Share

Yazid Kritis

Kami sampai di rumah sakit langsung menuju IGD, Yazid diperiksa dokter. 

"Demamnya tinggi sekali, Bu. Dirawat saja, ya!" ucap dokter di IGD. 

"Baik, Dok, lakukan yang terbaik untuk anak saya," ucapku pasrah. 

Yazidku lemas, matanya terpejam, apakah dia pingsan? Ya Allah, kenapa dengan putraku? Kulihat beberapa perawat mengerubungi tubuh mungil Yazid. 

Berbagai alat dipasang, Yazid tak mengeluarkan suara. Yazidku ada apa denganmu, Nak? 

"Bu, anak ibu kritis, harus dibawa keruangan ICU," terang Pak dokter. "Untuk kejelasan penyakit, nunggu hasil laboratorium," imbuh sang perawat. 

Duniaku runtuh mendengar penjelasan dokter. Kudekati tubuh mungil Yazid yang kini tak memakai baju, hanya popok bayi yang dipakai, berbagai alat menempel ditubuhnya. 

"Ya Allah, Nang, Yazid yang kuat, ya! Mama sama Bapak disini, Nang!" Tangisku luruh melihat anakku. 

"Dik, Yazid gimana? Ini tak beliin susu untuk Yazid." Mas Rahman menghampiriku membawakan sekotak susu formula untuk Yazid. 

"Mas, Tole kritis, Mas," lirihku. 

Mata Mas Rahman berembun melihat kondisi putranya yang tergolek dengan berbagai alat ditubuhnya. 

"Permisi, Pak, tolong administrasi pasien diurus dulu," seorang perawat menghampiri kami. 

"Oh, iya." Mas Rahman mengiyakan kalimat perawat. 

"Dik, Mas urus administrasi dulu, yang sabar." Mas Rahman menyerahkan susu formula kepadaku. Lalu dia pergi. 

Kudekati Yazid kubisikan panggilan ditelinga mungil itu, tak ada respon. Hatiku semakin sakit, nelangsa melihat putraku menderita. Jika boleh memilih, aku saja yang ada disana menggantikan mu, Nak. 

"Permisi, Bu, anaknya mau kami pindahkan ke ICU." Dua orang perawat menghampiriku, lalu tubuh mungil Yazid dipindahkan ke tempat tidur khusus. Yazidku dibawa pindah ruangan. Aku mengikuti kemana Yazid dibawa. Melangkah menyusuri lorong rumah sakit ini. Air mataku tak henti menetes rapalan do'a kubaca terus untuk kesembuhan Yazid. 

"Bu, maaf, ibu tunggu saja diluar!" kata si perawat. 

Yazidku dibawa ke ruangan ICU khusus bayi. Aku hanya bisa melihat lewat dinding kaca. Ada beberapa pasien bayi diruang itu. 

"Permisi, Bu, anaknya minum ASI atau susu formula?" Seorang perawat bertanya kepadaku. 

Aku menoleh terkejut. "Asi, dia Asi." Aku gugup. 

"Kalau gitu, tolong ASI-nya diperah, nanti bisa diberikan kepada saya, anak ibu dehidrasi. Jadi, tolong kalau bisa beri ASI yang cukup ya, Bu, agar kondisi anak ibu segera pulih." Wanita cantik masih muda ini memberiku arahan dengan ramah. "Saya dokter yang menangani anak ibu. Semangat, ya, Bu! Jangan putus asa! Saya tinggal dulu." Wanita muda ini berlalu setelah mengusap bahuku lembut. 

Aku segera mencari Mas Rahman, kuminta untuk dibelikan dot untuk menampung Asiku. Lorong demi lorong kulalui, kulihat suamiku berdiri melihat secarik kertas. 

"Mas!" Tolong Carikan dot. Yazid sudah pindah di ruang ICU khusus anak," ucapku pada Mas Rahman. 

"Ya wes, Mas pergi dulu." Wajah Mas Rahman sedih dan mendung. Tentu saja hati orangtua mana yang sanggup melihat anaknya sakit. 

Aku duduk termenung menunggu di ruang tunggu khusus ICU. Aku bingung, haruskah ku kabari keluarga besarku? Masalah biaya rumah sakit, tentusaja pasti dibantu oleh keluarga besarku. Tapi, aku nggak enak sama Mas Rahman, aku takut menyinggung perasaannya. Selama ini dia begitu bertanggung jawab atas diriku, bahkan meskipun buruh, Mas Rahman giat bekerja demi keluarga, hanya saja nasibnya belum seberuntung kakak iparnya yang serakah itu. 

