“Selamat siang, pak“ sebuah sapaan terdengar dari arah belakang pintunya.
“Met siang.“
Casdi membalik badan. Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Di depannya kini berdiri sesosok wanita yang ia percaya pasti memenuhi benak impian semua pria termasuk dirinya. Ia hampir saja menatap lebih lama kalau isterinya tidak bertanya.
“Ada perlu apa, mpok?“
“Mau tanya,“ kata wanita itu sambil tangannya menunjuk sebuah unit rumah yang tertutup. “Itu unit nomor D14?“
Casdi dan isterinya melihat arah yang ditunjuk sebelum Casdi mengiyakan.
“Bener, mpok.“
“Unit ini disewakan?“
“Bener. Kebetulan emang bini saya yang megang kuncinya. Yang punya rumah ngasih kepercayaan sama saya dengan bini saya buat nyerahin kunci. Kali-kali aja minat gitu. Mau ngeliat-liat dulu, mpok?“
Wanita itu mengangguk. “Tentu. Boleh aku lihat? Aku tentu perlu ditemani.“
Sebelum Casdi mengucapkan sesuatu, isterinya sudah dengan sigap melakukannya lebih dulu.
“Boleh mbak, boleh. Biar aku yang temani.“
Saat wanita itu melangkah pergi, Casdi buru-buru membisiki isterinya.
“Gimana kalo gue aja yang nemenin?“
“Sudah, bapak temani Deni saja,“ jawab isterinya.
Jawabannya perlahan namun amat tegas.
Casdi mengalah dan membiarkan isterinya menemani wanita cantik itu melihat-lihat isi rumah. Tidak menemani wanita cantik tadi terasa menyebalkan baginya. Dan terlebih menyebalkan lagi karena pekerjaan penggantinya ternyata adalah menemani puteranya bermain game yang – herannya – tidak pernah ia menangkan satu kalipun.
Ada lima belas hingga dua puluh menit terbuang ketika isterinya kembali datang menemuinya.
“Udah selesai?“
“Sudah,“ cetus isterinya tanpa ekspresi.
“Gimana, dia minat buat ngontrak nggak?“
Isterinya mengangguk.
Casdi berseri-seri. “Syukur deh kalo gitu sih. Berarti kita dapat komisi dong dari pemilik rumah?“
Kembali, isterinya mengangguk. Namun melihat sikap isterinya yang dingin, rasa ingin tahu menggelitik Casdi untuk kembali bertanya.
“Elo nggak seneng kita dapet komisi?“
“Senang.“
“Tapi gue perhatiin dari tadi koq elu diem aja?“ cetus Casdi menanyakan sikap diam isterinya.
Isteri Casdi diam sesaat. “Punya tetangga cantik, apalagi yang masih sendiri, koq ibu jadi merasa agak kuatir.“
“Kenapa?“
Saat isteri Casdi tidak menjawab, melengos dan masuk ke dalam rumah, Casdi baru mengerti. Ya, ia memang tidak perlu mendengar jawaban sesungguhnya dari isterinya.
Betul bahwa isterinya senang mereka akan mendapat komisi sewa rumah dari si pemilik. Tapi dilain pihak, isterinyapun cemburu!
Casdi baru mau masuk ke dalam rumahnya waktu kembali ia mendengar sebuah sapaan yang ditujukan untuk dirinya.
“Selamat siang, pak!“
Casdi menoleh dan melihat mbak Sarni di dekatnya.
“Siang, mbak Sarni.“
Mbak Sarni meletakkan tas tangan sembari tangannya mengipas-ngipas wajahnya.
“Tadi aku lihat ada bidadari turun.“
“Bidadari turun?“ Casdi membelalakkan matanya. “Elu nggak salah ngomong? Turun dari surga?“
“Bukan! Turun dari lantai rumah susun ini!“
Casdi berpikir sesaat sebelum kemudian tersenyum ke arah mbak Sarni. Ya, ia baru mengetahui maksud pertanyaan wanita di depannya.
“Oh yang itu? Emang bener sih. Nggak lama lagi gue bakal punya tetangga baru. Cakepnya kayak bidadari.“
Mbak Sarni mengangguk-angguk sembari menggoda Casdi. “Kalian senang dong? Apalagi bapak.“
Casdi tersenyum malu.
“Nggak lah gue kan udah nggak kayak dulu lagi,“ katanya membela diri. “Tapi dilain pihak, emang bapak mikir sih. Lah, di rumah susun ini kan banyak berandalnya.“
“Diganggu sama preman, maksudnya?“ mbak Sarni masih terus mengipas-ngipas. “Aku kira sih tak akan sampai begitu.“
“Tahu dari mana lu?“ Casdi mengernyitkan alis.
