Share

Kebohongan Meri

Mata Mbak Meri mendadak tak memancarkan kesombongannya itu. 

"Kenapa diam, Mbak? Masih mau berkoar membiayai uang rumah sakit anakku, kalau memang Mbak yang bayar, taulah habis berapa," ucapku sengaja menyudutkan Mbak Meri. 

Mbak Meri gelagapan menanggapi ucapanku, jelas saja, orang dia nggak bantu sama sekali kok. 

"Kamu ini, ngomong apa sih?" Mbak Meri mencebik bibirnya tak bisa menjawab ucapanku. 

"Sudahlah, Rum. Kamu masuk rumah saja. Nggak usah diladeni si Meri," ucap Mak Odah mengajakku masuk rumah. 

"Bu Maryam, tolong belanjaan dari hamba Allah itu diurus, biarkan yang di plastik merah nggak usah dibawa masuk biar aja disitu." Aku melangkah gontai masuk rumah. 

"Hei, Rum! Dasar songong! Madesu nggak tau diri! Dibantu malah begini. Nggak tau terimakasih!" Mbak Meri mencak-mencak. 

Aku membalik badan. "Aku memang miskin, tapi bukan berarti kau bebas menghinaku. Pergi kau dari sini sekarang!" Ku usir sekalian Mbak Meri. 

Dada ini masih nyeri akibat hinaannya kemarin. 

"Lihat saja kamu, Rum, aku nggak akan membantumu lagi!" Mbak Meri mencak-mencak lalu pergi membawa belanjaan yang dia bawa tadi. 

Aku puas. Biarlah sekalian ku tolak saja pemberian darinya. Aku nggak mau buntutnya panjang dikemudian hari. 

Acara kirim doa untuk Yazid berlangsung khidmad, bahkan tanpa kehadiran Mbak Meri, semua bisa berjalan lancar. 

_________ 

Kini, hari-hariku terasa sepi tanpa kehadiran Yazid. Kudekap baju bekas dipakai Yazid terakhir kalinya. Baju mungil ini, kenangan Yazid untukku. 

"Nang, Mama berusaha ikhlas melepas mu, Nang. Do'akan Mama kuat, ya!" ucapku pada nisan makam putraku. 

"Pulang, yuk, udah sore. Besok kesini lagi," ajak Mas Rahman. 

Aku mengangguk, kami pulang dari makam. Yazidku tetap hidup di hati ini. 

Malam harinya, Mas Handoyo datang kerumah. 

"Man, istrimu ngomong apa sama Mbakyumu Meri pas acara masak-masak? Mbak mu mencak-mencak dirumah. Aku kena sasaran," Kang Handoyo langsung menodong pertanyaan pada suamiku. 

Aku mendengar percakapan mereka, dada ini masih sakit rasanya. Aku keluar membawa dua gelas kopi untuk suamiku dan kakaknya. 

"Kenapa Kang? Kakang nggak trima soal ucapanku ke Mbak Meri?" Langsung saja aku nimbrung percakapan mereka. Wajah Kang Handoyo mendadak berubah. 

"Kalau istrimu nggak kelewatan, aku nggak akan begitu," bibirku maju lima senti. 

"Kamu jangan ngelunjak sama orang tua, Rum. Ajari istrimu itu adab, Man!" Suara Kang Handoyo naik. 

Aku berdiri seketika. "Kakang yang harus ngajari Mbak Meri adab. Selama ini dia selalu menghina kami, merendahkan kami. Wajar saja aku marah sama dia, setelah apa yang dia lakukan kepadaku," ucapku lantang. Dada ini naik turun kesal bukan kepalang sama kakak ipar satu ini. 

"Kamu ini, sudah ditolong nggak tau terimakasih! Bukankah Meri memberimu uang untuk biaya rumah sakit anakmu kemarin. Meri bilang ia memberimu cuma-cuma, saat kalian datang kerumah!" Kang Handoyo berucap dengan emosi. 

Pandai sekali Mbak Meri mengarang cerita. 

"Kalau istrimu itu memberi kami uang, nggak mungkin aku minta bantuan sama Bu Aisyah. Kamu itu sudah ditipu istrimu sendiri!" Suaraku tak kalah lantang. Sakit hati ini sakit. 

"Dik, sudah, Dik," Mas Rahman memelukku. 

Aku duduk sambil berlinang air mata. Kang Handoyo masih mendelik. 

"Kang, pagi itu aku memang kerumah sampean, niatnya mau minjam uang sama minjam motor. Tapi bukan pinjaman atau pemberian bantuan yang kami dapat. Malah cacian, hinaan yang diberikan oleh Mbak Meri. Bahkan Mbak Meri bilang hal yang sangat melukai hati kami, Kang," jelas Mas Rahman. "Kalau Mbak Meri kasih kami uang, nggak mungkin kami minta bantuan Bu Aisyah, seperti kata istriku. Mbak Meri bilang uang nggak kenal saudara, Kang," imbuh Mas Rahman. 

