"Mir, maafkan aku, Mir. Aku hilaf, Sayang," ujarku mengemis di kaki Mira. Jangan sampai kehilangan tambang emasku.
"Hilaf-hilaf kepalamu botak, Mas. Gampang sekali kamu bicara. Kamu pikir kesalahhanmu sama halnya kaya maling celana dalam? dasar pria titisan kadal buntung," umpat Mira tampak emosi.
"Maafkan Mas, Sayang. Mas dijebak Diana. Sebenarnya Mas hanya mencintai kamu."
"Mas, enak saja kamu menyalahkan aku," protes Diana.
Aduh, kenapa Diana tidak mengerti posisiku. Aku hanya sedang berusaha mendapatkan maaf dari MIra. Kalau sampai MIra benar-benar meminta cerai, mendadak miskin diriku. Aku mana bisa membahagiakan Diana tanpa subsidi uang dari MIra. Selama ini, uangku hampir setengahnya terkuras karena harus memberi jatah bulanan pada ibu dan adikku.
Kalau bukan karena bantuan uang dari MIra, kebutuhan rumah tak akan bisa terbiayai. Kenapa aku tidak menyadari kalau istriku sangat kaya. Kalau tahu dia pemiik perusahan, aku akan ekstra hati-hati ketika berselingkuh.
"Ini hadiah yang aku janjikan. Surat panggilan dari pengadilan agama. Sampai bertemu di sana, Mas. Sekarang, kalian pergi dari kantorku. Aku tak punya banyak waktu mengurus dua manusia berperilaku menjijikan seperti kalian."
"Eh, Mira, seenaknya kamu mempermainkan aku dan Mas Adam. Pokoknya aku tak mau tahu, kamu harus memberikan hadiah rumah yang sudah dijanjikan untuk Mas Adam. Kalau tidak, aku tuntut kamu," ancam Diana. Sialan, kenapa Diana malah mengancam MIra. Dia malah membuat suasana semkin keruh saja.
"Hahaha, dasar pelakor tidak tahu malu. Ups, aku lupa. Namanya juga pelakor, mana mungkin punya rasa malu."
"Tutup mulutmu, Mira. Seenaknya kamu menghinaku. Cepat berikan hak Mas Adam Setelah itu, kami pasti akan pergi."
"Diana ... Diana, Punya izajah S1 tapi isi kepalammu seperti tidak pernah menyerap pendidikan sekolah. Cepat pergi dari sini. Ambillah suamiku. Aku tidak rugi. Toh, selama ini, dia tidak sekaya yang kamu pikirkan."
"Diana, sudahlah jangan memperkeruh suasana. Biar aku selesaikan masalahku dengan MIra. Lebih baik kamu pulang duluan."
"Ih, gak mau, Mas. Pokoknya perempuan ini harus memberi bayaran untukku. Enak saja, aku cape-cape pemotretan sampai membuat video iklan yang aneh. Dia dapet duit, sementara aku hanya dapet benjol. Aku akan terus meminta hakku."
"Diana, sudahlah pulang dulu. Kamu bikin tambah pusing saja."
Diana benar-benar tidak bisa dinasihati baik-baik. Susah payah aku berusaha menenangkan Mira. Dia malah terus berusaha memancing emosi istri pertamaku.
"Tiara, panggil satpam. Aku sudah muak berhadapan dengan manusia bermuka panci seperti mereka. Benar-benar tak tahu malu."
Mira sedikit mendorong tubuhku yang menghalangi langkahnya. Dia duduk kembali dikursi, sambil memijat pelipis.
"Mira, dengarkan dulu penjelasan Mas, istriku. jangan hiraukan Diana. perempuan ini memang tak tahu malu. Dia yang menggoda Mas."
Plak!
Diana malah menamparku. mukanya memerah seperti sudah memakan cabe setan satu kilo. Dia memakiku karena lebih memilih Mira.