“Aku tadi melihat Irwan.“
“Irwan preman rumah susun? Emang kenapa dia?“
Mbak Sarni tersedak. “Ia dikerjai! Dipermalukan di depan beberapa penghuni rumah susun.“
Ganti Casdi yang mengernyitkan alisnya.
“Maksud lu, dia dihajar?“
Masih dalam keadaan sedikit geli, mbak Sarni mengangguk.
“Ya. Dia dan dua orang lain yang mencoba membela dirinya.“
Casdi akhirnya ikut terkikik.
*
Di bangku taman yang merupakan fasilitas umum rumah susun, dalam kesejukan semilir petang, Dimas tengah asyik belajar dan berbincang dengan Niken.
“Anjing?”
“Dog!”
“Bebek?”
“Duck!”
“Monyet?”
“Monkey!”
“Bagus. Kalau kuda?”
Tidak ada jawaban.
Dimas, pria itu menoleh.
“Kuda?” ulangnya.
Tidak ada jawaban keluar dari mulut mungil anak itu. Dimas mengulang menanyakan untuk ketiga kalinya. Namun tetap saja Niken tidak bersuara.
Dimas mendesah lalu menutup buku yang sedari tadi dipakainya untuk melatih Niken berbahasa Inggris. Kalau Niken telah bersikap begini, Dimas menyadari bahwa ia perlu menyudahi dulu upayanya mengajar. Tangannya menggapai menyentuh ujung rok berenda putih yang dikenakan Niken.
Niken menatap kearah Dimas, ayahnya. Sekilas saja karena beberapa saat kemudian tatapannya kembali beralih ke tengah taman. Dimas mengikuti arah pandangan Niken.
Ada Deni disana yang nampak asyik bermain bersama ibunya. Entah apa yang mereka mainkan. Yang pasti Dimas dapat melihat sebuah rona lain di raut wajah Niken saat melihat keakraban ibu dan anak tadi. Sebuah rona cemburu berbalut kesedihan.
Dimas mengelus rambut puterinya. Ia tahu Niken kembali merindukan almarhumah isterinya, ibunda Niken.“Sayang,“ cetus Dimas, “pulang yuk?“Niken menggeleng kepalanya perlahan. Ia terus saja menyaksikan pemandangan di depannya. Dimas lalu ikut menonton.Tak lama kemudian, dari pelataran parkir Casdi datang dengan motornya menjemput mereka. Deni segera naik di jok terdepan sedangkan isteri Casdi duduk di bagian belakang. Mereka tertawa-tawa kecil sebelum kemudian Casdi melajukan motornya meninggalkan areal rumah susun.Mata Niken tak berkedip menyaksikan kejadian tadi. Waktu Dimas memeluk pinggangnya, Niken lalu membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Raut wajahnya kelihatan semakin sedih.Dimas menghela nafas dalam-dalam.Sesaat berikut, Niken sudah berada dalam rangkulan Dimas yang mengantarnya kembali ke unit rumah susun dimana mereka tinggal.Ketika tiba di lantai teratas dima
Dimas tengah melangkah menuju lobby sebuah perusahaan penerbitan ketika sebuah teguran terdengar. “Kau langsung pulang?“ Sari, editor di perusahaan tersebut langsung mencegatnya ketika ia baru saja keluar dari pintu lift.. Dimas menoleh dan melihat wanita itu mendekat ke arah dirinya. “Ya.“ “Kau sudah dapat honor dari cetakan pertamamu?“ “Cetakan kedua,“ kata Dimas mengoreksi sembari menunjukkan selembar cek tunai dari saku bajunya. “Sudah.“ “Jadi mentraktir a
Supermarket yang Maia masuki cukup banyak dikunjungi orang dengan counter buah-buahan dan makanan ringan paling banyak diminati. Itu tidak mengherankan karena pihak supermarket menyediakan obral besar saat itu. Kendati demikian, Maia tidak berminat bergabung dengan sekumpulan orang-orang tadi. Ia lebih suka menghabiskan waktu untuk memilih barang-barang lain. Maia bukan tipe shopaholic. Itu sebabnya kendati di lantai yang sama tersedia berbagai butik dan pernak-pernik kebutuhan wanita, Maia tidak banyak menghabiskan waktu disana. Hanya lima menit ia gunakan untuk membeli beberapa perlengkapan wanita sedangkan setengah jam berikut ia pakai untuk memilih keperluan-keperluan lainnya. Saat berada di depan kasir, Maia beruntung. Ia dilayani bukan kasir baru melainkan kasir yang dengan terampil mem
