Share

Pulang

Kuraih tangannya. “Ansel, kamu mau permainkan aku? Setelah kamu nyatain cinta, sekarang kamu ngusir aku?” tanyaku dengan penuh penekanan.

“Kamu pikir aku mainan, yang bisa kamu buang begitu saja saat kamu bosan, hah?” aku berteriak kesal.

“Retta, kamu sadar ga sih? Tempat kamu bukan di sini,” jawab Ansel.

“Terus di mana tempatku? Kamu yang bawa aku ke sini!” balasku dengan ketus.

“Kembali pada keluargamu.” Ansel menatapku dengan tatapan dingin. Ia melepaskan tanganku. Lantas ia berlalu begitu saja dan meninggalkanku seorang diri di taman ini.

"Tadi kamu bilang ingin menjagaku dan melindungiku? belum satu jam berlalu dan sekarang kamu tiba-tiba berubah," sambungku.

"Sekarang aku sadar, ternyata aku gak pernah benar-benar menginginkan kamu," jawab Ansel dan berlalu begitu saja. Sungguh sulit dipercaya, perkataanya barusan benar-benar membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Aku pernah merasa dicampakkan saat Ayah menikah lagi. Dan sekarang aku merasakan kedua kalinya sakit hati karena dicampakkan, saat Ansel pergi meninggalkanku. Kenapa dia mengambil hatiku kalau akhirnya dicampakkan? Aku terduduk sambil menangis. Biasanya saat aku sedih, ada Nathan di sampingku untuk menghiburku.

'Ah, aku jadi teringat Nathan…. Aku butuh dia,' batinku.

Kuusap air mata di pipiku, segera kunyalakan ponselku. Aku mencari nama Nathan di ponselku dan kutekan tombol panggilan tapi tak kunjung ada jawaban. Kubuka aplikasi messenger berwarna hijau dan mengirim pesan pada Nathan, tapi masih centang satu, yang artinya pesan belum terkirim pada Nathan.

Aku heran kenapa di kota sebesar ini, ponselku tidak bisa menangkap sinyal. Aku masuk ke rumah dan pergi ke lantai dua. Sinyal mulai terlihat walaupun 2G, aku membuka g****e map untuk mencari keberadaanku. Kuketikkan kota Saranjana. Alangkah terkejutnya aku saat membaca keterangan di g****e map. Di sana tertulis, Saranjana kota misterius. Aku masih tak percaya dan kubaca ulasan di g****e map, di sana ada keterangan bahwa Saranjana kota yang hilang.

‘Apa maksud Saranjana kota yang hilang? Sebenarnya di mana aku?” Otakku tak berhenti berpikir. Aku berjalan dengan terhuyung-huyung dan mencoba kembali menghubungi Nathan. Nada sambung mulai terdengar.

“Halo, Retta… Kamu ada di mana?” Nathan terdengar sangat cemas.

“Jemput aku, Nath…. Tolong jemput aku di sini,” ucapku sambil sesenggukan menahan tangis.

“Iya, kamu tenang dulu, kamu ada di mana?” Nathan berusaha menenangkanku.

“Aku ada di Saranjana….” Tiba-tiba aku merasa sangat pusing dan kehilangan kesadaran.

“Retta… Bangun, Retta!”

Kurasakan ada yang menyentuh pipiku dengan lembut, Kubuka mataku dengan perlahan. Aku melihat Nathan dengan pandangan yang samar.

Perlahan kubuka mata dan mengerjapkannya. Aku bangun dan tersadar bukan di rumah Ansel lagi. Sekarang aku ada di sebuah bukit yang dipenuhi pepohonan. Tak percaya dengan apa yang kulihat, aku semakin mengedarkan pandanganku. Di sebelah bukit, ada laut yang berbatasan langsung. Aku termenung dengan tatapan kosong.

“Retta… Kamu sudah sadar? Alhamdulillah….” Nathan terlihat sangat bahagia melihat aku mulai sadar.

“Nathaaaan….!” teriakku dan langsung menghambur ke pelukan Nathan.

"Aku dimana, Nath?" tanyaku kebingungan.