"Seenak dengkul kamu, Mas , kalau ngomong. Ngapain sih, ngemis-ngemis sama perempuan ini. Lebih baik kita pulang saja. Ceraikan saja dia. biar tahu rasa jadi janda."
"Diam kamu Diana. Jangan ikut campur," sentakku kesal. Diana sangat suit diajak berakting.
"Permisi Bu mira, dan Bu Tiara. Apa ada yang bisa saya bantu," ucap Satpam masuk ke ruangan Mira.
"Tolong usir mereka berdua, Pak" perintah sahabat sekaligus sekretaris Mira.
"Enak saja kamu mengusirku. Aku suaminya Mira. Itu artinya aku juga Bos disini."
"Gak usah mimpi, Mas. Pak cepat bawa dua manusia tak tahu malu ini."
"Mir, maafkan Mas, Mir. Kamu tidak boleh jadi istri durhaka seperti ini."
"Bodoamat, Mas. Ngomong sana sama tembok. Cepat Pak bawa mereka."
"Siap, Bu."
Dua orang satpam menggeretku dan Diana. Sialan. Mereka memperlakukanku bagaikan hewan liar. Seenaknya mengusirku, dan Diana. Lihat saja, aku akan memecat mereka ketika sudah bisa mendapatkan hati Mira lagi.
"Lepaskan. Kami bisa keluar sendiri."
Aku tarik Diana pergi. Tidak terima diremehkan seperti ini.
"Lepaskan tanganku, Mas. Setelah tadi kamu menghinaku, enak saja main gandeng tanganku," protes Diana ketika kami sudah sampai di parkiran.
"Maafkan Mas, Diana. Mas hanya akting. Ini semua demi harta Mira. Kamu mau punya rumah dan uang bulanan lancar 'kan?"
"Ya, iya sih. Tapi gak gitu juga caranya, Mas."
"Ya, gimana lagi. Mira tambang emas buat kita. Orang tuanya di desa punya sawah yang luas. Ditambah lagi, dia ternyata seorang pemilik perusahaan. Aku bisa semakin kaya jika bisa meluluhkan kembali hatinya."
"Lagian, Mas bodoh banget. Kenapa baru tahu kalau istrimu itu ternyata seorang Bos. Dasar laki gak guna."
Sialan. Mulut Diana memang paling lurus dan tajam kalau sudah menghina orang lain. Kalau bukan karena aku mencintainya, sudah aku tinggalkan. Lebih baik memilih Mira. Hidupku lebih terjamin dengannya.
Namun, namanya juga cinta. Membuat budak cinta menjadi bodoh. Sama sepertiku. Sulit melepaskan Diana. Dia cinta pertamaku sejak dulu. Perempuan cantik dan seksi yang mampu membuatku nyaman dan puas di ranjang.
"Sudah-sudah jangan saling menyalahkan. Kita pulang dulu. Pikirkan cara menaklukan hati Mira. Mas tidak mau dia menceraikan Mas. Bisa hangus tambang emasku."
"Ya udah, terserah kamu, Mas. Pusing kepalaku."
Diana masuk ke dalam mobil. Sepanjang jalan, tak ada topik pembicaraan yang bisa dibahas. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai di kontrakan, wajah Diana masih jengkel. Dia langsung masuk. Aku tak sempat membujuknya. Memilih bergegas pulang.
Saat ini, membujuk Mira adalah hal utama. Aku harus menenangkan hatinya lagi. Jangan sampai didepak dari rumah.
"Untung saja aku punya kunci cadangan rumah ini. Sepertinya Mira belum pulang."
Aku masuk sambil celingukan. Di jalan, aku sudah membeli beberapa bunga mawar. Aku akan menghiasai kamarku dengan Mira. Perempuan pasti luluh jika diperlakukan romantis. Apalagi, saat di ranjang.
[Dam, besok ibu minta uang lima juta. Buat beli perhiasan di teman ibu.]
