Share

Bos itu Istriku

POV Adam 

"Sayang, kita menang. Kamu gak usah tidur dikontrakkan lagi. Kamu bakal punya rumah mewah, sama seperti Mira," ujarku senang luar biasa.

"Serius, Mas?" tanya Diana dengan mata berbinar. Dia sampai tidak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya. 

"Benerlah, masa Mas bohong. Nanti sore pulang kerja kita langsung ke perusahan panci tempat Mira jadi reseller. Bosnya mau langsung ketemu."

"Asek. Pasti mau langsung ngasih kunci rumahnya ke kamu, Mas."

"Tentu, dong. Enak saja buat Mira. Dia gak ada kerjanya, cuman bisanya malu-maluin kita doang. Tapi gak papa, yang penting perjuangan kita terbayarkan."

"Betul, Mas. Gak sia-sia jidatku masih sakit kena panci. Untung saja dapet hadiah. Kalua enggak, aku marah sama kamu," ujar Diana memanyunkan bibir. Lalu, wajahnya berubah berseri-seri kembali. 

Beruntung kami menang. Kalau kalah, Diana pasti tak akan memberiku jatah. Semua ini karena tingkah abstrak Mira. Bisa-bisanya dia memberi konsep pelakor. Tak apa, itu hanya konsep. Aku yakin 100% Mira tak mungkin tahu tentang perselingkuhamu. Lihat saja, tingkahnya sangat polos.

"Tumben kalian berseri-seri. Bukannya kemarin keliatan banyak beban?" tanya Bumi ikut makan di meja yang sama.

"Mau tau aja lu, Mi. Ini urusan kita. Lu gak usah tahu. Nanti malah menghancurkan suasana lagi," jawabku dengan nada meledek.

Tentu saja di depan Bumi aku harus terlihat seperti sahabat dengan Diana. Meskipun, aku tahu Bumi sedikit curiga dengan kedekatanku dan Diana. Namun, Bumi bukan tipe orang yang suka mengurusi hidup orang lain. Dia tidak akan mengadu aneh-aneh pada Mira. 

"Oh begitu. Aku juga tak punya waktu untuk mengurus urusan kalian."

"Santai dong, Mi. Lu sensitif banget kaya cewek lagi PMS. jadi, Diana bakal dapet rumah baru."

"Rumah baru? dapat dari mana?"

"Dari hadiah lomba pa-"

"Arrgh!" teriakku kesakitan saat Diana menginjak kakiku.

"Dari hadiah bank, Bumi."

"Nah, maksud gua itu."

Diana menatap tajam ke arahku. Saking bahagianya, aku hampir saja keceplosan. Bisa perang dunia kesepuluh kalau Bumi tahu. Takutnya diam-diam dia akan mengadu. Jadi, di depan Bumi harus pintar-pintar berakting. 

"Lanjutin makannya. Bentar lagi jam istirahat selesai," perintah Diana membatasi percakapan kami. Mungkin istri mudaku takut aku keceplosan. 

Setelah selesai makan, kami segera kembali melaksanakan pekerjaan. Waktu terus bergulir. Rasanya sangat lambat. Berkali-kali aku melihat jam di dinding, belum juga menunjukkan waktu pulang kerja. Ditambah lagi setumpuk pekerjaan yang tidak ada habisnya.

"Akhirnya beres," gumaku saat waktu pulang kerja tiba.

"Mas, ayok kita ke lokasinya."

"Siap, Sayang."

Aku dan Diana segera meluncur menggunakan mobil. Senyuman tak hentinya mengembang dari bibir kami. Enak sekali punya istri pertama seperti Mira. Cicilan  mobil dia ikut bantu membayar. Jarang menuntut nafkah lahir karena dia bisa cari uang sendiri. Sekarang, dia membantuku memberi rumah untuk istri keduaku. Luar biasa.

"Wih, kantornya cukup besar juga, Mas. Kayanya sebelah sana pabrik pancinya deh," ujar Diana setibanya kami di lokasi. 

Aku mengaguk sebagai tanda setuju. Lahan parkir di kantor ini sangat luas. Bagian belakang dan samping terhubung dengan pabrik tempat produksi. 

"Maaf Pak, Bu, ada keperluan apa masuk ke kantor ini?" tanya satpam.

"Saya mau ketemu Bos di sini. Kami Sudah membuat janji. Saya harus nunggu di mana yah, Pak?" tanya Diana.

"Silakan tanya Mbak itu, Mas, Mbak. Biar nanti diarahkan," jawab Pak Satpam menunjuk tempat seorang wanita sedang bekerja, seperti resepsionis. 

"Makasih, Pak."

