POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
"Mbak Arum, Yazid bawa saja ke rumah sakit, ya! Saya takut dia kenapa-kenapa. Sudah saya beri obat, panasnya nggak reda-reda." Bagai disambar petir. Kabar dari bidan Esti membuatku bingung. Yazid anak ku yang masih berumur 18 bulan sedang demam tinggi. "Dari kemarin panasnya nggak turun, ke dokter spesialis anak aja, sekalian cek lab, biar tau Yazid sakit apa," ucap Bidan Esti lagi. Lahaulawalaquwata illabillah ... duniaku rasanya runtuh mendengar ucapan Bu Bidan. "Cepat bawa ke rumah sakit sekarang, saya buatkan surat rujukan," ucap Bu bidan Esti lagi. Kulihat Bu Esti menulis pada selembar kertas lalu dimasukkan ke amplop. "Tunjukan surat ini ke IGD biar Yazid cepat ditangani. Cepat, Man bawa anakmu segera!" Bu Esti menyerahkan amplop pada suamiku. Aku menggendong tubuh mungil putra sulung ku yang demam tinggi, Bidan Esti membantuku, Yazid masih merintih namun matanya terpejam. Keningnya ditempel kompres penurun panas. "Sabar ya, Nang! Kita cari obat." Air mataku mulai menete
Kami sampai di rumah sakit langsung menuju IGD, Yazid diperiksa dokter. "Demamnya tinggi sekali, Bu. Dirawat saja, ya!" ucap dokter di IGD. "Baik, Dok, lakukan yang terbaik untuk anak saya," ucapku pasrah. Yazidku lemas, matanya terpejam, apakah dia pingsan? Ya Allah, kenapa dengan putraku? Kulihat beberapa perawat mengerubungi tubuh mungil Yazid. Berbagai alat dipasang, Yazid tak mengeluarkan suara. Yazidku ada apa denganmu, Nak? "Bu, anak ibu kritis, harus dibawa keruangan ICU," terang Pak dokter. "Untuk kejelasan penyakit, nunggu hasil laboratorium," imbuh sang perawat. Duniaku runtuh mendengar penjelasan dokter. Kudekati tubuh mungil Yazid yang kini tak memakai baju, hanya popok bayi yang dipakai, berbagai alat menempel ditubuhnya. "Ya Allah, Nang, Yazid yang kuat, ya! Mama sama Bapak disini, Nang!" Tangisku luruh melihat anakku. "Dik, Yazid gimana? Ini tak beliin susu untuk Yazid." Mas Rahman menghampiriku membawakan sekotak susu formula untuk Yazid. "Mas, Tole kritis, M
"Mas, sampean apa saya yang nemui dokter?" tanyaku pada Mas Rahman. "Aku aja, Dik," jawabnya. Lalu bangkit menuju ruangan dokter. Hatiku deg degan bukan main. Semoga tak ada yang buruk dengan putraku. "Rum, nanti ibu kabarkan sama jama'ah pengajian, biar mereka mendoakan Yazid. Nanti malam, acara yasinan di rumah Bu Ani," ucap Bu Aisyah. Tanganku digenggam erat. Bu Aisyah memang sangat baik, terlebih terhadap keluargaku. Aku beruntung mengenal beliau. Pintu ruangan Dokter terbuka, aku menoleh spontan. Mas Rahman keluar dengan wajah sedih. Ada apa ini? "Mas, Yazid baik-baik saja 'kan?" Aku berdiri menghampiri suamiku. "Sabar, Dik." Mas Rahman memelukku. Aku merasa ada yang nggak beres Mas Rahman mengurai pelukannya. "Dik, Yazid kena radang selaput otak, kata dokter harus dirujuk ke rumah sakit umum daerah," lirih suamiku. "Pihak rumah sakit masih ngirim surat rujukan online keberapa rumah sakit." Mas Rahman lesu. Hancur hatiku mendengar kabar ini. Hidupku seakan tak bermakna m
Ambulan meraung memecah kesunyian malam. Hatiku semakin lara mendengarnya. Jasad Yazidku di gendongan Simbah Kakungnya. Aku menangis sepanjang jalan dalam dekapan suamiku. Hati ini menyesal kehilangan putraku. Mobil memasuki halaman rumah papan mungilku, aku disambut oleh tetangga. Aku tak kuasa berdiri. Tubuhku diangkat oleh kakakku lalu diletakkan di kamarku. Kamar ini penuh kenangan Yazid. Guling ini, bantal ini, selimut ini, semua ada Yazid. Aku menagis menumpahkan semua yang ada didada ini. "Sabar, Mbak Arum, sabar! Ikhlaskan anakmu, ikhlaskan." Mak Odah menasihatiku. Bu Aisyah muncul dipintu. Beliau langsung masuk memelukku. Aku menagis mengadu kehilangan Yazid. "Rum, kematian itu pasti. Anakmu telah menepati janjinya kepada Allah, dia kembali pada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ikhlaskan, Rum, ikhlaskan. Jangan kau tangisi kepergiannya, kasihan anakmu. Sekarang minumlah dulu, biar kamu tenang." Bu Aisyah memberiku air minum. Alhamdulillah aku lumayan tenang set
Mata Mbak Meri mendadak tak memancarkan kesombongannya itu. "Kenapa diam, Mbak? Masih mau berkoar membiayai uang rumah sakit anakku, kalau memang Mbak yang bayar, taulah habis berapa," ucapku sengaja menyudutkan Mbak Meri. Mbak Meri gelagapan menanggapi ucapanku, jelas saja, orang dia nggak bantu sama sekali kok. "Kamu ini, ngomong apa sih?" Mbak Meri mencebik bibirnya tak bisa menjawab ucapanku. "Sudahlah, Rum. Kamu masuk rumah saja. Nggak usah diladeni si Meri," ucap Mak Odah mengajakku masuk rumah. "Bu Maryam, tolong belanjaan dari hamba Allah itu diurus, biarkan yang di plastik merah nggak usah dibawa masuk biar aja disitu." Aku melangkah gontai masuk rumah. "Hei, Rum! Dasar songong! Madesu nggak tau diri! Dibantu malah begini. Nggak tau terimakasih!" Mbak Meri mencak-mencak. Aku membalik badan. "Aku memang miskin, tapi bukan berarti kau bebas menghinaku. Pergi kau dari sini sekarang!" Ku usir sekalian Mbak Meri. Dada ini masih nyeri akibat hinaannya kemarin. "Lihat saja