Share

Ikhlaskan

"Mas, sampean apa saya yang nemui dokter?" tanyaku pada Mas Rahman. 

"Aku aja, Dik," jawabnya. Lalu bangkit menuju ruangan dokter. 

Hatiku deg degan bukan main. Semoga tak ada yang buruk dengan putraku. 

"Rum, nanti ibu kabarkan sama jama'ah pengajian, biar mereka mendoakan Yazid. Nanti malam, acara yasinan di rumah Bu Ani," ucap Bu Aisyah. Tanganku digenggam erat. 

Bu Aisyah memang sangat baik, terlebih terhadap keluargaku. Aku beruntung mengenal beliau. 

Pintu ruangan Dokter terbuka, aku menoleh spontan. Mas Rahman keluar dengan wajah sedih. Ada apa ini? 

"Mas, Yazid baik-baik saja 'kan?" Aku berdiri menghampiri suamiku. 

"Sabar, Dik." Mas Rahman memelukku. Aku merasa ada yang nggak beres Mas Rahman mengurai pelukannya. 

"Dik, Yazid kena radang selaput otak, kata dokter harus dirujuk ke rumah sakit umum daerah," lirih suamiku. "Pihak rumah sakit masih ngirim surat rujukan online keberapa rumah sakit." Mas Rahman lesu. 

Hancur hatiku mendengar kabar ini. Hidupku seakan tak bermakna menghadapi kenyataan sepahit ini. Yazidku, kenapa harus kamu Nang? Tubuhku lemas, lunglai seketika, pandanganku hampir kabur. 

"Istighfar, Rum, Istighfar!" Suara Bu Aisyah ditelinga ini. 

Radang selaput otak bukan penyakit sepele. Ya Allah, kuatkan Yazid ya Allah. 

"Bu, Yazid, Bu, Yazid." Aku menangis menghadapi kenyataan hidup ini. 

"Sabar, Rum, sabar, kita doakan Yazid, ya!" 

"Bu, tolong ASI-nya diperah lagi, ya! Kondisi adek bayinya semakin menurun, dibantu ASI, ya! Semoga lekas stabil agar bisa dirujuk ke rumah sakit lain," terang seorang perawat wanita kepadaku. Ia menyerahkan dot bertuliskan nama Yazid. 

Aku segera menyeka air mata ini, aku harus memerah ASI, untuk Yazid, demi Yazid. 

"Mas aku mau cuci tangan dulu." Aku bangkit meskipun lemas. Berjalan ke toilet mencuci tangan, lalu kuperah ASI ini. 

Bu Aisyah pamit pulang. Tinggal aku dan suamiku saja disini. Mas Rahman mengirim ASI ke petugas ICU. Kupandangi Yazid dari balik dinding kaca. 

Hingga sore menjelang Maghrib, kami masih berdua saja. Saudara Mas Rahman tak kesini. 

"Arum!" Suara familiar terdengar ditelinga. Aku menoleh, ternyata ibu, bapak, dan para kakakku yang datang. 

Aku berhambur memeluk ibu menangis menumpahkan segala sesak didada ini. Mas Rahman juga, ia dipeluk kakak-kakakku. 

"Yazid harus dirujuk ke rumah sakit umum," ucapku sambil menangis. "Yazid kena radang selaput otak, Bu!" tangisku kembali pecah. 

Ibu menenangkan aku. Menguatkan jiwa yang rapuh ini. 

"Bu, Arum! Bisa ikut saya sebentar?" Seorang perawat cantik menghampiriku. 

"Iya, Mbak, saya bisa." Aku bangkit lalu ikut Mbak perawat. 

"Pakai bajunya, Bu!" kata Mbak perawat. 

Aku menurut lalu memakai baju khusus, aku masuk ruang ICU. 

Suara mesin-mesin alat kesehatan saling bersahutan. 

"Bu, kami minta, dampingi putranya, ya! Sejak tadi denyut jantungnya melemah. Semoga dengan kehadiran Ibu disini, bisa membuat dedek bayinya semangat." Perawat itu menyarankan aku untuk menemani Yazid. 

Yazid diam. "Nang, kamu bisa dengar Mama, Nang? Ini Mama, Le. Yazid kuat, ya! Yazid anak Mama. Jangan nyerah sayang." Air mataku menetes membasahi tempat tidur Yazid. 

