Share

Dimana Dia?

“Ada Niken, pak?“ terdengar suara Dimas di luar pintu rumah Deni saat menanyai puterinya.

Niken menoleh bersamaan dengan meluncurnya jawaban dari Casdi, orangtua Deni.

“Ada.“

Pintu masuk yang berada di belakang Niken terbuka. Dimas muncul. Setelah permisi pada ibu Deni yang menemani putera mereka bermain, Dimas membawa Niken pulang.

Pertanyaan berbau protes diajukan Niken ketika keduanya melangkah ke unit rumah susun mereka.

“Kenapa Niken nggak boleh main lama-lama sih?“

“Mbak Sarni kan sudah datang untuk membantu Niken mandi, sikat gigi dan ganti baju sebelum berangkat sekolah,“ jawab Dimas mencoba menjelaskan selembut mungkin.

“Dan mbak Sarni sebentar lagi sudah harus pergi ke tempat lain.

“Terus, kenapa Niken nggak ayah beliin playstation sih?“  

Sebuah ide jawaban melintas di benak Dimas.

“Ayah nggak mau.“

Niken berhenti melangkah. Kepalanya mendongak menatap ayahnya yang hampir dua kali postur tubuhnya.

“Kenapa?“

“Kalo ayah belikan, Niken pasti tidak punya banyak waktu lagi untuk main dengan ayah.“

“Koq gitu?“

“Soalnya kalau Niken main, seperti biasanya Niken pasti mainnya lamaaaa sekali. Bisa berjam-jam. Padahal ayah ingin agar kita main bersama-sama. Bukan hanya main di depan TV.“

Niken nampak berpikir keras.

Masa?“tanyanya, nampak kurang yakin.

“Betul. Ayah tidak berbohong. Kalo tak percaya, coba lihat teman-teman Niken yang ada di lantai bawah. Eni, Hadi, Warno. Gara-gara main playstation terus, mereka sekarang susah kan kalo disuruh mandi? Apalagi kalo disuruh belajar.“

Niken terdiam sesaat.

“Iya-ya, kata mama Deni, si Deni juga mulai susah tuh kalau diminta orangtuanya untuk belajar.“

Dimas lega.

“Nah betul kan apa yang ayah katakan? Jadi sebaiknya Niken main dengan ayah saja.“

Diluar dugaan Niken menggeleng.

“Kenapa?“

“Bosan.“

“Bosan?“

“Iya. Niken bosan bermain bersama ayah.“

“Memangnya kenapa?“

“Habis, mainnya itu-itu terus.“

Dimas hampir tersedak. Geli.

“Lho, kita bisa main yg lain. Main ludo, misalnya.“

Niken menggeleng. “Tidak! Ayah mengalah terus.“

“Main catur?“

“Tidak mau juga Ayah suka curang.“

“Kalau main di Dufan?“

“Tidak mau juga.“

Dimas terperanjat. “Kenapa?“

“Ayah janji terus!“

*

Di depan sebuah kompleks perumahan, seorang pria berjalan menapaki trotoar. Sesekali ia berhenti dan menanyai seseorang seperti yang sekarang ia lakukan ketika menanyai seorang pedagang makanan. Tubuhnya tinggi dengan postur tubuh gempal dengan balutan jaket warna coklat. Lengan panjang jaket yang dikenakannya tak mampu menutupi seluruh tato yang terukir di sepanjang lengan kirinya.

Untuk sesaat terjadi dialog dengan pedagang makanan tadi sebelum pria bertato  tadi menunjukkan sebuah foto. Pedagang makanan nampak menggeleng. Suatu pertanda bahwa pedagang tersebut tidak dapat memberikan informasi yang diharapkan pria bertato.

Pria tadi lantas mengangguk tanpa mengucapkan apapun. Ia kemudian melangkah sejauh puluhan meter. Menemui orang lain lagi untuk kemudian nampaknya mengajukan pertanyaan yang sama sambil menunjukkan foto yang ia bawa. Orang yang ditanya kali ini tidak dapat mencari jawaban pasti. Antara ya dan tidak. Ia sempat menunjuk ke suatu arah. Terjadi lagi dialog diantara mereka sampai kemudian orang yang ditanya menggeleng kepala dengan pasti.

Pria gempal bertato kemudian melakukan panggilan melalui telpon selulernya. Setelah percakapan selesai, tak lama kemudian sebuah mobil van berwarna hitam metalik menghampirinya. Ia masuk melalui pintu depan.

“Bagaimana?“ tanya pengemudi van.

Yang ditanya menoleh untuk kemudian menggeleng kepala.

“Belum kutemukan.“

Pengemudi van merutuk.

“Where the hell is she?“ tanyanya retoris.

Mereka masih bercakap-cakap sesaat sebelum mobil van kemudian meluncur meninggalkan tempat itu.

*

Terik matahari di langit Jakarta menjadikan suasana dalam rumah susun begitu gerah. Suasana dalam unit rumah Casdi tidak jauh berbeda. Itu sebabnya untuk mengurangi panas, pria keturunan Betawi itu membuka pintu rumah selebar mungkin. Ia berharap tindakannya tersebut bisa menurunkan suhu unit rumahnya minimal untuk satu-dua derajat.

Di musim penghujan seperti sekarang, cuaca hujan yang turun di malam hari biasanya memang diawali dengan terik di siang harinya. Suasana panas yang ditimbulkan dalam rumah susun memang jadi begitu tidak nyaman. Namun bukan hanya itu, suasana gerah tadi jadi semakin tidak nyaman. Deni kecil, puteranya, sejak tadi terus merengek meminta dirinya untuk menghidupkan rangkain playstation.

Setengah mati Casdi dan isterinya bahu-membahu menjelaskan agar Deni berhenti bermain dulu untuk sementara. Berbagai alasan dikemukakan. Mulai dari bersikap membujuk sampai mengancam. Namun, Deni memang memiliki kegigihan yang luar biasa dalam hal rengek-merengek. Anak itu terus meminta hingga akhirnya mengeluarkan senjata pamungkasnya.

Tangis dengan raungan dan curahan air mata tanpa henti.

Ketika hal ini terjadi, dan hampir selalu terjadi, Casdi atau isterinya biasanya hanya bisa mengalah. Membiarkan buah hati mereka kembali melupakan waktunya untuk belajar demi kenikmatan bermain kotak ajaib itu. Berjam-jam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status