Pesan dari ibu menambah suasana hatiku makin kesal. Ibu hanya tahunya minta uang dan uang. Apa dia tidak tahu, posisiku sedang ada diujung tanduk. Kalau Mira menceraikanku, tamat sudah riwayatku.
Bukan hanya Diana yang akan mengeluh karena aku tak bisa membahagiakannya dari segi materi. Ibu dan adikku pasti memarahiku karena sudah berselingkuh. Mereka tentu tak akan setuju. Ibu sangat menyukai Mira sebagai menantunya. Tepatnya, uang Mira. Ibu sangat bergantung pada uang istriku.
[Rumah tanggaku sedang diserang badai, Bu. Lebih baik ibu berdoa biar aku masih bisa jadi suami Mira. Jangan minta duit terus.]Balasku sedikit kesal. Aku memilih melanjutkan aktivitas menaburkan kelopak bunga di atas kasur. Beberapa menit kemudian, terdengar derap langkah menuju kamarku.
"Pasti Mira datang," ucapku riang. Aku sigap menggunakan parfum untuk menyambut istriku.
"Mi ... Mira ...," ucapku gugup. Mira memang datang, tetapi dia membawa dua orang preman berwajah seram, dengan otot besar. Membuat nyaliku menciut.
"Beraninya kamu masuk kamarku, Mas!" sentak Mira diselubungi api amarah.
"Sayang, kamu kenapa bawa preman ke kamar kita? lihat aku sudah menghias kamar kita. Biar kamu lebih nyaman.""Mas, kamu emang benar-benar gak punya malu. Sama sekali gak paham arti kata pergi. Nih, surat perceraian kita. Bawa. Biar kamu sadar kalau aku tak mau lagi denganmu." Mira melempar amplop putih tepat ke wajahku. "Sayang, maafkan Mas. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Usir dulu dua preman itu.""Silakan jelaskan semuanya di pengadlan, Mas. Bos perusahan besar sepertiku tak punya banyak waktu untuk mengurusmu.""Sayang, kita bicarakan dulu semuanya. Kamu akan menyesal karena meminta cerai dariku. Apa kamu mau jadi janda? lebih baik kita bicarakan dulu semuanya.""Hei, dua preman, pergi kalian. Aku harus bicara urusan rumah tangga dengan istriku," sambungku berusaha mengusir dua pereman berwajah mirip harimau ganas.Jantung ini berdebar gugup. Mati aku jika harus melawan dua preman dengan otot kekar seperti mereka. Tak habis pikir, kenapa Mira bisa terpi
POV Mira "Mir, buka pintunya. Ini ibu Mir." Siapa yang datang? seperti suara ibu mertuaku. Ya ampun, urusannya akan semakin ribet saja. Tak cukup menerorku lewat pesan, keluarga Mas Adam malah menemuiku. Apa Mas adam tidak memceritakan surat perceraian yang aku berikan? kenapa masih berani mengusikku? "Hei, awas. Aku mertuanya Mira. Kenapa kalian menahanku masuk." "Iya nih, siapa sih kalian!" teriak dua suara yang tak asing. Mungkn Ibu dan Ela sedang berusaha menghadapi dua penjagaku di depan. Namun, pasti sulit mengusir mereka. Anak dan ibu sama membandelnya seperti kuman dalam hidupku. Benar-benar tak tahu diri. "Siapa, Mir?" tanya Tiara yang ikut terbangun. Sejak semalam, Tiara memang menemaniku. Dia tidur di kamar tamu yang ada di rumah ini. "Kayanya mertua dan adik iparku." "Aduh. Masih pagi udah bikin rusuh aja." "Ya, begitulah, pasti ada sesuatu mangkannya mereka repot-repot ke sini." "Mungkin mereka gak mau kehilanggan kamu, Mir. Secara kamu selalu memberikan apapun
