Share

LOVE IN A LOST CITY
LOVE IN A LOST CITY
Author: Ji-Na

Hujan

“Hallo, Assalamualaikum… Ada apa, Yah?” Dengan nada malas, aku mengangkat telepon dari Ayah.

“Nak, Tante Sari sudah melahirkan. Kamu dateng ke sini ya?” Suara Ayah terdengar dari ujung telepon sana.

“Enggak ah, ngapain aku ke sana?” tolakku tegas. Malas sekali jika aku harus ke sana. Melihat Tante Sari saja sudah membuatku kesal, apalagi ditambah dengan kehadiran anaknya.

“Tidak ada yang membantu Ayah di sini. Lagipula apa kamu tidak mau melihat adikmu?” balas Ayah.

‘Sejak kapan aku mempunyai adik? Ish…,perkataan Ayah membuatku kesal saja,’ aku mengomel dalam hati.

Bayi itu anak Ayah dari Tante Sari. Sejak dulu aku tak pernah menerima kehadirannya sebagai pengganti Bunda. Ayah selalu saja memaksakan kehendaknya, dulu aku harus menerima kehadiran perempuan itu sebagai ibu sambungku. Sekarang aku pun harus menerima anaknya sebagai adikku. Sampai kapan pun, itu tidak akan pernah terjadi.

“Enggak, itu anak Ayah, bukan adikku!” bentakku. Ada sedikit rasa bersalah menjalar di hatiku karena telah berkata kasar kepada Ayah.

“Tak apa … Kalau Retta tidak menganggap anak Ayah ini sebagai adik Retta. Tapi Ayah mohon, tolong bantu Ayah di sini,” ucap Ayah setengah memohon.

Aku selalu saja tidak pernah bisa menolak permohonan Ayah, meskipun aku sangat kesal padanya. “Ya udah, nanti Retta izin dulu sama teman kelompok Retta. Karena harusnya Retta pulang besok, bukan hari ini.”

“Iya Nak, nanti hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabari Ayah,” suara Ayah terdengar sangat lega sekaligus senang.

Kuputus teleponku dan duduk termenung sendiri di ruang tamu, hingga tepukan bahu dari Nathan menyadarkanku.

“Heh, ngelamun aja! Entar kesambet loh!” Nathan terkekeh, membuatku sebal melihat wajahnya yang cengengesan setelah berhasil mengagetkanku.

‘Nyebelin banget sih! Ngagetin orang aja!’ aku mengomel dalam hati dan memasang mimik wajah kesal.

Bukannya minta maaf, dia malah semakin cengengesan melihatku kesal. Sahabatku yang satu ini memang jahil dan menyebalkan, untung saja dia baik dan care. Kalau tidak, sudah kupecat jadi sahabat sejak lama.

Nathan duduk di sampingku dan tersenyum. “Kamu kenapa sih? Kayaknya lagi kesel?” dari nadanya terdengar serius.

“Lagi datang bulan ya? Kayaknya bulan juga ga berani datang ke kamu, orang kamunya aja galak. Jangankan bulan, orang aja takut deket kamu,” lanjutnya lagi, disusul dengan tawanya yang terbahak-bahak sampai ia memegangi perutnya.

Kuambil bantal kecil berwarna abu di sampingku. Kulempar bantal itu hingga tepat mengenai wajah Nathan. Ia mengaduh tapi aku senang bisa membalas kejahilannya. Belum puas pembalasan dariku, kuhampiri Nathan dan kuacak-acak rambutnya hingga puas, dia tak melawan. Kini rambut pemuda tengil itu terlihat seperti rambut singa hingga aku tergelak melihatnya.

“Nath, aku izin dong pulang duluan. Ayah nyuruh aku pulang, katanya Tante Sari udah ngelahirin. Aku berangkat nanti sore.” Aku duduk di samping Nathan.

“Alhamdulillah, bagus dong. Ayolah Ta. sampai kapan sih kamu manggil dia tante?”

“Gimana pun juga Tante Sari itu udah  jadi ibu sambung kamu. Toh sikapnya juga baik sama kamu kan? ga kayak ibu-ibu sambung macam di sinetron alay itu,” ujar Nathan, sambil merapikan rambutnya yang seperti singa dan menyugar rambutnya kembali.

“Kamu sih enak, bisa ngomong gitu. Kamu punya orang tua kandung yang lengkap!” jawabku ketus.

"Aku ngerti kok perasaan kamu cuma kan ..." Saat Nathan belum selesai bicara, aku langsung memotong pembicaraannya.

"Kamu gak akan pernah ngerti kalo kamu gak ada di posisi aku," ucapku penuh penekanan

"Kita selalu sepaham dalam hal apapun, kecuali ini. Jadi jangan memaksakan pemahaman kamu itu sama aku. Not worth it for me! seruku sambil beranjak pergi

Aku malas melanjutkan obrolan ini. Nathan selalu saja membahas hal yang sama. Ia tidak akan mengerti bagaimana perasaanku, kondisi keluargaku berbeda dengannya. Ia mempunyai keluarga yang utuh dan mendapatkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Tapi dia selalu bersikap seolah mengerti perasaanku.

