Share

Pria Misterius

Aku tak tahu pria itu membawaku ke mana…. Saat aku tersadar, aku hanya merasakan tubuhku dipindahkan dari mobil menuju brankar dan terdengar suara gaduh dari orang-orang sekitarku. Seseorang memegang pergelangan tangan kiriku dan menusukkan jarum infus di sana. Namun aku masih belum bisa membuka mataku, kepalaku masih sakit hingga rasanya mau pecah. Aku kembali tak sadarkan diri.

“Claretta… Claretta sayang, bangun Nak.” Perlahan kubuka mataku. Aku berada di kamarku dan ada Bunda sedang membelai pipiku dengan lembut.

“Bunda…. Retta kangen Bunda.” Aku langsung bangun dan menghambur ke pelukan Bunda. Pelukan yang hangat sampai sekarang sampai aku terharu dibuatnya.

“Kamu kenapa nangis, Sayang?” Bunda melepaskan pelukanku dan menghapus air mata di pipiku. Kuambil tangan bunda dan kucium tangannya berkali-kali.

“Bunda, jangan pergi lagi ya?” pintaku. Bunda hanya tersenyum dan memelukku kembali.

“Sayang, Bunda kan gak kemana-mana. Bunda selalu ada di dekat Retta.”

“Pokoknya Retta mau ikut ke mana pun Bunda pergi,” aku merengek seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan.

Bunda tersenyum tipis, melihat kelakuanku yang seperti anak kecil. Aku menidurkan kepalaku di pangkuan Bunda seperti dulu saat aku masih kecil. Bunda membelai rambutku dengan lembut.

“Claretta sekarang sudah besar… sudah bisa berpikir dengan bijak. Jangan galak sama Ayah ya, kasian Ayah…. Jangan balas kasih sayang Ayah dengan kebencian,” ucap Bunda.

“Tolong sayangi Ayah seperti Retta sayang sama Bunda. Kasih sayang Ayah sama besarnya kayak kasih sayang Bunda ke Retta. Jangan pernah tinggalin Ayah, apa pun yang terjadi. Ayah sudah pernah kehilangan Bunda, jangan sampai Ayah harus kehilangan orang yang dia sayang untuk kedua kalinya,” sambung Bunda. Ada kesedihan yang mendalam terlihat di matanya.

Aku termenung dengan perkataan Bunda, Ayah memang sangat menyayangiku, ia tak pernah marah padaku sekalipun. Apapun yang aku inginkan selalu ia beri. Aku juga sungguh sangat menyayanginya, karena hanya Ayah satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidupku. Tapi perasaan itu berubah menjadi benci saat Ayah menikah dengan Tante Sari.

Aku sangat kecewa pada keputusan Ayah. Bukankah Ayah bilang kalau Ayah sangat mencintai Bunda, tapi Ayah kini memberikan cinta itu pada wanita lain. Perempuan yang tidak aku sukai. Walaupun begitu, aku tidak bisa menolak saat Ayah meminta izin padaku untuk menikahi Tante Sari karena aku tak ingin mengecewakannya. Tak ada satu orang pun yang mengerti perasaanku.

 Kupeluk Bunda dan menangis sekencang-kencangnya. Kukeluarkan semua kesedihan yang selama ini kupendam dan kututupi dengan kebencian, karena aku berharap dengan begitu aku bisa berdiri tegar. Kami berdua pun larut dalam tangis. 

Perlahan kubuka mata, aku berada di ruangan berbeda. Aku berada di ruangan berwarna putih dengan selang infus di tanganku. Kucari Bunda dan kini aku sadar, ternyata tadi hanya mimpi. Kupegang pipiku yang masih basah oleh tetesan air mata. Mimpi itu terasa begitu nyata karena aku masih merasakan sakit yang sama. Sakit saat harus kehilangan orang yang begitu kusayangi. Seakan separuh nyawaku hilang pergi bersamanya.

Kulihat pintu kamar dibuka, datang seorang perawat yang memeriksa keadaanku.

“Alhamdulillah, Mbaknya sudah sadar?” tanya perawat itu dan kubalas dengan anggukan. Karena kesadaranku belum kembali sepenuhnya.

“Sebentar ya Mbak, saya panggilkan dokter dulu.” Perawat itu pun pamit sebentar untuk memanggilkan dokter.

Tak lama, perawat itu datang dengan seorang pria masih muda dan tinggi, berpakaian dokter dengan stetoskop tergantung di lehernya. Rasanya aku pernah melihat pria itu tapi aku lupa pernah melihatnya di mana.

“Gimana keadaannya, Mbak? Mbak gak sadarkan diri dari kemarin,” tanya pria itu.

“Saya merasa pusing, Dok, dan badan saya terasa sakit semua,” jawabku dengan pelan.

“Perkenalkan saya Ansel, dokter yang merawat Mbak. Saya juga yang menolong dan membawa Mbak ke rumah sakit ini.”

“Saya Claretta, Dok. Pantas saja saya merasa pernah melihat dokter. Terima kasih sudah menyelamatkan saya.”

“Sama-sama, saya hanya kebetulan lewat saja. Sepertinya Mbak Claretta masih butuh istirahat. Nanti biar saya resepkan obat dan vitamin.”

“Kalau boleh saya tahu, saya ada di rumah sakit mana ya? Saya harus memberi tahu keluarga saya agar mereka tidak khawatir,” tanyaku.

