Tanganku mengepal kuat. Menahan sesak di dada. Merasa dilecehkan oleh istri sendiri. Tega-teganya Mira memposting fotoku bagaikan barang dagangan. Gila.
"Prank kamu gak lucu, Sayang," ujarku menahan emosi.
Mira mengambil posisi duduk. Wajahnya tampak tidak merasa bersalah. Dia malah memandangku dengan intens. Lalu, mengambil ponselnya. Mendadak hatiku berdegup kencang. Rasa marah sirna begitu saja. Digantikan kecemasan. Takut Mira mengetahui skandalku dengan Diana.
Tak mungkin. Perempuan lugu seperti dia, akan mencari lebih jauh tentang kedekatanku dengan Diana. Aku juga berusaha menyembunyikan hubungan spesial kami dibalik kedok persahabatan. Supaya, Mira tak mencurigai semua rahasia yang sudah aku sembunyikan cukup lama. Bahkan, banyak orang percaya, aku dan Diana hanya sebatas sahabat dekat.
"Aku gak prank Mas. Satatusku rame gara-gara posting muka kamu. Terus, lihat nih ...."
Mira menunjukkan W******p. Banyak pesan yang masuk dari pelanggannya. Ada yang meledekku, dan ada yang serius membeli. Mira juga menunjukan catatan bukunya, yang menunjukkan daftar pesanan panci, wajan dan perkakas lain. Hampir 50 orang yang memesan dagangannya untuk hari ini.
"Maksudnya gimana, Mir. Mas bener-bener gak paham maksud kamu. Kenapa tega nyamain Mas kaya panci dan wajan yang kamu jual."
"Ya ampun, Mas. Baperan banget. Ini namanya teknik marketing. Biar banyak yang kepo sama dagangan aku. Lihat aja, berhasilkan teknik marketing aku. Hari ini, aku untung banyak banget," jawab Mira sangat antusias.
Sebenarnya, aku tak percaya. Apa ada teknik marketing segila ini? apa Mira berusaha membodohiku? namun, aku tak mau memperdebatkannya. Yang paling penting, Mira tidak tahu hubungan gelap ku dengan Diana. Perasaanku cukup lega. Ternyata, semua ini bukan propoganda akibat perselingkuhanku terbongkar. Hanya teknik bodoh ciptaan istriku untuk berjualan.
"Beneran ini hanya teknik marketing? Mas baru tahu."
"Beneran, Mas. Kamu kurang belajar nih, mangkanya gak paham. Tapi, aneh yah, kenapa dikomen pada bilang aku mau jual suami, karena suamiku selingkuh. Padahal, ini hanya teknik marketing paling jitu."
"Hmmm ... i-itu dampaknya kalau kamu posting muka Mas sembarangan. Ibu-ibu jadi suudzon."
"Ya, gak papa, Mas. Yang pentingkan realitanya kamu gak selingkuh. Toh, foto perempuan itu Diana. Mana mungkin kalian selingkuh di belakangku. Ya, meskipun gaya foto itu agak romantis sih."Aduh, apa maksud pembicaraan Mira? perasaanku makin gelisah. Bingung harus menanggapi apa. Takut salah bicara, malah berantakan semuanya. Bisa-bisa aku didepak dari rumah ini. Semua fasilitas yang diberikan Mira pada ibuku, bisa dicabut juga.
"I-itu foto lagi bercanda, Sayang. Ka-kamu dapet fotonya dari mana?"
"Status Dianalah, Mas. Ya, kayanya becanda sih. Kalau pun selingkuh, gak mungkinkan diekspos gitu, hahaha. Udahlah, aku ngantuk. Bahas lagi nanti."
Perkataan Mira bagaikan anak panah yang menancap di hati. Apa dia sudah tahu hubunganku dengan Diana yang sebenarnya? tidak. Kalau dia tahu, pasti Mira tak segan-segan mengusirku dari rumah. Dia paling benci dengan perselingkuhan. Tak mungkin bersikap tenang seperti ini. Raut wajahnya juga biasa saja. Tak ada yang mencurigakan. Meskipun, perasaanku tetap tak karuan.
"Sayang, semuanya baik-baik saja 'kan? hanya untuk keperluan promosi kamu? bukan karena kamu benci atau ... kesal sama Mas?"
"Iya, Mas. Lagian aku kesel kenapa? ada-ada aja, kamu ini. Jangan ganggu. Aku mau tidur."
