Share

Terpukau

Ansel memperkenalkanku pada ibunya, “Bu, ini Claretta… Untuk sementara, dia tinggal di sini dulu ya Bu. Retta abis kecelakaan dan jauh dari keluarganya.”

Ibunya mengangguk dan tersenyum meskipun terlihat canggung.

“Saya Radhiti, ibunya Ansel. Kalo begitu, Retta tidur di kamar tamu aja ya. Kamarnya sudah bersih kok, karena setiap hari selalu dibersihkan.”

Tante Radhiti membawaku ke kamar tamu, dia juga menunjukkan baju-baju yang bisa kupakai. Baju-baju itu milik sepupunya Ansel yang kini tinggal di luar kota. Kamarnya bernuansa pink dengan sprei yang berwarna senada serta bermotif kucing, tokoh kartun kesukaan anak-anak perempuan. Kamar ini memang terlihat bersih dan rapi.

“Retta istirahat aja di sini dengan nyaman. Nanti kalo butuh sesuatu, bisa panggil Bik Inah. Dia asisten rumah tangga di sini."

“Terima kasih ya Bu, sudah mengizinkan saya tinggal disini.” Aku terharu melihat kebaikan Tante Radhiti.

Ia lantas memelukku. “Sama-sama, Retta, anggap rumah sendiri aja.”

Kubuka jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang. Di sana ada kolam renang yang cukup luas, di sampingnya ditumbuhi pohon palem hias yang membuat suasana menjadi asri. Tak jauh dari kolam renang, ada gazebo dengan tema modern dengan kursi berwarna putih. Di sana ada Ansel sedang bernyanyi dan memainkan gitarnya. Suaranya sangat merdu selaras dengan petikan dari gitarnya. Aku terhanyut dengan suaranya. Kuputuskan keluar dari kamar dan menyusul Ansel ke gazebo.

Ansel begitu asyik memainkan gitarnya dan tak menyadari kehadiranku, hingga suara tepukan tanganku berhasil menyadarkannya.

“Retta, kok kamu di sini?” tanya Ansel.

“Aku bosen di kamar terus. By the way…, suara kamu bagus ya. Jago lagi main gitarnya," ujarku kagum dengan suaranya.

Alhasil, pujianku membuat Ansel tersenyum malu, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pipinya yang bersemu merah membuatku gemas melihatnya.

“Ah, aku jadi malu,” ujar Ansel.

“Keliatan kok, tuh pipi kamu merah kayak kepiting rebus… Hahaha….” Aku tergelak melihat dia semakin salah tingkah.

“Kamu bisa nyanyi gak? Atau main gitar? Kita collab,” ajak Ansel.

“Aku ga bisa nyanyi. Kalo denger suaraku, bisa-bisa nanti kamu pingsan. Suaraku mirip kayak Giant di Doraemon,” timpalku.

Ansel terkekeh mendengar jawabanku. “Hahahaha…, kamu ada-ada aja.”

“Kalau main gitar bisa?”sambung Ansel. Aku menggeleng dan menunduk malu.

“Sini aku ajarin,” ucap Ansel sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.

Ansel memberikan gitarnya padaku. Dia memegang tanganku dan meletakkannya di atas senar gitar, menjelaskan kunci nada gitar. Tangannya tepat berada di atas tanganku, posisi kami sangat dekat hingga aroma tubuhnya bisa tercium olehku, aroma parfum yang maskulin. Kupandangi wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku, Pesona ketampanannya membuat aku terpukau.Ada getaran aneh menjalar di jantungku, baru kali ini aku sedekat ini dengan seorang lelaki.

Aku baru menyadari, Kalo Ansel memiliki paras yang menarik. Kulitnya yang putih bersih, matanya yang berwarna cokelat membuatku tersihir ingin menatap dia lebih dalam. Hidungnya yang mancung dan mulutnya yang tipis, terlebih lagi saat ia tersenyum, membuatku semakin terpesona dengan ketampanannya.

‘Retta, kendalikan dirimu, kenapa kau terpesona dengan ketampanannya?’ aku membatin. Segera kualihkan pandanganku dari wajahnya dan fokus dengan gitar yang kini kupegang. Kuakui, memang sulit untuk tetap fokus jika Ansel benar-benar dekat denganku. Jantungku berdebar sejak tadi dan sulit kukendalikan.

“Gimana? Udah ngerti kan?” tanya Ansel.

Aku mengangguk cepat karena tak ingin berlama-lama lagi dengannya.

“Aku mandi dulu ya Sel, udah sore,” aku pamit dan segera masuk ke kamar.

Kubuka pintu kamar mandi, menyalakan keran dan mengisi bathtub sampai penuh. Kurendam tubuhku dan melepas segala penat, ditemani lilin aromaterapi dengan wangi bunga lavender, membuat rileks seketika. Aku memejamkan mata sejenak untuk menikmati rileksasi ini, tapi bayangan Ansel terus saja muncul di pikiranku. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.

'Ah Retta, kenapa kau terus saja memikirkan Ansel?' ucapku dalam hati. Aku terus saja memukul-mukul kepalaku, berharap bayangan Ansel keluar dari otakku. Konyol memang, tapi aku kehabisan akal untuk menghilangkan bayangan Ansel.

Selepas mandi, kuambil handuk yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar mandi. Saat sedang memilih-milih baju di lemari, ketukan dari pintu sedikit membuatku kaget. Kuraih kenop pintu dan membukanya.

“Ini Non, ada titipan dari Tuan Ansel.” Bik Inah menyerahkan sebuah paper bag.

“Makasih ya, Bik.”

Kukeluarkan isi paper bag, ternyata sebuah dress casual cantik berwarna putih dengan aksen renda di pinggiran lengannya. Selain itu ada kartu di dalamnya.