"Nggak mungkin Meri bilang begitu! Dasar nggak tau terimakasih. Sudah di bantu nggak tau diri!" Kang Handoyo marah lalu pergi dari sini. 

Ya Allah, sihir apa yang Mbak Meri pakai untuk menundukkan Kang Handoyo sampai-sampai Kang Handoyo nggak percaya pada kami. 

_________

Hari berganti, Alhamdulillah Mas Rahman dapat pekerjaan di kebun karet milik saudara Bu Aisyah. Aku ikut membantu karena dirumah nggak ada kerjaan. 

"Mas, Mbak Meri kelewatan banget ya, sampai-sampai dia tega mengadu domba kita." Aku istirahat usai bekerja. 

"Entahlah, Mas juga nggak ngerti. Mas bahkan nggak kenal sama sikap Kang Handoyo sekarang. Dia berubah setelah menikah sama Mbak Meri. Bahkan kata Emak, Kang Handoyo nggak merespon pas Emak kesana kemarin," kisah Mas Rahman. 

"Biarlah, Dik. Harta membuat mereka berubah. Yuk pulang, sudah siang," ajak Mas Rahman. 

Kami pulang, Mas Rahman berhenti di sebuah warung membeli bensin. Kebetulan Mbak Meri juga disana. 

"Wah-wah, keluarga madesu romantis, keladang berdua," cibir Mbak Meri terseyum mengejek. 

Aku dan Mas Rahman tak menggubris cibiran itu. 

"Gimana, semalam kena semprot 'kan dari Mas Handoyo? Emang enak!" cibirnya lagi. 

"Maksud Mbak Meri apa ngarang cerita sama Kang Handoyo? Mbak mau fitnah dan adu domba kami dengan Mas Handoyo?" Kujawab saja Mbak Meri. 

"Sengaja! Aku sengaja ngarang cerita biar Kang Handoyo benci sama kalian. Dan tujuanku berhasil 'kan? Kang Handoyo sekarang benci sama kalian. Keluarga madesu seperti kalian ini, harus disingkirkan jauh-jauh dari keluargaku," pongah Mbak Meri. 

"Apa? Jadi semua yang kamu katakan itu bohong! Keterlaluan kamu Meer!" Suara tegas dan lantang tiba-tiba muncul. 

Aku menoleh seketika kearah suara itu. Sosok laki-laki berbaju khusus kerja berdiri terengah-engah, sepeda motor terparkir di sebelahnya. Dia Kang Handoyo. 

"Jadi kamu ngarang cerita, hah?!" Kang Handoyo emosi. 

"Kau sengaja bikin aku dan Rahman bermusuhan? Benar-benar licik kamu, Mer. Pulang kamu! Kita selesaikan urusan ini dirumah. Pulang sekarang!" bentak Kang Handoyo bengis pada istrinya-Mbak Meri. 

Wajah Mbak Meri pucat pasi, sementara Mas Rahman biasa saja tak merespon kakaknya. 

"Mas, jangan marah-marah, malu," bujuk Mbak Meri pada suaminya. 

"Pulang sekarang juga!" Lagi suara Kang Handoyo menggelegar. 

Banyak pasang mata melihat kearah Kang Handoyo. Aku diam menyaksikan adegan didepanku. 

Tangan Kang Handoyo kelihatan mengepal, sorot matanya tajam ke arah Mbak Meri. Sementara Mbak Meri pucat pasi menuju motor maticnya lalu pergi. 

Mas Rahman segera membayar bensin yang dibelinya, lalu mengajakku pulang. 

"Man, tunggu!" Kang Handoyo mencegat motor kami. 

"Kenapa, Kang, maaf aku mau pulang, Arum sudah lapar," ucap suamiku. 

Aku tahu Mas Rahman pasti malas menanggapi kakaknya ini. 

"Nanti sore tolong kerumah, ya!" Kulihat wajah Kang Handoyo memelas. 

Motor butut suamiku masih berbunyi. "Maaf, Kang, nanti sore aku mau ziarah ke makam anakku," tolak suamiku halus. 

"Kalau nggak bisa sore, malam saja, Man." Lagi Kang Handoyo membujuk suamiku. 

Ada apa ini? Apakah Kang Handoyo menyesal dengan kejadian semalam? Kenapa dia bersikeras ingin suamiku datang ke rumahnya? 

"Tolong, Man, datang kerumah nanti malam. Kamu juga, ya, Rum. Mau 'kan?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status