Perlahan aku bisa bernafas lega. Aku berusaha menghibur diri sendiri. Untuk tenang dan tidak berpikir negatif. Aku yakin Mira tidak tahu apa-apa. Dia tak mungkin berbohong. Aku bisa tidur dengan nyenyak.
Meskipun, kecemasan di hati makin bertambah besar kadarnya. Aku mengkhawatirkan hal-hal yang tidak terduga terjadi. Semoga saja, hanya ilusi. Lebih baik, aku memejamkan mata. Agar Mira tidak curiga.
*****
[Mas, aku pergi duluan. Mau order panci ke pusatnya. Paling, balik sore atau malam. Maaf gak masak. Beli aja.]
Saat membuka mata di pagi hari, Mira sudah mengirim pesan. Aku bangkit dari kasur. Berjalan gontai keluar dari kamar. Sesuai pesan yang disampaikan, Mira sudah tidak ada di rumah. Tumben sekali pagi-pagi sudah pergi. Biasanya, Mira akan mengambil pesanan barang dagangannya bersamaku. Entah dia pergi naik apa. Motor kesayangannya juga tak dibawa.
"Hallo, Mas di mana? cepet jemput aku," rengek Manja Diana.
Berkali-kali dia mengirim pesan. Namun, tidak aku balas. Efek baru bangun tidur. Membuatku sedikit tidak fokus. Akibat kesal pesannya tidak si respon, Diana malah menelpon. Untung saja tidak ada Mira. Aku bebas mengangkat telepon dari Diana. Meskipun, selama ini Mira memang tak curiga jika aku sering berbalas pesan atau telepon dengannya. Jika tak sengaja ketahuan.
"Iya, Sayang. Mas mandi dulu."
"Gak ada Mira yah? tumben Mas oanggil aku Sayang pas di rumah."
"Iya, dia pergi ngambil dagangan pancinya."
"Istrimu semakin aneh saja. Anak juragan kontrakan tapi mau-maunya jualan kaya gitu. Ya sudah, aku langsung ke rumah Mas. Toh, jarak kontrakanku gak jauh."
"Gila kamu, nanti ada Mira, dia malah mikir macem-macem."
"Gak papa. Istrimu itu baik, dan pasti percaya sama aktingku yang lemah lembut. Bergaya polis menjadi sahabatmu. Kita udah sering akting, Mas. Gak bakal curiga."
"Tapi, Na, a-"
"Sudah, jangan berdebat, Mas. Keburu siang. Aku segera ke situ."
Diana langsung memutuskan telepon. Dasar nekat. Apa dia tidak sadar, kalau Mira mulai aneh. Aku takut istriku malah curiga.
Entahlah, aku bingung harus bagaimana. Lebih baik segera mandi. Agar ketika Diana datang, bisa langsung pergi ke kantor. Aku tak mau, kami malah berduaan di rumah ini. Bisa bahaya.
"Mas ... buka pintunya!"
Beberapa menit kemudian, Diana datang. Waktunya pas sekali. Aku sudah rapih. Bergegas keluar.
"Mas udah rapih? ceper banget. Padahal, aku mau santai dulu di rumah ini. Biar merasa kaya nyonya, tinggal di rumah besar ini."
"Jaga sikap, Na. Jangan lupa aktingmu. Kita harus bersikap layaknya seorang sahabat. Bukan suami istri. Mira bisa curiga."
"Tapi, Mas ... a-"
"Sudah, cepat naik mobil. Sebelum ada yang liat kedatangan kamu ke sini."
Aku tarik Diana masuk mobil setelah mengunci pintu. Melajukan mobil menuju kantor. Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di kantor.
"Apa-apan ini?" tanyaku emosi. Mata membelalak. Rasanya bila mata ini ingin jatuh.
"Mas, siapa yang bikin banner promosi muka kamu sama panci gini?" Diana malah menanyakan hal yang tidak aku ketahui.
Di bagian pintu masuk, banner wajahku yang diedit dengan panci bersebaran. Ada yang ditempel di tembok. Ada yang di pajang dekat pintu. Posisi panci diletakan di kepala, perut, dan lainnya dalam foto itu. Ditambah lagi, fotoku di banner itu dalam ekspresi paling jelek.
"Mas, Mas .... liat status istrimu di Wa dan F*. Parah banget."
Aku rebut ponsel di tangan Diana. Melihat status W******p istriku. Kali ini, dia benar-benar mempromosikanku layaknya barang dagangan. Mira benar-benar keterlaluan. Caption statusnya sangat menohok.
