Share

Bujukan Ibu Mertua

POV Mira 

"Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir."

Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku?

"Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk."

"Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing.

Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri.

"Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini.

"Kayanya mertua dan adik iparku."

"Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja."

"Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini."

"Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun yang mereka mau."

"Bisa jadi."

"Mira ... keluar ... tolong ibu, Mir."

"Ayok, Mir. Kita lihat, drama apa yang sedang mereka mainkan."

Aku dan Tiara menuju pintu depan. Benar saja prediksi kami. Sudah terjadi drama di sini. Tanamanku rusak karena potnya dilempar. Sementara penjagaku mencekal tangan Ela dan ibu agar tidak berulah.

"Mira."

"Lepaskan mereka."

"Tapi, Bu....."

"Lepaskan. Ikuti saja perintahku."

"Baik, Bu."

"Kalian memang kurang ajar. Menantuku saja tak berani mengusirku. Awas kalian," ancam ibu sambil melotot tajam. Begitu pula dengan Ela. Adik iparku yang modis menampakkan raut garang.

"Masuk dulu, Bu."

"Makasih, Mir. arusnya kamu dari tadi keluar. Lagian kamu segala nyewa preman. Emangnya habis kemalingan?"

"Iya nih, Mbak. Mereka bener-bener gak sopan. Padahal, kami ini keluarga Mbak."

"Betul kata Ela. Kamu harus bilang dulu sama preman itu, kalau Ibu ini mertuamu. Biar gak salah paham kaya tadi. Malu-maluin aja."

"Batul, tuh."

Dua orang di hadapanku asyik sekali bicara ini dan itu. Aku hanya diam mengulas senyum manis. Menunggu mereka lelah bicara. Sambil duduk manis mengamati calon mantan mertua dan adik ipar.

"Silakan diminum dulu," ujar Tiara menyajika dua gelas air putih. Aku sengaja menyuruh Tiara menyajiikan air. Sebagai pembuka, dan pendingin perasaan mereka, sebelum aku membongkar aib Mas adam.

"Nah, gini dong. Tahu aja ibu haus."

"Mbak, gak ada es Marjan atau coca cola gitu."

"Gak ada, La. Hanya ada air putih."

"Sudah minum saja, Ela. Mir, maafkan adikmu. Dia terbiasa minum minuman mahal." Aku hanya mengulas senyum. Menunggu mereka selesai minum.

"O iya, dia siapa, Mir? pembbantu baru? ko, duduk di samping kamu. Gak sopan gitu."

Tiara yang ada di sampingku langsung melotot. Tentu dia tidak terima disebut pembantu.

"Dia temenku, Bu."

"Oh, kirain... soalnya pakaiannya acak-acakan gitu." 

Tiara hanya bisa menampakkan raut tak suka. Namun, dia tetap diam. Mungkin, sebagai bentuk menghargaiku. Tak mau membalas kejulidan ibu mertuaku. Agar tidak memperkeruh suasana.

"Tumben ibu ke sini," ucapku memulai topik pembicaraan. Penasaran dengan maksud dan tujuan ibu. Pasti tak jauh dari hal-hal yang menguntungkan untuknya, dan merugikan bagiku. Tak mungkin hanya berniat mendamaikanku dengan anaknya.

"Ibu denger dari Adam, kalian lagi ada salah paham. Ibu gak mau ikut campur. Pasti kalian bisa menyelesaikan masalah dengan cara baik-baik."

"Betul, Mbak. Udahlah damai aja. Ya, aku kadang cemburu sama pacarku. Tapi, kita tidak boleh menuduh yang tidak-tidak. Jadinya malah cemburu buta yang menyesatkan," ucap Ela sok tahu. Padahal, dia pasti belum tahu masalah yang sebenarnya. Ela juga belum menikah. Mana tahu rasanya jadi aku.

"Terus...," ujarku menanggapi mereka berdua dengan santai.

"Intinya kamu jangan cemburuan, Mir. Diana hanya teman Adam. Sudah soal itu, Ibu akan selalu menudukung kamu. Asal kalian harus berdamai lagi. Semoga, dua hari ke depan masalahnya bisa selesai."

Sepertinya, Mas Adam belum menceritakan kejadian semalam, atau ibu dan Ela sekongkol dengannya. Sengaja membela Mas Adam dengan maksud tertentu.