“Mbak Retta ada di Rumah Sakit Umum Kota Saranjana. Oya, saya mau menghubungi keluarga Mbak. Tapi ponsel Mbak Claretta rusak, jadi tidak ada nomor yang bisa saya hubungi. Untuk sementara kalau ada perlu apa-apa, panggil perawat saja ya.”

“Nanti Mbak bisa tekan bel yang ada di samping tempat tidur ya. Jangan sungkan untuk panggil saya,” perawat itu menjelaskan dengan ramah. Aku mengangguk dan tersenyum.

Pelayanan di rumah sakit ini sangat baik, untuk pasien yang tidak ditunggui keluarganya. Ada perawat yang membantuku untuk makan dan minum obat atau pergi ke toilet.

Sore harinya, Dokter Ansel datang ke kamarku untuk menanyakan kabarku. Ia tidak memakai jas dokternya. Sepertinya jam kerjanya sudah selesai.

“Mbak Retta, bagaimana keadaannya?” tanya Dokter Ansel sambil duduk di kursi samping tempat tidurku.

“Alhamdulillah, agak baikan,” jawabku singkat.

Sejujurnya aku merasa kurang nyaman dekat dengan orang yang baru kukenal. Kulihat Dokter Ansel terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Mbak Retta, gimana kalo kamu dirawat di rumah saya aja? Jangan khawatir, di rumah ada ibu sama asisten rumah tangga. Nanti saya tugaskan satu perawat juga di sana. Saya ga tega ngelihat kamu sendiri.”

“Walaupun ada perawat yang bantuin kamu, tapi kalo di rumah saya ada orang yang nemenin kamu untuk sekedar temen ngobrol. Kamu di sini pasti kesepian kan?”

Sebenarnya aku tergiur dengan tawaran Dokter Ansel. Jujur, aku merasa kesepian di ruangan ini sendiri. Tapi aku juga tidak boleh percaya begitu saja pada orang yang baru kukenal. Memang dia kelihatannya baik, tapi bisa saja itu hanya pencitraan.

“Saya cuma khawatir sama kamu, gak ada maksud lain. Coba kamu tanya sama orang-orang di rumah sakit ini. Mereka pasti tahu aku orangnya seperti apa.  Lagipula, kalau saya berniat jahat, kenapa saya bawa kamu ke sini?” ucap Dokter Ansel meyakinkanku, seolah dia membaca keraguanku.

‘Ah iya, tak seharusnya aku berburuk sangka pada orang yang telah menolongku,’ batinku.

Aku mengangguk setuju untuk dirawat di rumahnya. Ansel menaikkan tubuhku ke kursi roda dan mendorongnya sampai tempat parkiran. Ia membukakan pintu mobil untukku dan membantuku masuk ke dalam mobilnya, mobil sport yang mewah berwarna putih dengan edisi terbaru.

“Rumah Dokter masih jauh ya?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Emh, gimana kalo panggil Ansel aja? Ini kan bukan di rumah sakit. Saya risih kalo dipanggil dokter saat di luar jam kerja,” balas Ansel.

“Oh iya deh Dok… eh, Ansel,” gumamku, sambil menutup mulut karena keceplosan masih terbiasa memanggil dokter pada Ansel.

“Rumah saya gak jauh dari sini kok, paling sebentar lagi sampai. Kenapa Mbak Retta? Pusing ya?” tanya Ansel khawatir.

“Enggak kok, cuma nanya. Oh iya, panggil saya juga Retta aja ya…. Karena sepertinya saya lebih muda dari Anda.”

“Wah, berarti Anda secara tidak langsung mengatakan saya sudah tua dong?” goda Ansel sambil melirikku.

“Bukan maksud gitu….” Aku jadi merasa tak enak hati.

“Iya, saya ngerti kok, saya cuma bercanda…,” jawab Ansel sambil tertawa. Suasana pun jadi mencair dan tak ada canggung lagi seperti sebelumnya.

Kami tiba di sebuah rumah yang megah, pintu pagarnya bisa terbuka sendiri. Halaman rumah yang luas dengan taman yang dihiasi bunga-bunga yang cantik. Di pinggir halaman rumah terdengar suara gemericik air yang menenangkan hati dari sebuah kolam yang dipenuhi berbagai macam ikan hias yang cantik.

Selaras dengan halamannya, rumah Ansel terlihat menarik dengan desain skandinavia. Saat masuk rumahnya, temboknya didominasi dengan warna putih, abu-abu dan cokelat muda. Terasa sangat homey ketika baru menginjakkan kaki di rumah ini.

Seorang wanita paruh baya datang menyapaku. Sepertinya ia ibunya Ansel, karena ada kemiripan dari wajah mereka. Ansel mewarisi wajah dari ibunya yang rupawan. Namun saat ibunya Ansel mendekat padaku, ia terlihat sangat terkejut dan menutup mulut dengan tangannya.

Aku bingung dan menoleh ke arah Ansel, menaikkan alis mataku. “Apa ada yang salah denganku?” tanyaku berbisik pada Ansel.

"Ansel, bukankah dia ...."Ibunya tak berhenti menatapku dari kepala hingga ujung kaki.

'kenapa ibunya melihatku, seperti melihat hantu,'batinku. Aku kembali menoleh pada Ansel untuk meminta penjelasan. Namun bukannya menjawab, ia hanya terdiam dan tersenyum dengan misterius. Senyuman yang sulit kuartikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status