[Di jual ... di jual ... beli sepuluh panci, bakal dapat bonus pria digambar ini. Bisa daftar jadi istri kedua atau ketiga, batas sampai keempat. Kalau mau jadi selingkuhannya juga boleh. Asal pancinya dibeli dulu kakak ... cus langsung japri.]
[Di jual ... di jual ... beli sepuluh panci, bakal dapat bonus pria digambar ini. Bisa daftar jadi istri kedua atau ketiga, batas sampai keempat. Kalau mau jadi selingkuhannya juga boleh. Asal pancinya dibeli dulu kakak ... cus langsung japri.]"Mir, ini tanda tangan. Ada yang mau ajak kerja sama. Buat launcing model baru produk panci kita," ujar Tiara menyodorkan Map di meja kerjaku. "Iya, Ra. Sabar. Lagi asik nih.""Hadeh, lu masih aja posting suami lu di status? gak guna tau. Mending langsung cerein aja.""Hust, enak aja. Santai, Ra. Sebagai perempuan masa kini, kita harus main cantik. Buat tukang selingkuh menyesal. Lalu, hempasan, hahaha.""Heran, lu masih bisa ketawa. Padahal, udah tahu diselingkuhi. Emang bener-bener perempuan langka. Gua salut, punya temen kaya lu."Aku hanya menampakkan senyum termanis di dunia. Maklumi saja jika Tiara berbicara demikian. Dia belum pernah merasakan lika-liku rumah tangga. Hanya tahu aku wanita yang tegar. Padahal, aku juga pernah menangis ke
"Kamu harus ikut, Din. Biar makin keren konsep promosi panciku."Mas Adam dan Diana saling tatap. Mereka tampak tegang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Jika mereka pintar menorehkan rasa sakit, maka aku juga bisa dengan cerdas mempermalukan mereka di depan publik. "Ti-tidak usah, Mir. Kalian saja.""Ih, jangan gitu dong, Na. Aku punya konsep iklan yang bagus nih.""Ko-konsep apa?""Konsep Lempar Panci untuk Pelakor.""Maksud kamu apa pake konsep kaya gitu?" tanya Mas Adam tampak tidak suka. "Santai dong, Mas. Jadi, bos panci aku itu cewek, Mas. Dia suka konsep-konsep marketing yang unik. Sedangkan temen-temenku yang lain, pake konsep iklan yang biasa. Cuman pose mesra sama suami dan panci dagangannya. Kalau aku, mau pake ide yang berbeda. Tahu aja menang gitu.""Maaf, Mir. Aku gak mau," tolak Diana dengan senyum terpaksa. "Yah, ko, gak mau, Sih. Cuman kamu doang temen cewek kita. Tolonglah, bantu. Sekali ini saja. Demi hadiah rumah," ujarku mengatupkan tangan untuk memohon. Diana
POV Adam "Sayang, kita menang. Kamu gak usah tidur dikontrakkan lagi. Kamu bakal punya rumah mewah, sama seperti Mira," ujarku senang luar biasa."Serius, Mas?" tanya Diana dengan mata berbinar. Dia sampai tidak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Benerlah, masa Mas bohong. Nanti sore pulang kerja kita langsung ke perusahan panci tempat Mira jadi reseller. Bosnya mau langsung ketemu.""Asek. Pasti mau langsung ngasih kunci rumahnya ke kamu, Mas.""Tentu, dong. Enak saja buat Mira. Dia gak ada kerjanya, cuman bisanya malu-maluin kita doang. Tapi gak papa, yang penting perjuangan kita terbayarkan.""Betul, Mas. Gak sia-sia jidatku masih sakit kena panci. Untung saja dapet hadiah. Kalua enggak, aku marah sama kamu," ujar Diana memanyunkan bibir. Lalu, wajahnya berubah berseri-seri kembali. Beruntung kami menang. Kalau kalah, Diana pasti tak akan memberiku jatah. Semua ini karena tingkah abstrak Mira. Bisa-bisanya dia memberi konsep pelakor. Tak apa, itu hanya konsep. Aku yakin
"Mir, maafkan aku, Mir. Aku hilaf, Sayang," ujarku mengemis di kaki Mira. Jangan sampai kehilangan tambang emasku. "Hilaf-hilaf kepalamu botak, Mas. Gampang sekali kamu bicara. Kamu pikir kesalahhanmu sama halnya kaya maling celana dalam? dasar pria titisan kadal buntung," umpat Mira tampak emosi."Maafkan Mas, Sayang. Mas dijebak Diana. Sebenarnya Mas hanya mencintai kamu.""Mas, enak saja kamu menyalahkan aku," protes Diana.Aduh, kenapa Diana tidak mengerti posisiku. Aku hanya sedang berusaha mendapatkan maaf dari MIra. Kalau sampai MIra benar-benar meminta cerai, mendadak miskin diriku. Aku mana bisa membahagiakan Diana tanpa subsidi uang dari MIra. Selama ini, uangku hampir setengahnya terkuras karena harus memberi jatah bulanan pada ibu dan adikku. Kalau bukan karena bantuan uang dari MIra, kebutuhan rumah tak akan bisa terbiayai. Kenapa aku tidak menyadari kalau istriku sangat kaya. Kalau tahu dia pemiik perusahan, aku akan ekstra hati-hati ketika berselingkuh."Ini hadiah