"Yaa Nabii salam 'alaikaa, Ya rosul salam salam 'alaika, ya habib salam 'alaika, sholawattulloh 'alaika," Aku bersholawat untuk Yazid. Sholawat yang selalu membuat Yazid tenang jika sedang rewel. "Nang, Yazid, sembuh ya, Le! Nanti Mama buatin among-among kalau Yazid sembuh." Kuajak berdialog buah hatiku yang kini tergolek tak berdaya. Kucium tangan mungilnya yang tak diinfus. 

Ya Allah sakit hati ini melihat putraku. Tolong Yazid Ya Allah. Samar kulihat mata Yazid bergerak, seperti terbuka sedikit. Hatiku senang bukan main. 

"Le, kuat ya, Nang! Mama percaya Yazid bisa." Terus kuberi sugesti pada Yazid. 

Sepertinya Maghrib sudah masuk, aku meminta pada Mbak perawat untuk sholat dulu. 

"Yazid, Mama sholat dulu, ya! Yazid gantian ditungguin Bapak, ya, Le." Pamitku pada Yazid. Kuciumi kening dan tangan mungil putraku. 

Aku gegas berjalan meninggalkan ruangan ini. Mas Rahman memapakku di depan pintu. 

"Tolong gantian temenin Yazid, Mas, aku mau sholat." 

"Ibu boleh masuk enggak, Rum? Ibu pingin liat Yazid." Ibu memelas. 

Kutanyakan pada petugas yang berjaga. Boleh katanya tapi sebentar saja. Ibuku masuk ke ruang ICU bersama Mas Rahman. Aku sholat Maghrib. 

Selesai sholat aku menuju ruang ICU lagi. 

"Dik, Yazid mau dibawa keluar, dirujuk ke rumah sakit A," ucap Mas Rahman. 

Benar, kulihat dari dinding kaca, beberapa perawat mengelilingi Yazid. 

"Bu, siap-siap, adik bayinya mau dirujuk. Sebentar lagi kita berangkat," ucap seorang perawat wanita. Tangannya mendekap map. Entah apa isinya. 

"Kamu sama Rahman ikut ambulan, bapak dan yang lain ngikutin dari belakang, pakai mobil Mas mu," ucap Bapakku. 

Yazidku keluar dari ruangan ICU, didorong cepat oleh beberapa perawat menuju keluar rumah sakit ini. 

"Pastikan denyut jantungnya stabil, kalau lemah, pasien gagal diberangkatkan." Kudengar percakapan serius diantara para perawat ini. 

Yazid mendekati ambulan. Niiiiit! Suara alat kesehatan yang terhubung pada tubuh Yazid berbunyi. Semua perawat panik. 

"Panggil dokter!" teriak perawat yang lain. 

Aku berusaha mendekati Yazid, tapi dicegah. 

"Yazidku!" Aku menangis hati ini merasakan sesuatu yang tak bisa ku ungkapkan. 

"Tolong tenang, Bu. Biar ditangani dokter dulu." Seorang perawat berkata demikian kepadaku. 

Yazidku dibawa ke IGD entah diapakan dia. Semua perawat sibuk mengurusi Yazid. Aku luruh sambil berteriak anakku! Anakku! 

Aku takut terjadi sesuatu pada Yazid. Aku takut kehilangannya, dia putraku satu-satunya. 

"Maaf, Pak, Bu. Adik Yazid sudah pulang. Yang sabar, ya!" 

Kalimat itu muncul membuat duniaku gelap seketika. 

"Arum, Arum!" Samar kudengar namaku dipanggil. Mataku terbuka. Kepalaku pusing. 

"Yazid!" ucapku. Aku ingat Yazid. Aku dipeluk Ibu. Ternyata aku berbaring di brankar perawatan. 

"Rum, yang sabar. Ikhlaskan anakmu, Nduk." Ibu mengusapku penuh kasih. 

Aku menangis meronta memanggil nama Yazid. Kenapa kamu ninggalin Mama Dek, Mama masih mau nyusuin kamu! Nyuapin kamu! Ngajak main kamu! Kalau kamu pergi, siapa yang minum air susu ini Dek? 

Tangisku pecah di ruangan ini. Rasanya tak percaya aku telah kehilangan buah hatiku. 

"Kenapa harus Yazid, Ya Allah, kenapa harus Yazid?" 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Kenapa harus yajid
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status