Share

Sosok yang Kukenal

Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil.

“Halo, Nath...Ada  apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas.

“Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.”

“Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus

“Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. 

Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati

“Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan.

Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger  di kampus. Seorang mahasiswi menghilang selama tiga bulan tanpa kabar. Pasti kehadiranku di sana akan menjadi pusat perhatian. Belum lagi berbagai pertanyaan dari teman-teman dan dosen yang menanyakan keberadaanku selama tiga bulan kemarin.

“Nanti kalau orang-orang kampus nanyain kejadian kemaren gimana?” tanyaku ragu

“Udah gak usah dipikirin, yang penting kita kerjain skripsi dan cepat lulus. Kita udah janji kan mau wisuda bareng?”

Aku tersenyum, memang benar aku dan Nathan pernah berjanji untuk lulus kuliah bersama. Ternyata Nathan masih mengingat itu, dia memang sahabat terbaikku. He’s my support system

“Nanti aku jemput jam delapan ya!”

“Ok, siap boss!”

Kututup telepon dan bergegas mandi, badan terasa lengket oleh keringat. Aku baru ingat, ternyata aku  belum mandi sejak kemarin. Menangis sepanjang hari membuatku lelah hingga tertidur.

Kunyalakan air dari shower  dan membasahi tubuh ini, terasa segar sekali.  Selepas mandi, aku bersiap pergi ke kampus, tak lupa kubawa draf skripsi yang akan kuajukan. Dosen pembimbing ku memang lebih suka bimbingan secara langsung, alasannya agar lebih detail dalam koreksi skripsi.

Perlahan,kubuka pintu kamar. Suasana di luar sudah sepi, sepertinya Ayah sudah berangkat kerja. ‘Lebih baik kutunggu Nathan di depan saja’ pikirku. Baru saja aku, melangkahkan kaki ke depan, Tante Sari memanggilku.

“Retta, mau ke kampus ya? Sarapan dulu yuk, Tante udah siapin sarapan di meja,” ajak Tante Sari.

Belum juga kujawab pertanyaan Tante Sari, sebuah suara membuatku tersentak. Entah sejak kapan datangnya, tiba-tiba Nathan datang dan seenaknya menyela pembicaraanku.

“Aku mau Tan, laper banget. Tante tahu aja deh aku belum sarapan,” ucapnya dengan wajah tanpa dosa.

Tante Sari tersenyum melihat tingkah Nathan, “Ayo Ta, ajak Nathan sarapan bareng!”

Nathan menarik tanganku ke ruang makan, aku heran sebenarnya tuan rumah disini siapa. Nathan lebih enjoy berada disini dibanding aku yang tuan rumahnya.

Tante Sari menyiapkan empat potong roti sandwich dan dua gelas susu untukku dan Nathan.

“Kalian makan aja ya, Tante udah makan bareng Ayah Retta tadi.” 

“Makasih ya Tan, jadi enak.” ucap pemuda tengil itu sambil menyeruput segelas susu.

 Aku menoyor kepala Nathan hingga tak sengaja membuat ia tersedak. Aku panik dan menepuk leher bawah Nathan dengan kencang.

“Uhuk … uhuk .... tega banget sih Ta bikin keselek. Perasaan Tante Sari ikhlas ngasih aku makan. Lah, malah kamu yang ga ikhlas,” protes Nathan.

“Maaf deh, abis kamu nyebelin banget sih. Buruan abisin makanannya, kita ke kampus!”

Nathan segera menghabiskan sarapannya dengan lahap sambil mengoceh memaksaku menghabiskan makananku juga.

“Yuk kita berangkat, tadi mobil diparkir di depan pagar biar ga repot keluarnya.” Nathan menggandeng tanganku dan berpamitan pada Tante Sari yang berada di teras sedang berjemur dengan bayinya.

“Tante, Nathan berangkat dulu ya,” sambil mencium tangan Tante Sari sedangkan aku hanya diam. Tapi Nathan lantas menarik tanganku dan menyuruhku untuk mencium tangan Tante Sari juga. Mulutku mengerucut kesal, Nathan masih bergeming menungguku melakukan perintahnya.