"Kamu masih di Pulau Laut, Ta, kamu sepertinya tersesat," jawab Nathan.

Aku menggeleng. "Ga mungkin, Nath. Jadi selama ini aku masih di Pulau Laut? Perasaan kemarin aku gak lewat sini?"

“Tenang, Retta, yang penting kamu udah ketemu. Nanti aku ceritain di mobil aja ya?” ucap Nathan sambil menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Aku merasa lebih tenang sekarang.

Nathan segera mengajakku pergi dengan mobilnya. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam memikirkan kejadian yang sudah aku alami.

“Kamu kemana aja sih, Ta? Menghilang gitu aja selama tiga bulan,” tanya Nathan.

“Hah, tiga bulan? Ini kan baru tiga hari sejak aku pulang dari KKN.”

“Kamu ngelantur… Ini udah tiga bulan, Ta. Dan yang bikin aku khawatir…, ada laporan dari warga yang nemuin mobil kamu di sekitar sini. Ayah kamu panik dan lapor ke polisi. Kita sudah mencari kamu ke mana-mana tapi ga ada petunjuk. Kami pikir kamu diculik. ”

“Waktu itu aku kecelakaan, Nath. Waktu itu ada pohon besar tumbang di depan aku, sampe mobilku nabrak pohon besar.”

“Hah, kecelakaan? Tapi mobil kamu dalam kondisi baik-baik aja, Ta,” ucap Nathan tak percaya.

“Serius, Nath. Aku sampai dibawa ke rumah sakit dan dirawat di sana,” terangku untuk meyakinkan Nathan.

Nathan menatapku tak percaya. “Kalau kamu dirawat di rumah sakit, apa nama rumah sakitnya?”

Aku mengingat-ingat nama rumah sakit itu. ”Ah iya, Rumah Sakit Umum Kota Saranjana.”

“Hah? Mana ada nama rumah sakit itu di sini? Kamu sehat kan?” Nathan memegang dahiku, ia kira aku sakit dan bicara melantur.

“Beneran Nath, memang rumah sakit itu ada di kota Saranjana,”ucapku kesal. Nathan terdiam sejenak seperti sedang berpikir,

“Aku pernah dengar kota itu, Saranjana kota yang hilang. Masyarakat sini memang mempercayai keberadaan kota itu. Aku pikir itu hanya  mitos, tapi mendengar ceritamu, mungkin saja kamu memang tersesat di sana,” Nathan menjelaskan dengan mimik muka serius.

"Makanya setelah kamu nelepon, aku langsung cari kamu sampai ke bukit tadi. Menurut mitos, di situ letak kota Saranjana. Tidak semua orang bisa melihat keberadaannya. Awalnya aku ragu, tapi peluang sekecil apapun bakal aku lakukan untuk nemuin kamu. Aku telusurin bukit tadi hampir satu jam. Sampai akhirnya, aku ketemu kamu," sambung Nathan.

“Tapi kota itu nyata Nath, aku berada di sana selama satu minggu. Saat kecelakaan, aku ditolong oleh seorang dokter. Dia yang sudah merawatku dengan baik.” Aku masih tak percaya perkataan Nathan.

“Dokter itu pria atau wanita? Masih muda atau sudah tua?” tanya Nathan dan menepikan mobilnya.

“Dokter itu seorang pemuda yang baik, aku dibawa ke rumahnya saat masa pemulihan,” jawabku.

“Sepertinya dia menyukaimu sampai bawa kamu ke rumahnya,” ucap Nathan dengan nada sinis. Aku terdiam dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Nathan.

“Jangan bilang kamu suka dia, Ta?” Nathan melirikku dengan tatapan tajam.

“Aku hanya menyukai ketulusannya saja.” Kucoba menutupi perasaanku.

“Bagus kamu ya, di sini aku kayak orang stress, kebingungan, ke sana kemari. Kamu malah asyik pacaran sama makhluk gak kasat mata!” bentak Nathan. Baru kali ini aku melihat Nathan semarah ini. Selama lima tahun berteman dengannya, sekalipun aku belum pernah melihat dia marah.

