Share

POV Mira

[Di jual ... di jual ... beli sepuluh panci, bakal dapat bonus pria digambar ini. Bisa daftar jadi istri kedua atau ketiga, batas sampai keempat. Kalau mau jadi selingkuhannya juga boleh. Asal pancinya dibeli dulu kakak ... cus langsung japri.]

"Mir, ini tanda tangan. Ada yang mau ajak kerja sama. Buat launcing model baru produk panci kita," ujar Tiara menyodorkan Map di meja kerjaku. 

"Iya, Ra. Sabar. Lagi asik nih."

"Hadeh, lu masih aja posting suami lu di status? gak guna tau. Mending langsung cerein aja."

"Hust, enak aja. Santai, Ra. Sebagai perempuan masa kini, kita harus main cantik. Buat tukang selingkuh menyesal. Lalu, hempasan, hahaha."

"Heran, lu masih bisa ketawa. Padahal, udah tahu diselingkuhi. Emang bener-bener perempuan langka. Gua salut, punya temen kaya lu."

Aku hanya menampakkan senyum termanis di dunia. Maklumi saja jika Tiara berbicara demikian. Dia belum pernah merasakan lika-liku rumah tangga. Hanya tahu aku wanita yang tegar. Padahal, aku juga pernah menangis ketika mengetahui kejadian ini. Dikhianati suami sendiri dengan sahabatnya. Bahkan, selingkuhannya sudah aku anggap teman dekat. 

"Doakan aku selalu tega, Ra." Tiara hanya mengangguk dengan senyum miring. 

"Aamiin, Ra. Ya udah, nanti ajah gua minta tanda tangannya." Tiara keluar dari ruanganku. 

Ponselku berdering. Tertera nama Mas Adam. Bibirku tertarik ke samping. Menampakkan senyum sinis. Sesuai perkiraan dia akan menelponku setelah sampai di kantornya. 

Aku memang sudah mempersiapkan banner untuk menyambut dia dan selingkuhannya. Dia pikir aku bodoh? setelah mengetahui perselingkuhannya, aku tentu lebih hati-hati. Sengaja memasang banyak cctv. Untuk mengawasi gerak gerik suamiku. Nantinya, akan aku gunakan sebagai bukti untuk menuntutnya. 

Namun, tak akan aku lepaskan dua penghianat itu sebelum menyadarkan mereka dengan fakta yang menampar hati. Lihat saja Mas, kamu akan menyesal seumur hidup dengan pilihanmu. Ada masanya, aku akan menghempaskan dirimu dalam kesengsaraan. 

"Hallo, Mas, kenapa? aku lagi sibuk jualan panci. Ganggu aja."

"Terserah kamu mau jualan panci atau jualan celana dalem sekali pun. Yang ingin aku permasalahkan, kenapa mukaku dipasang di banner besar dengan pose memalukan memegang panci-pancimu, hah?" tanya Mas Adam melalui sambungan telepon dengan nada tak bersahabat.

Dia pasti malu luar biasa. Citranya tercoreng habis-habisan. Wajahnya bukan hanya aku promosikan di dunia Maya, tetapi di dunia nyata juga, hahahah. Kapok 'kan kamu, Mas? mangkanya, jangan berani-berani mempermainkanku. 

"Gimana Mas, keren gak bennernya?"

"Gila kamu, Mira. Kamu mau jadi istri durhaka, hah? cepat bereskan banner-banner sampahmu ini. Hapus semua postingan promosimu. Dasar tidak waras. Tega-teganya kamu menjual suami sendiri."

Dasar makhluk tak tahu diri. Sama sekali tak menyadari kesalahannya. Dia malah menghujatku habis-habisan. Seolah-olah akulah penjahatnya. 

"Kali-kali, Mas. Demi cuan. Kamu harus tahu, Mas. Perusahan panci tempat aku jadi reseller, sedang mengadakan sayembara dengan hadiah rumah mewah. Emang kamu gak mau?"

"Hah? sayembara apa?" tanyanya mulai melunak. Dasar pria matre. 

"Sayembara untuk menjadikan suami sendiri model iklan panci-panci yang akan dijual."

Aku tahu alasan dia tetap bertahan denganku, pasti karena harta orang tuaku. Apalagi saat dia tahu, kalau akulah pemilik perusahan panci ini. Pasti Mas Adam akan menghalalkan segala cara untuk tetap mempertahankanku menjadi mesin uangnya. 

Untung saja, aku mendengarkan saran dari Tiara. Menyembunyikan siapa diriku yang sebenarnya sejak awal pacaran dengan Mas Adam. Awalnya setelah satu tahun pernikahan ini, aku ingin memberitahu semuanya. Bahwa aku punya usaha yang menjanjikan. Agar suamiku tak usah cape-cape lembur. Namun, niat itu aku urungkan. Saat Bumi menyodorkan banyak bukti tentang perselingkuhan Mas Adam. 