‘Retta, siap-siap ya. Jam 7 nanti kita makan bareng di luar.’

Aku tersenyum membacanya, kulirik jam masih di angka 6.20. Masih ada waktu untuk bersiap-siap. Kubuka laci meja rias, berharap ada kosmetik yang  tertinggal di dalamnya. Ternyata ada kosmetik yang lengkap, senang sekali rasanya. Segera kupakai dress pemberian dari Ansel, alhamdulillah ternyata pas. Tubuhku memang tergolong ideal, jadi tidak sulit untuk memilih baju.  

Selepas itu, kupoles wajahku dengan riasan yang sederhana. Aku memang lebih suka riasan wajah yang flawless. Rambutku kubiarkan tergerai, hanya kupasang jepit bentuk pita kecil di samping kiri. Kulirik kakiku, aku lupa kalau aku tidak punya sepatu. Saat pulang dari rumah sakit, aku hanya mengenakan sandal. Tak mungkin aku harus mengenakan sandal malam ini. Rasanya akan sangat kontras dengan penampilanku. Segera kucari di setiap sudut kamar, namun aku tak menemukan sepatu satu pun.

“Retta…. Ta…” Ansel mengetuk pintu dari luar dan segera kubuka. Ansel memakai kemeja panjang berwarna putih dan bagian lengannya dilipat sampai ke siku, celana berwarna abu serta sneaker berwarna putih. Ketampanannya semakin paripurna hingga aku terpana dibuatnya.

“Hello…. Ta…. Claretta….” Ansel menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. Aku segera tersadar.

“Udah Sel, tapi ini….” Aku menunjukkan kakiku sambil meringis.

“Ah iya! Kenapa aku bisa lupa?” Ansel menepuk jidatnya sendiri. Segera ia mencari Bik Inah. Tak lama ia datang sambil menenteng flatshoes berwarna abu dengan aksen pita.

“Kamu cobain dulu ya, ini punya Ibu. Gayanya emang kadang suka kayak anak muda, mudah mudahan cukup di kamu.”

Ansel membungkuk dan memakaikan sepatu itu di kakiku, rasanya seperti Cinderella yang dipakaikan sepatu kaca oleh sang pangeran.

Ternyata sepatu itu cukup di kakiku, aku bernapas lega. Ansel menggenggam tanganku, mengajak untuk pergi setelah sebelumnya berpamitan pada Bik Inah karena Tante Radhiti sedang keluar.

Ansel mengajakku ke sebuah restoran yang berada di hotel mewah. Baru kali ini aku makan di tempat mewah seperti ini. Biasanya aku makan di cafe bersama Nathan atau temanku yang lain. Seorang pelayan mengantarkan buku menu.

“Saya pesan tenderloin steak ya Mba, sama minumnya blue ocean.  Kamu apa, Ta?”

“Saya pesan sirloin steak, sama minumnya samain aja.”  

Pesanan pun datang, tapi aku heran saat Ansel mengambil pesananku. Ternyata dia memotong-motong steak itu, agar aku lebih mudah memakannya. Aku terharu dibuatnya, baru kali ini ada pria yang memperlakukanku dengan istimewa. Kami menikmati makanan diselingi obrolan-obrolan yang ringan dan santai, hingga tak sadar malam sudah semakin larut. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang.

“Sel, makasih ya, udah ngajak aku makan malam.”

“Iya, sama-sama. Aku seneng kok makan bareng kamu.” Ansel tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut.

Kulihat pemandangan di sisi jalan yang kulalui. Kota ini begitu megah, gedung pencakar langit berdiri di sepanjang jalan. Kota ini pun begitu tertib, semua tertata rapi. Lampu berwarna-warni menghiasi jalan saat malam, membuat suasana malam menjadi indah.

"Ta, kamu suka ga sama kota ini?"

"Emh, aku suka sel. Kayaknya baru kali ini aku datang ke tempat sebagus ini. Malah menurutku, Jakarta masih kalah jauh deh daripada Saranjana ini," jawabku sambil menikmati pemandangan di malam hari.

Ansel tertawa kecil, "Kota ini memang punya keistimewaannya sendiri.  Disini sistem pemerintahannya kerajaan, beda sama di kota manapun."

Mendengar penuturan Ansel, sebenarnya aku merasa sangsi mendengarnya. Setahuku di Indonesia ini, kota yang bentuknya kerajaan cuma Yogyakarta, itu pun disebutnya kesultanan. Tapi kutepis pikiranku, mungkin wawasanku saja yang kurang luas. Lagipula aku baru pindah ke Borneo ini 5 tahun sejak ayah menikah, jadi aku tidak terlalu mengenal daerah ini.

"Selain itu Ta, disini juga kamu akan menemukan sesuatu yang gak bisa ditemukan di tempat lain,"

"Sesuatu?sesuatu  apa maksudnya?"tanyaku.

"Cinta sejati misalnya," goda Ansel sambil tersenyum memamerkan gigi putihnya yang rapi.

Aku tak menjawab dan tersipu malu.

Tiba di rumah, kami segera turun dari mobil. Tante Radhiti yang membukakan pintu. Namun aku merasa heran dengan perlakuan Tante Radhiti sangat berbeda dengan tadi siang. Sekarang dia melihatku dengan tatapan tidak suka.

“Tante, Retta masuk kamar dulu ya,” ucapku. Tante Radhiti hanya menjawab dengan anggukan kepalanya tanpa sepatah kata pun.

Aku menoleh ke arah Ansel. Rupanya Ansel sedang menatap ibunya yang memperlakukanku dengan sinis. Karena tak enak hati, aku segera masuk kamar dan tak ingin ikut campur dengan masalah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status