“Jangan panggil Ansel seperti itu! Dia nyata! Aku bisa melihatnya, bisa merasakannya saat ia menggenggam tanganku!” teriakku.

“Oh, namanya Ansel, mahluk gak kasat mata yang kamu suka. Kamu udah gila?” tukas Nathan sinis

Aku merasa kecewa pada Nathan, setega itu dia mengatakan aku gila. Padahal dia sahabatku, tempatku berbagi cerita dan menumpahkan isi hati. Sekarang justru dia yang melukai perasaanku. Kubuka pintu mobil dan segera keluar. Sadar akan kesalahannya, Nathan langsung berlari mengejarku.

“Ta… Claretta, tolong maafin aku.” Nathan menghalangiku dengan tangannya.

 Segera kutepis tangannya dan tak mengindahkan panggilannya. Nathan terus mengejarku hingga akhirnya berhasil menangkapku. Dia memelukku dengan erat dan aku menangis dalam pelukannya.

“Kamu jahat, Nath…. Aku pikir kamu sahabatku, orang yang paling mengerti aku. Tapi kamu malah jadi ngehina aku,” ucapku dalam tangis.

“Maafin aku ya Ta, aku ga bermaksud ngatain kamu gitu. Aku cuma lagi emosi aja.” Nathan melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku. Aku mengangguk dan memeluk Nathan lagi. Semarah-marahnya aku pada Nathan, dia tetap sahabatku. Usai  tangisku mereda, Nathan menuntunku kembali ke mobil.

“Ta, aku ga tau persis apa yang terjadi sama kamu di sana. Tapi aku bersyukur banget, kamu bisa kembali lagi ke sini. Aku boleh meminta sesuatu sama kamu?”

“Boleh, kamu minta apa?”

“Tolong lupakan tentang kota Saranjana termasuk pria itu. Tempat kamu di sini, bukan di sana.”

“Ada aku dan keluarga kamu yang juga sayang sama kamu. Jadi jangan pernah mengingat lagi semua hal tentang Saranjana. Urusan sama ayah kamu, nanti biar aku yang jelaskan,” lanjut Nathan sambil membelai rambutku.

Aku mengangguk karena tak ingin lagi terjadi pertengkaran dengan Nathan. Meski kutahu tak akan mudah melupakan pria yang sudah mencuri hatiku dan menyatakan perasaannya beberapa jam yang lalu. Biar nanti kucari tahu sendiri kebenarannya.

“Ya udah, kamu istirahat aja ya. Kamu pasti cape, perjalanan masih satu jam lagi. Nanti kalau udah sampai, aku bangunin,” ucapnya dengan lembut.

Nathan benar, aku memang lelah seharian menghadapi kejadian-kejadian yang penuh emosional. Aku pun tertidur hingga tak sadar mobil telah berhenti. Saat membuka mata, aku melihat Nathan tengah menatapku dengan tatapan yang tak biasa.

“Ini udah sampai dari tadi? Kok kamu gak bangunin aku?"

“Engga kok, baru aja. Mau bangunin kamu, tapi gak tega. Kayaknya kamu kecapean.”

Tak lama, pintu depan rumah dibuka. Ayah keluar bersama Tante Sari yang sedang menggendong bayinya. Dengan langkah tergesa-gesa, Ayah menghampiriku yang baru turun dari mobil.

“Retta, kamu kemana aja, Nak?” Ayah memelukku dengan haru.

"Aku dari kota ... Saranjana Yah," jawabku ragu.

"Saranjana?kamu ga bohong kan?mana ada kota Saranjana di sini Retta." Ayah tak percaya dengan ucapanku.

"Apa? Ayah tega menuduh Retta berbohong?" aku langsung berlari masuk ke dalam rumah melewati Tante Sari begitu saja, dan masuk ke dalam kamar.

"Kenapa hari ini semua begitu menyakitkan?"lirihku dalam tangis.

Tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

'are you ok?' Segera kutelepon nomor itu, tapi tidak terdengar nada sambung sekali. Rasanya aneh, baru saja pesan itu masuk tapi langsung tidak bisa dihubungi lagi.

Aku jadi penasaran, 'mungkinkah itu dia?' tanyaku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status