"Arrgh, dasar menantu kurang ajar.""Iya nih. Mbak Mira mulai gila.""Kalian yang gila. Jadi manusia tidak punya rasa malu. Cepat pergi."Byur!"Arrgh!" teriakku dan Tiara yang lagi-lagi terkena siraman air yang diguyurkan Ela. Mertua dan adik iparku memang keterlaluan. Bukannya mendamaikan, malah membuat suasana semakin kacau. Beraninya mengajak berkelahi di rumahku sendiri."Ih, kalian ini... menguras emosiku saja," ucapku geregetan menahan kesal. Hampir saja aku mau melempar gelas kosong ke mereka. Beruntung Tiara Menahan."Istigfar, Mir. Kamu bukan orang jahat. Kuasai dirimu."Walaupun Tiara kadang bar-bar, tapi dia memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkanku dalam kebaikan. Dia paling tidak mau jika aku melakukan hal yang merugikan diri sendiri. "Penjaga, cepat bawa mereka keluar," perintah Tiara."Hei, kamu gak usah ikut campur. Ini urusanku dengan menantuku. Kalian juga, para preman sialan, jangan bertingkah. Aku belum selesai memberi pelajaran pada Mira. Dia sudah kurang a
"Su-suka, ma-maksudnya?" Bumi hanya tersenyum. Sementara diriku gelagapan. Mendadak salah tingkah. "Ya, aku suka sama kamu. Siapa orang yang tidak suka dengan perempuan cantik, baik, dan hebat sepertimu, Mir. Kamu juga sangat mandiri. Jadi, kamu harus selalu kuat. Percaya dengan dirimu sendiri.""Oh, gitu."Sial. Hampir saja aku kegeeran. Aku pikir Bumi menyimpan rasa yang aneh-aneh padaku. Ternyata dia hanya memuji untuk membangkitkan semangatku."Iya, emang kamu maunya gimana?""Ya gak gimana-gimana, Bumi. Sudah-sudah, jangan bicara aneh-aneh.""Aku tidak bicara aneh, Mira. Jangan-jangan pikiranmu yang aneh-aneh.""Enak saja.""Hehehe, gitu dong. Tampakkan muka kesalmu. Tidak baik menyimpan beban. Ekspresikan saja isi bisa.""Ekspresikan kaya gimana, Bumi? kalau aku tahu caranya, udah aku lakuin. Rasanya tuh, pengen marah-marah sambil Jambak rambut Si Pelakor. Sayang, tanganku terlalu berharga buat nyentuh dia.""Betul itu. Jangan kotori tanganmu. Lebih baik pake cara lain.""Cara
Kujual Suamiku di Status Fecabook Part 11 Musuh dalam SelimutPOV Adam "Sahabat penghianat!" Aku terus memaki Bumi sambil memukuk dia sekuat tenaga. Tak peduli badanku yang terus terkena pukulan, sampai terjengkang ke tanah. Aku tak akan membiarkan pria itu pergi, sebelum dia babak belur. "Sadar diri, Dam. Lu bukan suami yang baik. Kalau tidak bisa membahagiakan Mira, biarkan dia dibahagiakan pria lain.""Arrgh, sialan!"Aku bangkit lagi. Melayangkan pukulan bertubi-tubi. Sekarang, Bumi yang tergeletak lemah di tanah. Darah menetes dari pelipisnya. "Berhenti, berhenti, Mas. Gila kamu."Kepalan tangan melambung di udara. Padahal, satu pukulan lagi, aku jamin Bumi akan pingsan. Namun, Mira malah menahan. Dia memasang badan melindungi Bumi."Kenapa kamu bela dia, Mir. Sudah jelas-jelas dia menghasut kamu sampai minta ceria dan bersikap seperti ini.""Kamu gila, Mas? kenapa sih, kamu gak sadar-sadar juga. Coba sekali saja sadar diri dan akui kesalahan kamu. Sudah jelas-jelas kamu sel
