Share

Keinginan yang Tertunda

Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya.

‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. 

Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya.

“Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam.

Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.”

Sesungguhnya pemuda itu tidak berani melawan ibunya. Tetapi ia sendiri tak mampu menahan gejolak dalam dirinya, ia tak ingin berpisah dengan Retta. Tentu saja ibunya tak akan semudah itu percaya pada padanya.

“Kamu gak lagi bohongin ibu kan?”gertak Radhiti tak percaya.

Ansel berusaha tenang, tak ingin terintimidasi oleh ibunya. “Apa ibu mau ikut Ansel ke rumah sakit?” tanya Ansel.

Radhiti menggeleng, “Ya sudah, hati-hati di jalan.”

Ansel pun berpamitan pada ibunya dan segera tancap gas untuk menyusul Retta. Perhitungan waktu di Saranjana berbeda dengan di dunia nyata, Seperti Retta yang tinggal di Saranjana selama tiga hari. Namun kenyataannya, Retta sudah menghilang selama tiga bulan. Baru lima belas menit sejak Retta pergi, mungkin sekarang Retta sedang dalam perjalanan pulang.

Ansel mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dalam perjalanan, ia melihat Retta dari kejauhan. Baru saja ia hendak menghampiri Retta tapi ia melihat seorang pemuda yang mengejar Retta di belakangnya. Ansel menepikan mobilnya agak jauh dari tempat Retta berdiri, tapi ia masih bisa melihat Retta dengan jelas.

‘Sepertinya pemuda itu mempunyai hubungan yang dekat dengan Retta,’ pikir Ansel.

Ia terus menatap dengan tajam ke arah Retta, wajahnya memerah, dengan nafas yang tak beraturan,ia mengepalkan tangannya di atas setir mobil. Hatinya dibakar cemburu melihat pemuda itu tengah memeluk Retta dan menghapus air matanya. Sebagai sesama pria, tentunya Ansel tahu, sikap pemuda itu pada Retta bukan sikap yang biasa. Dari sikap dan pandangan matanya pada Retta terlihat bahwa pemuda itu menyukai Retta.

Tak sabar, ia ingin menghajar pemuda yang berusaha merebut wanita yang dicintainya. Tapi ia berusaha menguasai dirinya dan sadar bahwa ia tidak boleh bertindak gegabah. Jika sedikit saja melakukan kesalahan, ia bisa kehilangan Retta. Ansel menghela napas, melepaskan amarah dalam dirinya.

Ansel melihat mereka kembali ke mobil, ia memutuskan untuk mengikuti mereka. Tak lama, mereka berhenti di sebuah rumah bercat putih, Ansel menghentikan mobilnya di samping rumah itu. Ia turun dari mobilnya, mengawasi Retta dari jauh. Terlihat seorang pria paruh baya menyambut kedatangan Retta dengan penuh haru.

‘Sepertinya itu Ayah Retta,’ batin Ansel. Tapi sepertinya terjadi pertengkaran diantara mereka. Retta beradu mulut dengan pria itu, lalu masuk ke rumah dengan berurai air mata. Ingin rasanya ia menghampiri Retta dan menghiburnya tapi ia tak mungkin melakukan itu.

Ansel lantas mengambil ponselnya dan mencari nama Retta, sejenak ia berpikir untuk menelepon Retta. Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim pesan saja. Meskipun sebenarnya ia bingung harus mengirim pesan apa dan sempat beberapa kali menghapus pesan yang sudah diketik. 

Are you ok?’ Ansel memutuskan untuk menanyakan keadaan Retta.

Baru saja Ansel selesai mengetik, ibunya menelepon. Ansel yang panik segera mematikan ponselnya.

‘Aku harus pulang sekarang, sebelum Ibu curiga. Lebih baik, aku kembali lagi besok,’ pikir Ansel. Ia segera  memutar  mobilnya dan kembali ke rumahnya.

“Ansel, kamu kemana aja?” cecar Radhiti, ketika Ansel baru sampai di rumah.

“Tadi selesai rapat, ada acara makan-makan Bu. Jadinya Ansel ga bisa langsung pulang,” jawabku asal.

Radhiti memperingatkan anaknya dengan tatapan dingin, “Ibu harap, kamu tidak sedang membohongi Ibu!” 

Ansel langsung gelagapan “Eh … Enggak lah Bu, Ansel lelah mau istirahat dulu.” Ia memilih masuk kamar sebelum kebohongannya terbongkar di depan ibunya. 