"Soal masalahku, ibu suruh anak ibu jujur. Biar ibu tahu masalah yang sebenarnya terjadi."

"Iya, iya. Ibu gak mau ikut campur. ibu yakin cinta kalian akan kuat abadi karena doa ibu. Ada hal lain yang penting dan harus didahulukan."

Hal apa yang lebih penting dari surat gugatan cerai yang aku berikan pada Mas Adam? keningku berkerut heran. Begitu pula dengan Tiara. Kami memasang wajah seperti orang bodo. Menunggu kata-kata apalagi yang akan keluar dari mulut ibu mertuaku.

"Tujuan ibu ke sini mau minjem uang dulu lima juta, Mir."

"Ela juga pinjam 500 ribu saja, Mbak. Dikasih sejuta, ya, gak bakal nolak."

Aku hanya tersenyum tipis. Emosi dalam hati yang ingin dikeluarkan. Mas Adam dengan keluarganya benar-benar tak tahu diri. Sudah selingkuh, dan membuat hatiku hancur lebur, mereka masih punya muka meminjam uang. Bukan meminjam tapi meminta. Aku sudah paham taktik ibu mertuaku. Sudah sering bilangnya minjam uang. Nyatanya sampai sudah setahun lebih pun, uangku tidak dikembalikan.

Dulu, aku memaklumi. Menganggap ibu dan Ela seperti keluarga. Uang tak jadi masalah. Mereka juga selalu bersikap baik kepadaku. Itu yang terpenting. Nyatanya, diam-diam anaknya membohongiku. Aku merasa tertipu dengan sikap manis mereka

Pada dasarnya, manusia memang tak pernah puas. Ingin lebih dan lebih. Padahal, selama ini aku tak banyak menuntut soal uang. Berusaha jadi istri berbakti dan ceria untuk membahagiakan suamiku. Namun, dia malah menghianati. Dengan sahabatnya sendiri. 

"Kamu kok malah diam, Mir?" ayoklah, ibu minta uang. Uang gajian Adam pasti masih sisa. Atau minjam uangmu dulu. Kamu juga kerja 'kan? jualan panci. Kalau tidak, minjam sama orang tuamu. Mereka 'kan punya banyak sawah dan kontrakan."

"Maaf Bu, tidak bisa. Kalian minta saja sama Mas Adam. Mulai dari malam tadi, aku sudah tidak mau dilibatkan lagi dalam hidupnya. Apalagi ikut serta perekonomian keluarganya."

"Loh, ko, gitu sih, Mbak. Mbak ini istrinya Mas Adam. Sudah sepantasnya membantu kami," jawab Ela dengan raut tak suka.

"Istri? itu dulu. sejak semalam, aku sudah memberikan surat gugatan perceraian pada Mas Adam. Mungkin dia belum menunjukkannya pada kalian."

"Apa, kamu mau cerai dengan Adam?" Aku jawab dengan anggukan.

"Tidak, tidak bisa. Mbak Mira tidak boleh cerai dengan kakakku."

"Betul itu. Apa permasalahannya, Mir. Kamu jangan gegabah. Hanya karena cemburu tanpa bukti, seenaknya bilang cerai. Itu tidak baik. Kamu belum tahu rasanya jadi janda seperti ibu. Rasanya tidak enak."

"Cemburu buta? sepertinya ibu dan Ela tidak tahu kelakuan Mas Adam, atau kalian pura-pura tak tahu? apapun itu, aku tak peduli. Kalian harus melihat kelakuan bejat Mas Adam, biar semuanya jelas."

Dua orang di hadapanku saling pandang dalam kebingungan. Mungkin, mereka baru melihat sikapku berubah. Selama ini, aku selalu berusaha bersikap dengan baik. Bahkan, bicara dengan suara tinggi saja, hampir tidak pernah terjadi. Aku sangatm menghormatimereka sebagai keluarga. 

Meski pada akhirnya, aku malah mendapatkan penghianatan. Mereka akan membayarnya dengan penyesalan. 

"Tiara, tunjukan video kebusukan Mas Adam."

Tiara mengangguk. Menyodorkan ponsel yang berisi video rekaman Mas Adam dan gundiknya. Ibu dan Ela melongo saking kagetnya. Mereka menutup mulut dan muka karena tak menyangka kelakuan bejat Mas Adam. Mungkin, ibu memang baru tahu tentang ini.

