tidak mau ke rumah sakit? kita harus cek keadaan kamu. Kalau kamu hamil ....""Cukup, Mi. Tolong jangan sok tahu tentang kondisiku. Aku paling tahu harus bagaimana."Entah kenapa, aku kesal pada Bumi. Pria itu langsung diam mendengar ucapanku. Hati ini merasa salah. Namun, untuk saat ini aku memang butuh ketenangan. Tak tahu harus bagaimana. Tak mau ke rumah sakit. Aku belum siap menerima kenyataannya. Aku takut hamil."Istirahat, Mir. Maaf kalau aku terlalu mencampuri urusan rumah tanggamu."Kami sudah sampai di rumahku. Bumi pamit pulang. Sebelumnya, dia menatap sendu. Entah sakit hati, atau mungkin dia juga penasaran dengan kondisiku, tetapi tidak bisa tanpa kehendak untuk menyuruhku mengecek keadaan diriku."Maaf, Mi. Saat ini aku butuh sendiri. Semua masalah datang tanpa diundang. Benar-benar buat aku stres.""Aku paham, Mir. Lebih baik kamu hubungi keluargamu. Di saat seperti ini, kamu butuh keluarga untuk mempertimbangkan keputusan yang seharusnya diambil."Aku hanya merespon
"Kamu kuat, Mir. Harus kuat demi anakmu."Kakakku merangkulku. Kami saling berpelukan. Aku usap lembut perutku yang masih rata. Benar kata Mbak Rina, aku harus kuat. Apapun keadaannya, anak dalam perutku tidak bersalah. Aku harus memikirkan perasaannya juga.Dulu, sebelum huru hara ini terjadi, aku sangat mendambakan kehadiran anak. Supaya bisa memberi kecerian di rumahku yang sepi. Namun, mengapa Tuhan malah menghadirkannya di saat seperti ini? apa ini tandanya aku harus mempertahankan rumah tanggaku?"Mbak, jadi aku harus gimana?""Tidak usah-buru-buru. Pikirkan dulu semuanya baik-baik.""Iya, Mbak. Aku akan berpikir sambil solat hajat dulu. Tidak mau tergesa-gesa.""Bagus, Mir. Ingat, kamu perempuan kuat dan mandiri. Mbak yakin, sehebat apapun cobaannya, kamu bisa menaklukannya. Dari kecil, kamu selalu begitu."Senyuman merekah di bibirku. Kata-kata Mbak Rina menjadi pendorong untukku. Mengingatkanku pada prinsip hidup yang selalu aku yakini selama ini. Yaitu, sehebat apapun masa
POV Adam"Iya, Bu. Kondisi kandungan ibu lemah. Jadi, tolong jaga, dan sering-sering periksa setiap Minggu, yah. Nanti saya kasih obat untuk membantu menguatkannya.""Baik, Dok. Terima kasih. Saya pastikan, istri dan anak saya akan baik-baik saja. Sudah lama kami menunggu kehadiran bayi kecil kami. Jadi, kami akan berusaha semaksimal mungkin," jawabku penuh suka cita.Tak menyangka Keberuntungan itu datang. Hanya sekali aku melakukannya, mungkin di masa subur, sehingga apa yang aku harapkan terjadi. Ini pertanda, aku akan selamanya bersama Mira. Tambang uangku tidak akan hilang. Malah, hubungan kami akan semakin kuat karena kehadiran seorang anak."Ini resepnya, jangan lupa nanti kontrol lagi."Aku dan Mira keluar dari ruang dokter setelah mengucapkan terima kasih, dan pamit. Di luar, Mbak Rina sudah menunggu. Dia langsung bertanya ini dan itu. Aku menjelaskan sesuai yang disampaikan dokter."Adam, jaga adikku dan anakmu. Kalau sampai kamu berani menyakitinya lagi, aku akan membawanya
"Kamu harus tanggung jawab, Mas!""Aku tidak bisa, Na. Ibu dan adikku butuh uang. Kamu juga. Sementara gajiku pas-pasan. Aku harus bisa mendapatkan cinta Mira lagi, Na. Agar bisa menguasai hartanya.""Tapi tidak dengan cara menceraikanku, Mas.""Terus gimana caranya? Mira gak bakal mau dipoligami.""Kita tinggal bersandiwara saja.""Maksudnya gimana?""Kita pura-pura bercerai. Toh, kita hanya menikah siri. Tidak harus mengurusnya ke pengadilan. Nanti, aku akan akting menjauhimu dan kabur dari sini. Kita juga bisa buat rekaman pas kita ribut dan kamu pura-pura menalakku.""Aku tidak bisa, Na. Mira bukan perempuan bodoh. Aku tak mau urusannya semakin kacau.""Kalau kamu masih bersikeras menceraikan aku, lihat saja Mas, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan bilang sama Mira kalau aku hamil. Agar dia yang menyerah dan menceraikanmu.""Jangan-jangan. Ya sudah, Mas Setuju ide gilamu.""Bagus, gitu dong."Diana merangkulku. Dia bergelayut manja. Ternyata Diana memang perempuan licik. Kalau b