“Nanti aku mintain izin juga ke teman-teman yang lain!” seru Nathan dari jauh.

Kumasukkan pakaian dan perlengkapanku ke dalam koper. Aku sudah mendapatkan izin dari teman-teman kelompok KKN-ku untuk pulang lebih dahulu, walaupun aku harus melewatkan acara perpisahan dengan warga di sini. Syukurlah mereka mengerti alasanku.

Hari sudah semakin sore, aku bergegas dan menarik koperku ke depan. Aku tak mau kemalaman di jalan. Karena aku harus mengendarai mobil sendiri dan penglihatanku agak kurang awas saat malam hari.

Nathan membuka pintu bagasi mobilku dan memasukkan koperku. Setelah aku pamit pada teman-temanku, kubuka pintu depan mobil dan segera tancap gas. Rupanya cuaca sore ini sedang tidak bersahabat, awan mendung mulai berarak dan langit mulai semakin gelap.

Tak lama, hujan turun dengan rintik-rintik. Kuinjak pedal gas lebih dalam lagi untuk menaikkan kecepatan mobilku. Suasana jalan pun sedang lengang, aku bisa bebas menambah kecepatanku. Kulirik ponsel yang berdering di jok sampingku, tertera nama Ayah sedang memanggil. Kuambil headset dan kutekan tombol on untuk menghubungkan dengan ponsel.

“Halo Ayah, Retta udah di jalan nih. Paling dua jam lagi Retta sampai,” ujarku sambil mengemudi dan menjaga pandanganku tetap lurus ke depan.

“Oh gitu. Ya udah, hati-hati di jalan ya, Nak. Jangan lupa berdoa,” jawab Ayah.

“Iya…Yah, udah dulu ya… Retta lagi nyetir nih,” balasku singkat dan kuputuskan panggilan.

Mengendarai mobil sendiri dengan keadaan jalanan yang sepi membuat suasana terasa sunyi. Kuputar musik dari speaker mobil, kupilih lagu-lagu favoritku untuk menemani perjalanan ini.  Lagipula aku harus menjaga mata ini agar tidak mengantuk. Ponselku berdering lagi, kali ini Nathan yang menelepon.

“Halo Nath, aku masih di jalan nih. Tadi gimana acara perpisahan sama warganya?,” tanyaku penasaran.

“Alhamdulillah, lancar acaranya, tadi juga warga nanyain kamu. Katanya ke mana Mbak yang cantik itu?” Nathan berusaha menggodaku.

Aku tertawa mendengarnya. “Bohong, itu sih bisa-bisanya kamu aja biar aku ke-geer-an.” Dia pikir dia bisa membohongiku.

“Hahaha, tahu aja… Ya ga mungkinlah warga ngomong gitu. Paling juga nanyanya gini, Mas…, Mbak yang galak itu ke mana ya?” diselingi gelak tawanya yang menggema di ponselku.

Sudah kuduga, Nathan memang tidak pernah tulus memujiku. Setelah membuatku terbang dengan pujiannya, dia akan membuatku jatuh dengan ledekannya.

“Asseemm…! Dasar temen ga punya akhlak! Udah, jangan ganggu aku. Lagi buru-buru nih, takut keburu malam,” gumamku pura-pura kesal.

“Ya udah, hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabarin kalau udah sampai,” ucap Nathan.

“Ok…” Kuputuskan panggilannya dan kutaruh ponselku di atas dashboard.

Hujan semakin deras, Kilat mengiringi perjalananku bersamaan gemuruh petir yang menggelegar dengan keras. Aku mengurangi kecepatan mobilku karena jalanan mulai berkabut. Tiba-tiba terdengar suara keras. Braaak …! Pohon beringin berukuran besar yang berada tepat di depanku tumbang. Kutarik rem mendadak untuk menghindari mobil agar tidak menabrak pohon itu. Namun kecelakaan tidak dapat dihindari. Buuuum….! Mobil menghantam pohon itu dengan keras.

Aku baru sadar tak memasang seatbelt dengan benar hingga kepalaku terbentur mengenai kaca depan mobil dan tubuhku mengenai setir mobil. Aku meringis memegang perutku yang sakit. Kuraba keningku, meneteskan darah yang terus mengalir. Dengan kekuatan yang tersisa, kubuka pintu mobil. Aku mencoba mencari pertolongan tapi tak ada satu pun kendaraan yang lewat.

Aku berjalan dengan tertatih, kepalaku semakin berat. Kulihat ada sebuah mobil putih yang melintas. Aku berteriak meminta pertolongan. Mobil itu berhenti, seorang pria keluar dari mobil dan menghampiriku dengan terburu-buru.

“Mbak… mbaknya kenapa? Baik-baik aja kan?” tanya pria itu dengan cemas.

Aku menggeleng, ingin menjawab tapi suaraku tersekat di tenggorokan, kepalaku semakin berat dan pusing. Pria itu langsung menggendongku menuju mobilnya. Pandanganku mengabur dan suara pria yang terus memanggilku itu semakin samar. Aku tak sadarkan diri.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Eneng Susanti
Ceritanya menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status