Saat aku cari tahu kebenarannya, ternyata kenyataannya memang begitu. Suami yang aku cintai, tega msnghinati. Hanya demi perempuan tak punya hati seperti Diana. Perempuan yang tega merebut suami orang lain. Padahal, aku sudah memperlakukannya sebaik mungkin sebagai sahabat suamiku. 

Ternyata memang memang benar, tak ada kata persahabatan untuk pria dan wanita. Pasti ada rasa yang tersimpan. Entah dari salah satunya, atau dua-duanya. 

"Kamu serius hadiahnya rumah mewah?"

"Iya, Mas. Tapi, masih ada persyaratan lainnya. Kamu mau gak?" 

Mas Adam tak langsung menjawab. Mungkin dia sedang berdiskusi dengan selingkuhannya. Aku yakin mereka pasti menyetujui tawaranku. Maklum, dua-duanya sama-sama mata duitan. Lihat saja, aku akan mengajak mereka bermain-main.

"Gimana, Mas? kalau gak mau ya, udah. Paling temenku yang dapat hadiah sama suaminya. Padahal, sayang banget loh, Mas. Sainganku cuman ada tiga orang. Sisanya belom pada nikah. Ada juga yang suaminya gak mau. Peluang kita menang cukup besar."

"Ya sudah, mau, mau. Tapi, nanti rumahnya harus atas nama aku."

"Siap. Bisa diatur soal itu."

"Oke, sip. Katakan saja apa syarat selanjutnya."

"Nanti pas kamu pulang kantor, biar aku kasih tahu. Sekarang, kamu fokus kerja saja. Jangan lupa, bennernya gak boleh dicopot."

"Masa gak boleh dicopot? aku malu, Mir."

"Mau menang gak?"

"Ya sudah, ya sudah."

Sambungan telepon dimatikan. Mereka masuk dalam jebakanku. Suruh siapa bermain gila di belakangku. Jangan salahkan aku, jika semuanya akan aku bongkar dengan elegan. 

"Jadi, rencana selanjutnya apa, Mir?" tanya Tiara saat kami makan malam.

"Ikuti saja perintahku, Ra. Pelan-pelan tapi pasti. Tugas utama kamu, untuk sementara hanya mengumpulkan bukti berupa video dan foto sebanyak mungkin. Untuk mempermudah persidanganku nantinya."

"Siap. Asal imbalannya, deketin gua sama pria tampan yang gua suka."

"Siapa?"

"Ya, itu loh ...."

"Siapa?"

"Bumi. Pria yang ngasih tahu lu tentang semua ini. Ketampanan, simpati, dan kejujurannya menggugah hati. Oh ... seksinya pria itu," ujar Tiara sambil menampakkan ekspresi seksi menjilat jari jemarinya yang penuhi bumbu sambal. 

"Hahaha, tergantung. Kalau Bumi mau sama kamu."

"Ih, harus mau. Lu harus dukung gua dong, Mir. Gua 'kan sudah menjadi asisten pribadi, sekaligus sahabat rasa adik juga. Kali-kali buat gua bahagia."

"Dikasih kartu buat shopping juga kamu bahagia."

"Iya sih. Ya, sama dikasih cogan, lebih bahagia," kekehnya membuatku tertawa geli.

Menjelang isya, kami selesai makan dan mengurus beberapa pekerjaan. Seperti biasa, Tiara mengantarku pulang. Tentu aku tidak bisa membawa mobilku sendiri ke rumah. Mas Adam bisa curiga. 

"Calon mantan suami lu kayanya udah balik, Mir."

"Iya, tuh. Tumben. Ya udah, aku masuk dulu. Makasih Tiara."

"Oke ibu Bos."

Aku turun dari mobil. Berjalan dengan langkah hati-hati. Supaya tidak menimbulkan suara. Baru sampai pintu aku mendengar suara desahan yang menggangu pendengaran. Pasti dua manusia yang tidak tahu itu sedang melakukan aneh-aneh.

"Mas, buka pintunya!"

"Se-sebentar."

"Cepetan. Aku cape nih."

"Kamu ngagetin aja, Mir," ujar Mas Adam membuka pintu. Dia tampak menghalangi aku masuk. Namun, dengan paksa aku menerobos. 

"Lagian, kenapa segala dikunci."

"Eh, ada Diana," sambungku saat melihat perempuan itu duduk dengan gugup. Kancing baju paling atas tampak terbuka. 

"Hey, Mi-mir. Aku numpang istirahat dulu. Jadi, mampir ke sini."

"Iya, gak papa. Kebetulan kamu ke sini. Aku jadi ada ide pemotretan untuk persyaratan lomba promosi panci bersama suamiku."

"Hah, maksudnya?"

"Kamu harus ikut, Din. Biar makin keren konsep promosi panciku."

Mas Adam dan Diana saling tatap. Mereka tampak tegang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Jika mereka pintar menorehkan rasa sakit, maka aku juga bisa dengan cerdas mempermalukan mereka di depan publik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status