Kami segera menuju tempat yang diarahkan. Lalu bertanya pada orang yang bersangkutan. 

"Maaf, Pak, saya Adam ingin bertemu bos pemilik kantor ini."

"Pak Adam dan Ibu Diana?"

"Iya, Mbak betul."

"Kalian sudah ditunggu Ibu Mira di dalam. Mari saya antar."

Dengan ramah perempuan itu mengantar kami naik ke lantai paling tinggi. Entah kenapa, perasaanku merasa sedikit aneh. Semoga semuanya berjalan sesuai keinginan. 

"Masuk sini, Mbak?" tanya Diana.

"Iya, Bu. Silakan langsung masuk saja. Ibu Mira sedang menunggu."

"Pemilik perusahaannya juga ada di dalam bersama Mira?" tanya Diana tampak heran.

"Pemilik perusahaan, Ibu Mira sudah ada di dalam. Silakan masuk, saya pamit dulu."

Aku dan Diana saling pandang. Jawaban salah satu pekerja di kantor ini tidak terlalu memuaskan. Kenapa dia berbicara seolah-olah Mira adalah Bos-nya. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. 

"Ayok, Na. Kita masuk saja."

"Mira sudah menghubungi kamu, Mas?"

"Sudah, tadi di jalan dia bilang, langsung masuk saja ke ruangan Bos-nya. Dia menunggu di dalam."

"Oh, ya sudah. Ayok, masuk, Mas."

Dengan langkah penuh percaya diri, kami masuk ke dalam. Ada seorang perempuan dengan hijab toska, dan pakaian rapi layaknya pemilik perusahaan sedang duduk di kursi dengan posisi membelakangi kami.

Aku pandang setiap sudut ruangan. Namun, Mira tidak ada di ruangan ini. Entah ke mana dia.

"Permisi, Bu. Maaf, kami pemenang lomba promosi."

"Silakan duduk," perintahnya belum membalikan badan. 

"Maaf, Bu. Apa hadiahnya bisa segera diambil. Kebetulan udah jam segini. Kami juga baru pulang kerja, jadi butuh istirahat," ujar Diana tidak sabar. Aku tepuk pelan tangannya agar dia tak banyak bicara. Takut hadiah kami digagalkan karena sikap Diana yang tidak sopan.

"Ini suratnya."

Perempuan itu membalikan badan, duduk menghadap kami. Dia letakan selembar kertas dan pulpen di meja. 

"Mira," ujarku dan Diana kaget luar biasa. 

Mata membelalak heran. Aku dan Diana bagai orang bodoh yang saling melirik dengan ekspresi kebingungan. Kenapa dia duduk di situ? kenapa penampilannya sangat berbeda dari biasanya?

"Kenapa, kaget? kenalkan, aku Mira Andara pemilik perusahan PT Panci Masa kini."

"Mir, jangan becanda. Mana Bos kamu?"

"Benar kata Mas Adam, Mir. Aku tidak ada waktu untuk main-main. Sudah jam segini," ujar Diana tampak kesal dengan lelucon Mira. 

"Aku tidak peduli dengan waktumu, Pelakor. Aku undang kamu ke sini, untuk melihat suamimu ini menandatangi surat cerai untukku."

"Mir, maksud kamu apa?"

"Hahaha, aku suka muka planga plongo kalian. Baik, aku akan memberikan kalian sebuah persembahan yang menarik."

"Tiara ... masuk!"

Seorang perempuan masuk. Lalu, menyalakan sebuah proyektor. Perempuan itu bagaikan seorang pekerja yang sedang mempresentasikan tugasnya. 

"Baik, Pak Adam yang terhormat, saya sekretaris pribadi ibu Mira, sekaligus sahabatnya. Mungkin, saat perniakahan kalian dulu, sekilas pernah melihat saya. Oke, langsung saja, saya tunjukkan profil dan aset milik Bos saya."

Tiara menunjukkan sebuah slide yang berisi foto akte kepemilikan perusahan, foto saat Mira rapat dan menandatangi kerja sama. Dadaku sesak menerima kenyataan ini. Tak aku sangka, istriku adalah pemilik perusahan besar.

Padahal setahuku dia hanya anak dari petani yang mempunyai sawah dan kontrakan di kampung halamannya. Aku tak menyangka, Mira sehebat itu. 

"Mas," pekik Diana saat melihat Tiara menampilkan foto kami saat beradu mekanik di ranjang, gambar saat kami menikah siri, dan foto lain yang menunjukkan kemesraan kami.

"Mir, maafkan aku, Mir. Aku hilaf, Sayang," ujarku mengemis di kaki Mira. Jangan sampai aku kehilangan tambang emasku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status