gugup dan bahkan ceroboh.

“Ayah lupa bawa sapu.”

Beberapa saat kemudian Dimas berlari lagi ke arah pintu depan dengan memegangi sapu di tangan kirinya. Langkah setengah berlari Dimas akhirnya harus berhenti lagi ketika Niken menegurnya dari belakang.

“Lho, ayah nggak bawa lagi kemocengnya?”

Dalam hati, Dimas merutuk kebodohannya. Sambil tetap membawa sapu, ia kembali ke belakang dan meraih kemoceng yang sebetulnya sempat ia bawa. Saat ia tiba kembali di pintu depan untuk menemui tetangga barunya, keringat sudah mulai mengaliri kening dan pipinya.

“Terima kasih,” kata Maia tulus. “Aku tidak ingat bahwa kalau pindahan aku juga perlu membawa alat-alat kebersihan.”

“Tak apa. Kami siap membantu,” jawab Dimas sambil berusaha menahan nafas agar tetap terlihat teratur.

“Maaf merepotkan.”

“Tidak. Kalau membutuhkan yang lain, hubungi kami saja.”

“Tentu,” Maia menyungging senyum.

Sebuah sentuhan di pinggangnya membuat Dimas menoleh. Dimas kaget ketika melihat Niken membawakan sebuah tongkat pel.

“Tante Maia juga mau pinjam ini kan?”

Dimas tersenyum kaku. Rasa canggung begitu kuat ketika ia menerima alat itu dari tangan puterinya untuk kemudian diserahkan ke Maia.

“Perlu aku bantu?”

Maia menggeleng kepala. “Tak usah.”

“Sungguh?”

“Sungguh.”

Dimas mendesah. “Wah, sayang sekali.”

“Sayang kenapa?”

“Sayang bahwa sebetulnya aku punya waktu kosong yang cukup banyak, dan itu bisa dipakai untuk membantumu,” Dimas berujar. “Lagipula, kalau kurang tenaga, ada petugas lain yang bisa membantu.”

Melihat Dimas melirik Niken, Maia akhirnya berubah pikiran juga.

“Niken mau bantu tante?”

Dengan semangat, Niken mengangguk.

See?” kata Dimas lagi. “Kami tim yang kompak, bukan?”

Menyadari bahwa tidak ada jawaban lain yang lebih bijaksana, Maia mengangguk.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status