Share

Saudara Perhitungan

Ambulan meraung memecah kesunyian malam. Hatiku semakin lara mendengarnya. 

Jasad Yazidku di gendongan Simbah Kakungnya. Aku menangis sepanjang jalan dalam dekapan suamiku. Hati ini menyesal kehilangan putraku. 

Mobil memasuki halaman rumah papan mungilku, aku disambut oleh tetangga. Aku tak kuasa berdiri. Tubuhku diangkat oleh kakakku lalu diletakkan di kamarku. 

Kamar ini penuh kenangan Yazid. Guling ini, bantal ini, selimut ini, semua ada Yazid. 

Aku menagis menumpahkan semua yang ada didada ini. 

"Sabar, Mbak Arum, sabar! Ikhlaskan anakmu, ikhlaskan." Mak Odah menasihatiku. 

Bu Aisyah muncul dipintu. Beliau langsung masuk memelukku. Aku menagis mengadu kehilangan Yazid. 

"Rum, kematian itu pasti. Anakmu telah menepati janjinya kepada Allah, dia kembali pada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ikhlaskan, Rum, ikhlaskan. Jangan kau tangisi kepergiannya, kasihan anakmu. Sekarang minumlah dulu, biar kamu tenang." Bu Aisyah memberiku air minum. 

Alhamdulillah aku lumayan tenang setelah minum air ini. Rasa lelah dan capek menyelimuti seluruh tubuh ini. Kaki dan tanganku dipijit oleh beberapa tetangga dekat. Aku nggak tau ibuku kemana. Mata ini lelah menangis, lama-lama aku lelap. 

________ 

Pagi ini aku terbangun tanpa tangisan Yazid. Aku kaget bukan main, Yazidku kemana? 

"Yazid! Kamu dimana, Nang?" Aku melompat dari tempat tidur keluar mencari Yazid.  

Betapa terkejutnya aku melihat meja yang ada tepat dihadapanku ini. 

Lahaulawalaquwata illabillah ... tubuhku luruh menatap meja itu. Itu jasad putraku. Dadaku sesak melihat pemandangan ini. Aku tak sanggup bicara. 

Aku terisak dipeluk ibuku dan istrinya kakakku-Mbak Anisa. 

"Sabar, Rum, sabar!" Aku dituntun ke kamar lagi. 

Isak tangisku menjadi. "Aku ingin melihat anakku," ucapku terbata. 

"Boleh, janji jangan nangis. Jangan meneteskan air mata!" Kata Mas Rahman. 

"Ya, aku janji, aku kuat. Aku ingin mencium Yazid. Dia anakku!" Ku tatap lekat Mas Rahman. 

"Baik, harus kuat, jangan nangis. Kalo nangis nggak boleh." Mas Rahman berdiri di depanku. 

Aku bangkit perlahan berjalan menuju meja dimana putraku berbaring. Hati ini hancur melihat sosok terselimuti kain jarik. 

Kubuka perlahan penutup jasad putraku. Wajahnya teduh, ada senyuman diwajahnya. Ia seperti sedang tidur lelap. Kuciumi wajah ini untuk terakhir kalinya. Wajah yang selama ini menghiasi hari-hariku, wajah yang selalu tersenyum ceria kepadaku. Kulampiaskan semua kasih sayang ini kepadanya untuk terakhir kalinya. 

Aku berdiri menatap wajah yang kini tertidur pulas. Tubuhku lunglai, beruntung Mas Rahman menangkap tubuh ini. Aku lemas tak berdaya. Mas Rahman membawaku kekamar. Aku menangis lagi. Aku bersama suamiku dikamar.

"Lebay banget sih! Anak mati ditangisi segitunya. Kamu harusnya bersyukur anakmu mati, coba kalo masih hidup? Berapa duit yang dipake buat berobat? Mikir dong! Jangan cuma nangis digedein!" cibir seseorang diambang pintu. Suara yang sangat ku kenal. Suara dari makhluk l*kn*t tau tahu diri. 

"Apa hak mu komentar disini? Kamu nggak ngrasain apa yang ku rasa. Coba kamu jadi aku!" Emosiku terpancing seketika. 

"Aku ngomong apa adanya, eh, orang mati tuh, cepetan dikubur, bukannya ditangisin nggak jelas begitu. Ditangisi sampe air mata darah, nggak bakal idup lagi, tu anak, dasar madesu! Udah masadepan suram, b*go pula!" Mbak Meri mencebikkan bibirnya.

"Bisa nggak sih nggak bikin ulah disini? Pergi kamu, Mbak!" usir Mas Rahman setengah menyentak. 

"Nggak usah ngegas juga kali," cibir Mbak Meri lalu ia pergi. 

__________ 

Hampir seminggu sudah putraku pergi untuk selamanya, hari ini para tetangga membantu masak untuk acara 7 hari alarhum putraku. 

"Rum, jangan nglamun, Rum, makan dulu nanti kamu sakit," Mak Odah mendekatiku. 