"Sayang, kamu kenapa bawa preman ke kamar kita? lihat aku sudah menghias kamar kita. Biar kamu lebih nyaman.""Mas, kamu emang benar-benar gak punya malu. Sama sekali gak paham arti kata pergi. Nih, surat perceraian kita. Bawa. Biar kamu sadar kalau aku tak mau lagi denganmu." Mira melempar amplop putih tepat ke wajahku. "Sayang, maafkan Mas. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Usir dulu dua preman itu.""Silakan jelaskan semuanya di pengadlan, Mas. Bos perusahan besar sepertiku tak punya banyak waktu untuk mengurusmu.""Sayang, kita bicarakan dulu semuanya. Kamu akan menyesal karena meminta cerai dariku. Apa kamu mau jadi janda? lebih baik kita bicarakan dulu semuanya.""Hei, dua preman, pergi kalian. Aku harus bicara urusan rumah tangga dengan istriku," sambungku berusaha mengusir dua pereman berwajah mirip harimau ganas.Jantung ini berdebar gugup. Mati aku jika harus melawan dua preman dengan otot kekar seperti mereka. Tak habis pikir, kenapa Mira bisa terpi
POV Mira "Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir." Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku? "Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk." "Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing. Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri. "Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini. "Kayanya mertua dan adik iparku." "Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja." "Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini." "Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun
"Arrgh, dasar menantu kurang ajar.""Iya nih. Mbak Mira mulai gila.""Kalian yang gila. Jadi manusia tidak punya rasa malu. Cepat pergi."Byur!"Arrgh!" teriakku dan Tiara yang lagi-lagi terkena siraman air yang diguyurkan Ela. Mertua dan adik iparku memang keterlaluan. Bukannya mendamaikan, malah membuat suasana semakin kacau. Beraninya mengajak berkelahi di rumahku sendiri."Ih, kalian ini... menguras emosiku saja," ucapku geregetan menahan kesal. Hampir saja aku mau melempar gelas kosong ke mereka. Beruntung Tiara Menahan."Istigfar, Mir. Kamu bukan orang jahat. Kuasai dirimu."Walaupun Tiara kadang bar-bar, tapi dia memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Dia paling tidak mau jika aku melakukan hal yang merugikan diri sendiri. "Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintah Tiara."Hei, kamu gak usah ikut campur. Ini urusanku dengan menantuku. Kalian juga, para preman sialan, jangan bertingkah. Aku belum selesai memberi pelajaran pada Mira. Dia sudah kurang a
"Su-suka, ma-maksudnya?" Bumi hanya tersenyum. Sementara diriku gelagapan. Mendadak salah tingkah. "Ya, aku suka sama kamu. Siapa orang yang tidak suka dengan perempuan cantik, baik, dan hebat sepertimu, Mir. Kamu juga sangat mandiri. Jadi, kamu harus selalu kuat. Percaya dengan dirimu sendiri.""Oh, gitu."Sial. Hampir saja aku kegeeran. Aku pikir Bumi menyimpan rasa yang aneh-aneh padaku. Ternyata dia hanya memuji untuk membangkitkan semangatku."Iya, emang kamu maunya gimana?""Ya gak gimana-gimana, Bumi. Sudah-sudah, jangan bicara aneh-aneh.""Aku tidak bicara aneh, Mira. Jangan-jangan pikiranmu yang aneh-aneh.""Enak saja.""Hehehe, gitu dong. Tampakkan muka kesalmu. Tidak baik menyimpan beban. Ekspresikan saja isi bisa.""Ekspresikan kaya gimana, Bumi? kalau aku tahu caranya, udah aku lakuin. Rasanya tuh, pengen marah-marah sambil Jambak rambut Si Pelakor. Sayang, tanganku terlalu berharga buat nyentuh dia.""Betul itu. Jangan kotori tanganmu. Lebih baik pake cara lain.""Cara