Terpaksa aku lakukan perintahnya, mencium tangan Tante Sari. Suasana canggung terjadi diantara kami berdua. Sedangkan sahabatku yang menyebalkan itu hanya tersenyum melihatku. Sepertinya dia ingin berlagak baik, untuk mendekatkanku dengan Tante Sari. Tapi takkan semudah itu.

Kini giliranku … dengan senyum menyeringai kutarik ransel Nathan hingga ia berjalan sambil terseret.  ‘Rasakan pembalasanku,’ ucapku dalam hati. Aku tak melepaskannya meskipun ia terus mengomel.

Sesampainya di kampus, sesuai dengan dugaanku. Semua perhatian tertuju kepadaku, mungkin mereka takjub melihat orang yang sudah hilang berbulan-bulan bisa kembali lagi. Tak cukup hanya itu, semua orang yang kukenal di kampus menanyakan kabarku. Aku hanya tersenyum dan Nathan lah yang mengorbankan diri untuk menjadi juru bicara dan menjawab pertanyaan mereka, tentu saja dengan jawaban kocaknya.

“Kamu darimana aja Retta? Ibu nungguin kamu udah lama. tanya dosen pembimbing ku saat kami berpapasan di ruangannya.

“Retta jenuh katanya Bu, abis KKN. Eh, dia malah liburan ke Bali. Sekarang dia baru sadar, gak bisa jauh dari saya aja Bu, makanya dia balik lagi kesini.” jawab Nathan percaya diri.

Dosenku terkekeh mendengarnya, “Hadeh, ya udah beres wisuda langsung bawa aja Retta ke KUA!”

“Siap, Bu.” balas Nathan dengan posisi tangan hormat.

Dosen pembimbingku masuk ke ruangannya, aku lekas masuk untuk bimbingan. Sedangkan Nathan masuk ke ruangan sebelah, karena dosen pembimbing kami berbeda. Usai bimbingan skripsi, aku mencari Nathan dan melihat ke ruangan sebelah. Sepertinya Nathan belum selesai bimbingan. Aku memutuskan keluar dan menunggunya di taman sebelah perpustakaan.

Aku duduk di kursi taman, tak lupa mengirim pesan pada Nathan agar ia tak kebingungan mencariku. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari nomor yang kemarin.

“Gimana bimbingannya? lancar?” 

‘Kok, dia tahu aku abis bimbingan? Apa ini Nathan? Tapi kan dia masih bimbingan,’ pikirku. Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar tapi tak ada orang yang mencurigakan. Sampai aku melihat satu sosok yang sepertinya ku kenal, namun ia beranjak dari tempatnya dan menghindariku.

Aku segera mengejarnya hingga parkiran kampus, tapi tak juga menemukannya. Kupanggil namanya berkali-kali, tapi ia tak kunjung menampakkan dirinya. Beberapa orang melihatku dengan tatapan aneh. Aku memutuskan kembali ke taman, khawatir Nathan mencariku. Dari jauh kudengar Nathan sedang bicara dengan temanku.

“Tuh tadi aku liat Retta lari-lari gak tau ngejar apaan? Manggil-manggil orang gak jelas kayak gila.” Firly mencibirku.

“Kamu yang gila, kalau Retta cari orang dan gak nemuin orangnya, jelaslah dia panggil namanya. Mungkin Retta lagi cariin aku,” Nathan masih menjawabnya dengan santai.

“Gak kok, dia gak manggil nama kamu. Kayaknya dia aneh deh sejak menghilang kemaren.” Firly masih belum puas mengejekku.

“Kamu jangan ngomong kayak gitu ya! ngatain orang seenaknya,” seru Nathan tak terima. Rahangnya yang lancip mengatup dan menegang, menahan emosi. Untung saja Firly itu perempuan, kalau laki-laki mungkin sudah Nathan hajar.

Meskipun Nathan membelaku, tetap saja aku merasa sakit hati mendengar perkataan Firly. Aku pun pergi dari tempat itu, tak ingin mendengar perkataan menyakitkan lainnya. Nathan yang melihatku, segera berlari dan menghampiriku.

“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan menatapku tajam dan meminta penjelasan.

Ji-Na

Salam kenal dari author, support aku terus ya! jangan lupa bintang dan gem nya, biar novelnya semakin bersinar. ^_^

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status