Setelah keluarga besarku dan keluarga Mas Rahman pulang, hanya Mak Odah dan tetangga yang menghiburku. 

Aku duduk di luar, dekat pohon jambu menyaksikan kesibukan para tetangga masak. 

"Assalamualaikum," sapa Bu Aisyah datang. Beliau datang membawa belanjaan banyak. 

"W*'alaikum salam, Ya Allah Bu Aisyah, apa yang Ibu bawa ini? Banyak sekali! Gimana aku membalasnya?" Suaraku serak tertahan.

Bu Aisyah tersenyum teduh sekali. "Arum, nggak usah dipikirin. Ini semua saya sedekahkan untuk acara selamatan anakmu, tolong diterima, ya!" Bu Aisyah tersenyum lagi. 

Aku hampir menangis melihat belanjaan banyak, beras dua karung, ayam lima ekor, mie kuning, minyak satu derigen lima kiloan, Ya Allah Bu Aisyah, mulianya hatimu. 

"Terimakasih banyak, bantuan dari ibu saya terima, Bu!" Ku peluk wanita berjilbab lebar ini. 

"Arum, maaf, saya nggak bisa bantuin masak, hari ini saya mau pergi ke acara saudara, saya pamit, ya! Kamu yang sabar! Insyaallah semua ada hikmahnya," ucap Bu Aisyah. 

"Walah, Bu! Makan jajan dulu ini, ada bakwan," tawar Mak Odah. 

Namun Bu Aisyah kekeh pulang, akhirnya Mak Odah membungkus kan beberapa jajanan yang sudah matang untuk Bu Aisyah, lalu beliau pulang. 

"Ya Allah, Rum, rejeki untuk selamatan Yazid, mengalir, Masya Allah!" Teh Lilis sampai terheran melihat belanjaan banyak. 

"Hei, hei! Udah rame aja disini! Maaf, sif siang aku datangnya telat!" Mbak Meri datang sok heboh. Dia datang menghampiriku. "Eh, Rum, ini belanjaanku, jangan lupa di catet! Ada minyak, gula, mie, catet semuanya! Awas aja kalo mbalikin nggak sesuai!" Mata Mbak Meri menyipit. Sebuah plastik berisi belanjaan diletakkan di dekat kakiku. 

"Ya ampun, Mer! Sama adik sendiri itungan amat! Harusnya kamu tuh bantu adikmu lagi susah," nasihat Mak Odah. 

Mbak Meri mendelik, "Apa? Adik? Ih, sori! Aku nggak level punya adik kaya dia, rakyat jelata, kamseupay! Yang sodaraan bukan aku, tapi Mas Handoyo sama si Rahman pemalas itu," cibir Mbak Meri bersedekap dada sombong. 

Astaghfirullah halazim! Banyak diantara tetanggaku yang ada disini juga ikut beristighfar. 

"Eh, asal kalian semua tau ya, sodara itu orang yang ada hubungan darah. Dan satu lagi, uang nggak kenal saudara!" Mbak Meri sok jumawa.  

Aku berdiri malas. Kubenahi kain sarung yang kupakai. "Bawa pulang aja, Mbak belanjaanmu, aku nggak butuh! Insyaallah untuk selamatan anakku, semuanya cukup, bahkan sisa," ucapku melirik malas wajah glowing Mbak Meri. 

Biar saja sekalian ku tolak belanjaan ini. Aku malas berurusan dengan orang sombong. 

"Hei, dasar madesu nggak tau diri! Di bantuin malah songong!" Mbak Meri berkacak pinggang. "Udah bagus aku kesini bawa belanjaan, jangan sok nolak deh! Nggak ingat kemarin ngemis dirumahku minjem biaya rumah sakit, hah?!" Suara Mbak Meri naik beberapa oktaf. 

Aku berhadapan langsung dengan Mbak Meri. "Ya, kemarin kami memang mengemis ke rumahmu, dan kau hina habis-habisan kami. Bukanya pinjaman yang kami dapat, malah cacian dan perlakuan kasar darimu!" Biar, biar saja semua orang tau. 

"Heh, jangan asal bicara kamu! Siapa yang bayar biaya rumah sakit kalau bukan uang suamiku, hah?!" Mbak Meri kelihatan gusar. 

"Apa? Uang suammimu? Jangan ngarang! Aku ke rumah sakit pakai motor Bu Aisyah, dan uang arisan bulanan yang ku minta. Bahkan kau nggak menjenguk anakku di rumah sakit." Ku ungkap semuanya disini. 

Wajah Mbak Meri berubah seketika. 

"Iya, aku tahu ceritanya, kok. Bu Aisyah yang bilang pas pulang pengajian dari rumah Bu Ani. Nggak nyangka Mbak Meri itu jahat banget sama saudara." Bu Maryam ikut nimbrung. 

"Masih mau ngaku-ngaku?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status