Radhiti menghela napas panjang, ia tahu anaknya sedang berbohong. Ia sangat mengenal tabiat putra kesayangannya itu. Terlahir sebagai anak tunggal membuat Radhiti selalu memanjakan putranya itu. Sejak kecil, Ansel selalu terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Saat ia tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan, ia akan berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkannya dengan segala cara.

Radhiti pun selalu memberikan apa yang Ansel inginkan, termasuk saat Ansel jatuh cinta pada seorang gadis bernama Vira. Sebenarnya Radhiti kurang setuju karena latar belakang gadis tersebut yang berbeda. Namun ia mengalah dengan keinginan anaknya itu dan merestui hubungan mereka. Belakangan hubungan mereka berakhir dan membuat Ansel kecewa.

Beberapa kali Radhiti mencoba untuk menjodohkan anaknya dengan anak dari kenalannya, tapi Ansel selalu menolak. Ia sulit melupakan cinta pertamanya, hingga ia bertemu dengan Retta yang ternyata wajahnya sangat mirip dengan Vira, cinta pertamanya. Seolah takdir berputar di tempat  yang sama, Ansel selalu jatuh cinta pada gadis yang berbeda dunia.

Ia ambil ponsel yang tergeletak di atas meja yang tak jauh dari sana dan menelepon seseorang.

“Kamu tolong kesini ya! Tante lagi butuh bantuan kamu,” kata Radhiti dalam teleponnya.

“Cuma kamu satu-satunya harapan Tante, Na!? sambung Radhiti meyakinkan orang yang tengah berbicara dengannya lewat telepon.

“Ok, Tante tunggu kamu ya sayang,” tutur Radhiti mengakhiri teleponnya. Ia berharap orang itu bisa membantunya menyadarkan Ansel untuk menjauhi Retta.

Ansel mendengar ibunya sedang menelepon seseorang tapi dinding kamarnya yang cukup tebal membuat suara ibunya terdengar samar. Namun Ansel tidak peduli, ia sedang menunggu saat yang tepat untuk pergi lagi dengan diam-diam.

Beberapa jam ia menunggu, hingga ia terlelap dan terbangun kembali. Suasana  terdengar sunyi, Dia buka pintu kamarnya untuk melihat keadaan sekitar, sepertinya ibunya sudah masuk tidur di kamar.

Ansel keluar, menghidupkan mobilnya dan kembali menemui Retta. Tiba di depan rumah Retta saat pagi hari.  Ia melihat Retta pergi dengan pemuda yang kemarin ia lihat. Ia semakin tidak menyukai pemuda itu.

‘Kenapa sih dia selalu dekat dengan Retta?’ batin Ansel kesal, Ia mengikuti mobil yang dinaiki mereka berdua.

Pandangan Ansel tak lepas dari pemuda itu dan Retta, ia masih mengikuti mereka berdua hingga ke dalam kampus. Tentu saja tanpa diketahui mahasiswa lain, Ansel hanya menampakkan dirinya di dunia nyata pada orang yang dia inginkan untuk melihatnya. Melihat Retta yang sedang berbicara dengan dosennya, ia tahu kalau Retta sedang bimbingan.

Ansel menunggu Retta di luar, tak lama Retta keluar dan berjalan menuju sebuah taman. Retta duduk di kursi taman itu, sepertinya sedang menunggu seseorang. Ia menunggu saat yang tepat untuk memberi kejutan pada Retta. Jantungnya berdebar, tak sabar ingin bertemu pujaan hatinya.

Ansel mengetik pesan, ‘Gimana bimbingannya?lancar?’

Retta terlihat mengambil ponselnya dan membaca pesan yang terkirim ke ponselnya. Ia kelihatan celingukan, mencari seseorang sampai matanya tertuju pada Ansel. Baru saja Ansel ingin menghampiri Retta, seseorang menghalanginya dan membekap mulutnya lalu menariknya jauh dari pandangan Retta.

Dengan susah payah Ansel melawan dan membuka tangan yang membekap mulutnya. Saat ia berbalik, Ansel terkesiap melihat orang yang telah menculiknya.

Ji-Na

Terima kasih sudah mampir ke novel perdanaku. Tetep support author terus ya untuk setia membaca kelajutan kisah Retta. Jangan lupa reviewnya juga! ^_^

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status