"Astaga, Mira, kamu bisa tahu ini semua dari mana?"

"Tidak penting aku tahu dari mana, Bu. Sekarang ibu sudah tahu kelakuan anak ibu. Apa mungkin selama ini ibu memang sudah tahu pernikahan siri antara Mas Adam dan Diana?" tanyaku penuh selidik. 

"Tidak. Demi tuhan ibu baru tahu."

"Ya, sudah, ibu sudah tahu. Jadi, berhenti menganggap aku cemburu buta, dan berhenti juga meminta bantuanku. Kalian minta saja uangnya pada Diana. Dialah istri Mas Adam. Sementara aku, sebentar lagi akan menjadi mantan istri."

"Mir, jangan seperti itu, Mir. Kita bicarakan semuanya baik-baik. Ibu janji akan menyuruh Adam menceraikan perempuan murahan itu. Tenanglah, hanya kamu menantu kesayangan ibu."

"Betul, Mbak. Ela juga gak sudi menerima pelakor itu. Mbak Mira selamanya akan menjadi kakak iparku."

Aku hanya tersenyum tipis. Tentu bukan tanpa alasan mereka bicara begitu. Mereka tak akan membiarkanku bercerai. Jika itu terjadi, lenyaplah sumber uang mereka. 

"Maaf, Bu. Lebih baik ibu pergi. Tak ada yang bisa kita bicarakan lagi. Semuanya sudah jelas. Ibu dan Ela, nanti datang saja ke pengadilan."

"Tidak. Ibu tidak mau. Kamu tidak boleh bercerai dengan Adam. Kalian harus tetap harmonis. Jangan bikin malu keluarga ibu dan juga keluarga kamu. Kita selesaikan semuanya dengan cara baik-baik."

"Benar, Mbak. Diskusikan dulu. Jangan gegabah. Selama itu, berikan Ela pinjaman dulu. Biar bisa datang ke pesta ulang tahun temen kuliah."

"Ela," tegur ibu menyenggol lengan anaknnya. 

"Maaf, aku tak mau membuang-buang waktu. Lebih baik kalian pergi."

Suasana pagiku kacau. Tak ada ketenangan. Padahal, sangat butuh waktu menenangkan pikiran. Sekuat apapun diriku menghadapi masalah ini, batinku tetap lelah. butuh tempat menyandarkan segala duka lara.

Perselingkuhan bukan hal yang diinginkan setiap perempuan di muka bumi ini. Hati perempuan mana pun akan luluh lantah. Sama halnya dengan hatiku. Hancur berkeping-keping. Sakitnya bagaikan kulit dan daging tubuh ini di sayat-sayat secara perlahan. Sangat menyiksa. 

"Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintahku mengusir dua manusia di hadapanku.

"Enak saja, kamu tidak boleh mengusir kami. Tidak sopan. Kurang ajar kamu."

"Terserah, Bu. Sebentar lagi, aku resmi menjadi mantan menantumu. Jadi, tidak wajib untuk mengikuti kemauanmu."

"Mbak Mira, jangan sok kecantikan dong. Harusnya Mbak bersyukur kakakku mau sama Mbak. Jadikan, kasus perselingkuhan ini sebagai ajang instropeksi diri. Jangan sok-sokan minta cerai," papar Ela mulai kurang ajar.

"Betul itu. Ela saja paham cara berbenah diri. Mira, Kamu jangan kaya anak kecil."

"Terserah, cepat seret mereka keluar. Aku muak!" teriakku kesal. 

"Keterlaluan kamu, Mir."

Byur!

"Arrgh, ibu ... seenaknya kamu menyiramku di rumahku sendiri," teriakku penuh amarah. Ibu-ibu rempong itu malah menyiram air dalam gelas tepat di wajahku. Aku masuk ke dapur. Menyuruh para penjaga untuk menahan mereka keluar.

Aku ambil air satu ember air dari kamar mandi. Lalu, aku guyurkan pada ibu dan Ela. Mereka kaget. Aku benar-benar hilang kendali. Tiara sampai memelukku dari belakang agar tidak melakukan hal yang lebih nekat. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Sekardadu
la lanjutkan....menarik aja nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status