Share

Cinta dan Luka

“Ansel, sampai kapan kamu menahan gadis itu di sini?” tanya Radhiti.

Ansel menghela napas panjang dan terdiam sesaat. Sejujurnya ia pun tak tahu jawabannya. Sulit baginya membiarkan gadis itu pergi darinya. Gadis yang telah mencuri hatinya sejak awal bertemu.

“Ansel suka sama Claretta, Bu. Ansel ga mau dia pergi dari sini.” Ansel menundukkan kepalanya dan tak berani memandang ibunya.

“Tapi kamu gak bisa memisahkan gadis itu dengan keluarganya. Kalian itu berbeda, Nak,” balas Radhiti, seorang wanita paruh baya yang kecantikannya terlihat tak memudar dan termakan usia.

“Cinta tak mengenal perbedaan, Bu. Lagipula Claretta juga menyukai Ansel,” bela Ansel. Ia menatap dalam pada ibunya,  berharap ibunya bisa mengerti perasaannya.

Kini terdengar helaan napas dari Radhiti. “Apa kamu yakin dia akan tetap menyukaimu setelah tahu siapa kita sebenarnya?”

Bukannya Radhiti tak mengerti perasaan anaknya, hanya saja ia cemas anaknya itu akan patah hati jika Claretta tahu keadaan yang sebenarnya.

Ansel memalingkan pandangan untuk mengusir kegelisahannnya. Perasaannya pun tak yakin Claretta akan tetap menyukainya, kalau Claretta tahu siapa ia sebenarnya. Tapi keinginannya untuk tetap bersama Claretta tak bisa ditahan.

Aku tertegun mendengar percakapan mereka. Sungguh tak disangka, Ansel ternyata menyukaiku, meskipun dalam hatiku ada sedikit rasa senang. Tak bisa kupungkiri bahwa aku merasa bahagia saat diperlakukan spesial olehnya dan merasa nyaman saat berada di dekatnya.

“Ehem…,” aku berdehem untuk memecah kesunyian di antara ibu dan anak itu. Mereka terkesiap melihatku sudah berdiri di belakang mereka. Ansel terlihat salah tingkah dan menghindariku.

“Bu, aku ke Rumah Sakit dulu ya. Ada janji sama Dokter Wisnu,” Ansel pamit tergesa-gesa dan menghindari tatapanku. Semakin aneh saja tingkahnya, membuatku semakin penasaran.

“Retta, kamu sudah bangun Nak? Ibu harus pergi ke pasar belanja kebutuhan dapur. Kamu kalau lapar, sarapan aja ya. Ibu dan Ansel sudah sarapan tadi.” Radhiti tersenyum dan meninggalkanku sendiri.

Aku heran, kenapa mereka menghindariku, sedangkan aku belum mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku.

Lebih baik kuisi perutku  dulu, cacing-cacing di perutku ini sudah menggedor-gedor dinding perutku sejak tadi. Sepertinya mereka protes karena tidak diberikan haknya. Kuambil selembar roti dan kulapisi dengan selai kacang kesukaanku. Tak lupa kuminum segelas susu yang sudah disiapkan Bik Inah, asisten rumah tangga di sini.

Rumah ini terasa sepi. Tante Radhiti dan Bik Inah belum pulang juga dari pasar. Begitu juga dengan Ansel, biasanya ia yang selalu mengajakku jalan-jalan atau sekedar mengobrol untuk mengusir kejenuhan. Aku baru ingat, kemarin Ansel bilang ponselku sudah selesai diperbaiki. Sepertinya ia belum sempat memberikannya padaku. Lebih baik kucari saja di kamarnya, biasanya ia selalu menyimpan barang di kamarnya.

Kubuka pintu kamar Ansel, sepertinya tidak dikunci. Kulihat kamarnya terlihat rapi untuk seorang pria. Berbeda dengan kamar sahabatku Nathan, yang terlihat seperti kapal pecah. Baju berceceran di mana-mana, apalagi kasurnya yang sudah tidak jelas bentuknya. Entah bagaimana Nathan bisa tidur di kamar seperti itu. Tapi Nathan memang tipe orang yang mudah tidur di mana saja.

Kamar Ansel memiliki desain minimalis. Dinding yang diwarnai dengan warna cream berpadu putih membawa suasana hangat saat berada di kamar ini. Ada sebuah lukisan bergambar sebuah pulau di tepi pantai yang biru dengan pasir putih, di bawahnya tertulis Saranjana. Bahkan di lukisan pun Saranjana terlihat begitu indah.

Di meja samping tempat tidur, ada sebuah foto perempuan dengan bingkai berwarna putih.  Perempuan itu berambut panjang dengan kulit putih, berwajah oval dan bermata sipit dengan warna coklat.

“Kenapa perempuan ini mirip denganku?” ucapku dalam hati.

Perempuan dalam foto ini memiliki 95% kemiripan denganku, hanya berbeda rambutnya saja. Rambutku panjangnya sebahu, sedangkan rambutnya panjang bergelombang sampai mencapai punggung.

Kubalik foto itu, tertulis sebuah nama Felisha Elvira. Sepertinya perempuan ini orang yang spesial untuk Ansel. Walaupun sedikit using, tapi bingkai foto ini bersih tak berdebu, sepertinya Ansel setiap hari membersihkannnya.