"Arrgh! sialan. Aku harus bagaimana?" tanya pada diri sendiri. Sangat frustasi.PIkiran kacau. Tak tahu harus mencari uang di mana. Sisa gajiku tinggal 500 ribu. Sementara gajian masih sepuluh hari lagi.Kenapa hiidupku jadi runyam? baru beberapa bulan merasakan kebahagiaan karena punya istri dua. Sekarang, malah terasa jad duda."Bu, buka pintunya, Bu."Berkali-kali mengetuk pintu, ibu ataupun Ela tak membuka pintu. Waktu memang sudah menunjukan jam dua belas malam. Mungkin, ibu sudah tidur. Kalau begitu, aku harus tidur di mana?"Bu ... Ela ... buka pintunya!""Sialan. Masa gak ada yang bangun. Tidur apa pingsan?""Ibu!" Urat-urat tenggorokanku rasanya mau putus. Kehabisan energi. Sampai vita suara serak. Mau tak mau, aku meringkuk sambil menyandar di tembok. Menyugar rambut penuh kecewa. Angin malam menambah derita. Dinginnya menembus kulit. Sampai menggetarkan jantung. Sehingga, tubuhku sedikit menggigil. Aku peluk tubuh dengan tanganku sendiri."Tuhan, salah apa aku? sampai j
"Mira, buka pintunya, Mir."Aduh, ke mana istriku. Apa dia masuk kerja? tidak. Ini hari libur. Tak mungkin Mira pergi bekerja. Kemarin saja, dia malah jalan-jalan dengan pria pecundang, Si Bumi. Aku tak menyerah. Terus menunggu sampai Mira datang. Berusaha menelepon ponselnya, dan mengirim pesan, tetapi tidak ada jawaban. "Mira." Mataku terbuka lebar ketika melihat sebuah mobil masuk ke halaman. Orang yang aku tunggu keluar dari mobil tersebut. Dia ditemani sahabatnya."Mas, ngapain kamu ke sini.""Mir, Mas gak mau ngajak ribut. Cuman mau ngomong penting doang.""Ini hari libur, Mas. Tolong, deh, jangan ganggu ketenangan pikiranku. Hari ini, aku mau tenang.""Bukan begitu, Mir. Ada hal mendesak. Aku mohon, Mir.""Ya sudah. ​​Sebelumnya, bawain dulu belanjaan aku di mobil. Taruh di dapur. Baru nanti kita bicara.""Siap, Mir."Mata ini berbinar dengan perasaan lega. Mira tampak tidak terlalu tempramental menghadapiku. Dia sudah kembali menjadi Mira seperti biasanya. Tiara membuka ba
POV MiraSialan. Mereka sudah menipuku. Sebenarnya, aku memang curiga. Namun, hatiku iba jika menyangkut kesehatan orang tua. Aku juga tahu kalau ibu memang memiliki penyakit darah tinggi. Penyakit tersebut bisa memicu komplikasi seperti struk dan lainnya. Tanpa pikir panjang, langsung mengirim uang pada Ela."Mir, jangan gampang percaya lu. Coba tanya di mana rumah sakitnya," ucap Tiara mengingatkan. Aku pun melakukan apa yang disarankan sahabatku. Namun, nomer Ela mendadak tidak aktif. "Tuh, pasti bohong adik ipar lu. Masa langsung dimatiin ponselnya. Mendingan kita lihat ke rumah mertua lu. Gua jamin, pasti mereka sehat-sehat ajah di rumah."Mendengar penuturan Tiara, aku menyetujui usulannya. Kami bergegas ke rumah Ibu. Benar saja, saat Tiara berteriak memanggil pemilik rumah, ibu keluar dalam keadaan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun.Darahku mendidih. Panas di ulu hati. Teganya mereka membohongiku dengan alasan yang tak sepatutnya. Apa mereka tidak takut malaikat mengaminka