POV Mira"Cepat tanda tangan.""Iya, Mir. Ini semua demi anak kita. Aku tidak peduli soal harta Gono gini dan lainnya."Dengan sok gagah, Mas Adam mendatangi surat perjanjian yang aku buat. Aku sengaja membuat, sebagai langkah antisipasi jika dibodohi Mas Adam lagi.Ini semua dilakukan demi anak. Tidak ada lainnya. Aku memang bisa besarkan anakku sendiri. Soal harta, tak mungkin kekurangan. Bahkan, dari kakek dan neneknya juga berkecukupan untuk membantu memenuhi kebutuhan anakku kelak. Namun, tidak dengan kasih sayang. Selamanya, aku tidak bisa menggantikan posisi ayah dalam hal memberi kasih sayang. Aku tak mau anakku kecewa dan sedih karena orang tuanya berpisah. "Baguslah kalau gitu," pujiku pada Mas Adam. Walaupun aku tidak terlalu percaya jika Mas Adam tidak memandang harta. Biar nanti kita buktikan. Apakah ucapannya memang benar, atau hanya rayuan."Terus, mulai kapan Mas bisa tinggal di sini lagi? Mas gak mau kamu sendiri. Mas ingin menjadi ayah yang siap siaga menjaga anak
Bumi benar-benar mencintaiku? kenapa kata-katanya begitu dalam. Seolah-olah mengekspresikan perasaannya yang mendalam untukku. hatiku tersayat ngilu. Ada campuran rasa nyeri yang mengaduk-ngaduk isi hati ini. "Ra, sudahlah, jangan membuatku berpikir aneh-aneh. Mau Bumi mencintaiku atau tidak, kami tidak akan bersama lebih dari teman. Tentu, kamu tahu alasannya.""Ya, tahu, sih. Tapi, gua harap lu jangan gampang percaya sama Si Adam. Coba selidiki dulu.""Tentu, Ra. Aku bakal cari tahu. Ya, kamu sih, yang bakal aku minta tolong buat cari tahu kebenarannya.""Oke, siap Bu, Bos. Tapi kerjaan gua nambah banyak aja. Jangan lupa naik gaji.""Hahaha, siap sekretaris cantikku.""Oh, tentu gua emang cantik, hihi. Oh, iya, gua belum kenalan sama Dede bayi.""Dede bayi, kenalin nih, Tente Tiara yang cantiknya luar biasa. Di dunia dan di mana-mana.""Di dunia sampai neraka," celetukku sambil terkekeh. Tiara yang mengusap perutku berhenti. Lalu, memanyunkan bibirnya."Ih, Mira. Lu tega banget Ama
"Maksud kamu apa, Mir?" Mas Adam malah balik bertanya. "Ko, malah balik nanya, Mas. Itu rekamannya, kenapa sempat-sempatnya di rekam.""Bukannya kamu yang suruh? aku bawa Diana ke sini buat menyelesaikan masalahnya kamu gak mau. Aku rekam sebagai bukti, malah dicurigai. Terus, aku harus gimana, Mir.""Hmmm."Aku jadi bingung sendiri. Tak tahu membedakan mana kebohongan dan kebenaran. Memang aku yang menyuruh demikian. Ya sudahlah, biar aku selidiki perlahan. Jangan mudah terpancing. Percuma saja menanyakan hal demikian pada Mas Adam. Dia pasti berkilah. Tak boleh bertindak bodoh dengan cara asal menuduh. Aku harus mengumpulkan bukti. Agar suamiku tidak mudah mengelak. "Sayang, sudahlah jangan curigaan terus. Kita fokus membesarkan anak kita saja. Mas hanya mencintaimu.""Oh.""Oh, doang?""Bodoamat. Udahlah, Mas, gak usah sok romantis. Sana, Mas tidur di sofa. Aku mau tidur di kasur.""Loh, kenapa Mas tidur di sofa, Sayang? Mas ingin memelukmu. Agar anak kita merasakan kasih sayang
POV Adam "Mas cepet, aku mau makan kerak telor."Diana merengek karena ngidam. Sialan. Cape sekali punya dua istri yang sama-sama sedang hamil muda. Tadi, baru saja mengabulkan keinginan Mira yang aneh-aneh. Sekarang, ada lagi. "Gak, bisa, Na. Mas harus masuk kerja. Hari ini gajian. Bisa habis aku kalau tidak masuk.""Lah, tadi katanya kamu pulang ke rumah istrimu?""Iya, cuman bawain dia makan, sama beliin dia mangga.""Tuh, pasti Si Mira juga lagi ngidam' kan? tapi, kamu mau nurutin. Kalau sama aku aja gak mau. Awas kamu, Mas. Kalau gak ikutin aku teror istrimu.""Terserah, kamu. Awas saja kalau macam-macam. Mira tahu tentang kebohongan kita, habislah riwayat kita. Aku gak bakal bisa memanjakan kamu lagi dengan uangnya.""Tapi, Mas-"Sambungan telepon aku matikan. Malas meladeni Si Diana. Makin ke sini, sikapnya makin menyebalkan saja. Dia tidak mengerti posisiku. Kalau sampai Mira tahu, pupus sudah harapanku bisa mendapatkan hartanya. Anakku juga jadi korban. Dia pasti menjauhiku