Di luar terdengar derap langkah kaki semakin mendekat. Tak lama, pintu kamar terbuka. Aku terkejut melihat Ansel di depanku, begitu pun dengan Ansel yang tak kalah terkejutnya melihatku ada di kamarnya.

“Retta, kamu lagi apa?” Ansel menatapku seakan tak percaya aku bisa masuk ke kamarnya tanpa izin darinya.

“Emh, ini aku mau cari ponselku. Kamu bilang sudah selesai diperbaiki?” Aku merasa bersalah masuk ke kamar ini dan mencoba menutupi rasa gugup ini. Semoga saja Ansel tidak melihatnya.

“Oh, ponsel kamu … sebentar ya….” Ansel membuka pintu lemarinya dan membuka laci kecil di dalamnya. Setelah mencarinya sebentar, ia pun menemukannya dan memberikannya padaku.

“Makasih ya, aku mau ke kamar dulu,” pamitku. Aku tak mau berlama-lama dalam suasana canggung ini.

“Sebentar Retta, ada yang mau aku bicarakan.” Ansel menahanku dengan tangannya. Aku berbalik dan menatapnya.

“Ada apa, Sel? Apa yang mau kamu bicarakan?”

Ansel menggandeng tanganku dan mengajakku ke halaman belakang rumahnya dan menyuruhku duduk di kursi yang ada di sana. Aku mengikutinya dengan perasaan berdebar.

“Tadi kamu dengar apa yang aku bicarakan sama Ibu?” Ansel yang duduk di sampingku kini menghadapkan wajahnya padaku untuk meminta penjelasan. 

Aku terdiam sejenak, aku ragu untuk menjawabnya. “ Iya, tentang kamu menyukaiku, apa itu benar?” Kutatap Ansel dengan penuh selidik.

“Memang benar Retta, aku menyukaimu dari sejak awal kita bertemu. Saat aku menolongmu dari kecelakaan mobil dan membawamu ke Rumah Sakit.”

“Apa karena aku mirip dengan gadis di foto itu?” balasku.

Ansel terkesiap mendengar pertanyaanku. Tadi sebelum Ansel masuk ke kamar, aku telah lebih dulu menyimpan foto itu di meja seperti posisi semula. Jadi Ansel tidak menaruh curiga padaku.

“Awalnya iya, kamu mirip sekali dengan mantanku, Vira. Dia pergi dengan lelaki lain, satu bulan sebelum aku dan dia menikah.”

Aku terdiam mendengar pengakuannya, jujur aku merasa kecewa. Kupikir Ansel benar- benar menyukaiku. Tapi aku hanya pelariannya saja, karena wajahku mirip dengan mantannya. Kupandang langit di atasku, berharap bisa menahan air mata yang sejak tadi ingin keluar. Aku tak ingin terlihat lemah di matanya.

“Tapi itu dulu, Retta. Setelah aku mengenalmu lebih dalam, aku menyukaimu…, Claretta Elvina. Gadis yang keras kepala yang menyimpan luka di dalamnya.” Ansel menatap mataku dalam-dalam. Aku menemukan ada ketulusan terlihat di matanya.

“Saat melihatmu, aku bisa merasakan kesedihanmu. Kesedihan yang sama kurasakan saat aku kehilangan orang yang dicintai saat aku sedang sayang-sayangnya.”

"Kamu tahu darimana kalau aku sedih?" ucapku tak percaya.

"Saat kamu belum sadar, aku melihat kamu menangis dalam tidurmu sambil memanggil-manggil Bunda. Aku yakin kamu pasti kehilangan Bunda, tak ada tangisan yang lebih menyayat hati kecuali karena kehilangan orang yang kita sayangi," balas Ansel.

Kini aku tahu, alasan di balik sikapnya yang hangat padaku. Sikapnya yang membuatku jatuh hati padanya. Air mataku luruh juga, tak bisa kutahan lagi.

“Aku ingin selalu melindungimu, menjagamu, menghiburmu. Karena aku tahu rasanya kesepian.”

Aku mencoba mengatur nafasku dan mengumpulkan kekuatanku. “Jadi itu alasan kamu mengajakku ke sini?”

“Iya, karena aku gak mau kehilangan orang yang aku sayang lagi.” Untuk sesaat ia terdiam.

“Tapi sekarang, aku mau kamu pulang ke rumahmu. Di sini bukan tempatmu,” lanjut Ansel sambil beranjak pergi dan meninggalkanku yang termenung sendiri.

Aku bangkit dan menyusul Ansel dari belakang. Kutarik tangannya.  Plaaakk…! Suaranya terdengar begitu keras. Tanganku masih terasa kebas setelah menampar Ansel. Dia memegang pipinya yang memerah setelah kutampar, tapi aku tak peduli. Itu tak seberapa dengan rasa sakit yang kurasa.

Kutatap matanya dengan nyalang, teganya dia berbuat begitu. Setelah mengutarakan perasaannya padaku dan sekarang dengan mudahnya ia menyuruhku pergi. Bukankah ia sedang mempermainkan perasaanku? Tak akan kubiarkan lelaki gila ini pergi begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status