Baju yang dikenakan Dimas cukup banyak terkena curahan hujan saat ia tiba di dalam kabin kendaraan. Ini akibat payung yang ia pakai tergolong kecil sehingga tidak cukup lebar melindungi tubuhnya dari hujan yang turun begitu deras. Dimas baru saja akan menghidupkan mesin kendaraan ketika handphone-nya berbunyi. Perangkat komunikasi berkategori low-end itu menunjukkan sebuah nama di layar tampilannya. Nama Niken. Dalam rangka memonitor keberadaan Niken, kendati ia masih duduk di bangku kelas I, sudah satu-dua minggu ini Dimas membekalinya dengan sebuah handphone. Dimas bersyukur karena Niken ternyata tergolong cerdas sehingga hanya butuh waktu tidak lama sebelum puterinya benar-benar menguasai alat komunikasi tersebut.“Halo sayang,“ Dimas langsung menyapa dengan mesra.&nb
Urusan belanja baru saja Maia selesaikan. Dari depan pintu keluar, Maia mengawasi mobil-mobil yang berlalu-lalang di depannya. Jam menunjukkan pukul satu siang. Sebuah taksi yang Maia perkirakan buatan sepuluh tahun lalu mendekat. Bemper depannya nampak berkarat dengan cat dan plang taksi yang makin buram termakan usia, hujan dan sinar matahari. Sopir didalamnya memberi isyarat pada Maia untuk mau menggunakan jasanya. Produk sisa awal 2000-an yang segera lenyap tergerus zaman akibat bermunculannya taksi online itu, meluncur pelan. Merendengi langkah kakinya.Maia mengebas tangan. Sebuah isyarat penolakan.Maia berharap bisa mendapatkan satu buah taksi yang bersih dengan pendingin udara yang nyaman untuk mengantarnya pulang. Namun
Maia diam. Otaknya berputar keras mencari cara bagaimana untuk mengatasi keadaan tak terduga.“Mana dompetnya, hah?!“ sopir yang nampaknya menjadi otak kejahatan, kembali membentak. “Ada.“ “Jangan sok tenang lu! Mana dompetnya?!“Mengabaikan bentakan tadi, Maia seolah menantang ketika ia memberi tahu si sopir. “Stop pinggir! Aku berhenti disini. Aku mulai tidak suka dengan kalian semua!“ Orang di samping kiri dan kanan Maia spontan tergelak. “Aku serius,“ cetus Maia. “Jika tidak mau berhenti, maaf, kalian terpaksa harus siap dengan resikonya.“ 
Cuaca mendung yang seharian melingkup langit Jakarta sedikit terkuak. Penetrasi sinar matahari mulai menyentuh jalan dan deretan mobil yang siang itu memadatinya. Berada di deretan terakhir, pengemudi mobil van berwarna hitam merutuk atas kemacetan yang terjadi.Rekannya, orang kedua yang berbadan lebih gempal dengan jaket coklat dan gambar tato menyembul di tangan kirinya, tidak menanggapi kekesalan rekannya. Pria yang mengemudi kemudian menghembus asap rokok melalui kaca yang sedikit dibiarkan terbuka. Udara diluar sana dengan cepat menarik asap tipis yang ditimbulkannya.Ketika barisan kendaraan di depan mulai beringsut, mobil yang mereka kendarai bergerak satu meter.“Ada apa?“ tanya pria gempal bertato kepada seorang pedagang buah yang kebetulan datang dari arah depan.“Kecelakaan, oom. Ada mobil taksi melayang sehabis nabrak trotoar.““Dahsyat sekali?“
“Memang belum ada,“ akunya jujur.Dimas mengumbar senyum.“Aku punya yodium, alkohol 70 persen, perban. Pokoknya, cukup untuk mengobati lukamu.“Langkah kaki mereka terhenti ketika tiba di lantai teratas rumah susun.“Selain itu, aku juga pernah menjadi anggota palang merah saat aktif di sekolah dan kampus.“Gantian, kini Maia yang tersenyum. “Selain kelengkapan obat dan pengalaman bidang medis, apalagi yang kau mau tawarkan padaku?“Dimas berpikir keras.“Pengobatan gratis,“ ujarnya hati-hati, “berikut makan malam bersama Niken. Dan aku.“*Seorang petugas di ruang Unit Gawat Darurat menerima seorang tamu pada sore menjelang malam hari itu. Kalau boleh sebetulnya ia lebih suka agar tamu itu datang satu atau dua jam lagi. Apalagi setelah tahu bahwa orang tersebut ternyata bukan kel