Kebun bagian Mas Rahman dirampas paksa oleh kakak iparnya dengan alasan membayar hutang biaya aku operasi Caesar saat melahirkan Yazid. Padahal hutang kami hanya sepuluh juta. Namun kebun karet seluas tiga perempat hektar disita paksa olehnya. Kata Mbak Meri uang sepuluh juta itu beranak menjadi lima puluh juta selama setahun. Alhasil kebun karet kami direbut paksa. Sesuai ucapanya uang tak kenal saudara. 

"Dik, ini dotnya." Suara Mas Rahman mengejutkan ku. 

Langsung saja dot kucuci lalu ku bilas dengan air panas yang ada pada dispenser. Segera kuperah ASI ku. Sebotol berisi tiga puluh mili, ASI ini berhasil ku perah. Segera kuberikan kepada petugas ICU. 

"Mbak, ini Asi untuk Yazid," ucapku pada petugas penunggu ruang ICU ini. 

"Oh, terimakasih, Bu." Perawat cantik berseragam hijau ini tersenyum manis kepadaku. 

"Mbak, apa boleh saya menemani Yazid?" tanyaku berharap bisa masuk kedalam. 

Perawat ini tersenyum, "Boleh, Bu. Tapi, pakai baju khusus itu dulu, ya!" Mbak perawat menunjukkan baju yang tergantung di lemari khusus. 

Aku segera memakainya, lalu ikut kedalam. Mas Rahman menunggu dan melihat dari dinding kaca. 

Masuk ruangan ini, sangat dingin. Yazidku, tak berselimut. Air mata ini menetes. Perawat memberi label pada dot yang kuberikan. Lalu perlahan memasukan Asi itu kealat suntikan khusus dan di masukkan ke selang yang terpasang di hidung Yazid. Perlahan ASI itu menghilang masuk ketubuh Yazid melalui selang. 

Hati ini miris melihat keadaan Yazid. Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi pada anakku? Aku tak kuat keluar dari ruangan ini. 

Aku menangis di pelukan suamiku. Tak ada sanak saudara yang mendampingi kami disini. Hape jadul Mas Rahman berbunyi. Segera di angkat. 

"W*'alaikum salam, Bu Aisyah. Yazid, kritis Bu ... iya, oh, iya! Terimakasih lho, Bu atas bantuannya. Ya, w*'alaikum salam."

Aku mengusap perlahan air mata ini, "Mas aku mau ngasih kabar ibuku, boleh ya, Mas!" pintaku pada Mas Rahman. 

"Sebentar, Mas telpon Kang Handoyo dulu." Mas Rahman berusaha menghubungi kakaknya. 

"Nyambung, tapi nggak diangkat." Mas Rahman wajahnya bingung. 

"Sudahlah, Mas. Jangan hubungi dia. Mas nggak ingat apa kata istrinya tadi! Sini hapenya aku mau nelpon ibu," ucapku sambil menangis. 

Segera kuhubungi keluargaku, mengabarkan kondisi Yazid. Tangisku pecah saat menelpon ibu. 

"Iya, Rum, sudah, jangan nangis. Ibu dan semuanya kerumah sakit sekarang. Kamu sudah makan? Bawa ganti enggak? Kalau enggak biar ibu bawakan. Yang sabar, Nduk. Ibu segera kesana." 

Telpon terputus. Taklama kemudian Bu Aisyah datang, menjenguk kerumah sakit bersama keluarganya. 

Aku menangis dalam pelukan Bu Aisyah. Bahkan disaat seperti ini, saudara kandung suamiku tak peduli. 

"Handoyo sudah dikabari?" tanya Bu Aisyah setelah tangisku reda. 

"Saya coba telpon nggak diangkat, Bu." Mas Rahman lemas. 

"Ya Allah, kebangetan banget itu kakakmu! Biar nanti saya yang bicara sama mereka!" Bu Aisyah geram. 

"Nggak usahlah Bu, kami nggak mau ngusik kehidupan Kang Handoyo dan Mbak Meri. Cukup sudah penghinaan yang diucapkan Mbak Meri pada kami," kenangku sedih. "Mereka tak menganggap kami ini saudara, Bu. Kami ini cuma orang miskin beda kasta dengan mereka," tangisku kembali muncul. 

"Astaghfirullah halazim! Benar-benar keterlaluan kakak iparmu itu! Biarkan Allah yang negur mereka!" Bu Aisyah geram. 

Saat kami sedang ngobrol dengan keluarga Bu Aisyah, namaku dipanggil. 

"Keluarga pasien Yazid! Di tunggu diruangan dokter!" panggil seorang perawat. 

Ada apa, ya? Bukanya barusan aku sudah kasih Yazid ASI, apa ASI-nya kurang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status