Share

IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK
IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK
Penulis: Siti Aisyah

Penolakan

"Nggak bisa, Bu. Aku dan Mas Wirya sibuk,"

Aku hanya bisa menghela napas berat mendengar ucapan Nella saat aku mengutarakan maksudku untuk ikut tinggal di rumahnya yang sangat besar itu.

"Ibu tidak akan merepotkanmu, Nak. Ibu masih bisa melakukan apa-apa sendiri." Aku mencoba menawar penolakannya berharap ia berubah pikiran.

Setelah suamiku meninggal, aku tinggal sendiri. Kesepian, tiada yang menemani. Anakku yang berjumlah tiga sudah menikah dan punya kehidupan masing-masing. Apa aku salah jika ingin ikut dengan salah satu dari mereka?

"Enggak bisa, Bu. Lagi pula anak Ibu bukan hanya aku. Ada Mas Erwin juga," imbuh Nella dengan mata tetap fokus pada layar ponsel di depannya.

Aku memejamkan mata. Anak perempuan yang selama ini kumanja dan kubanggakan sama sekali tidak peduli denganku. Apakah dia tidak ingat, kios yang menjual ponsel beserta aksesorisnya serta pulsa dari semua operator itu modalnya dariku dengan menjual sawah?

"Sudah, ya, Bu. Sebaiknya Ibu ikut Mas Erwin saja. Dia anak laki-laki. Dia yang lebih punya kewajiban menampung Ibu sekarang." Anak perempuan yang telah memberiku dua orang cucu itu menatapku sebentar lalu kembali fokus dengan ponselnya.

Benarkah seperti itu? Anak laki-laki lebih berkewajiban merawat ibunya daripada anak perempuan?

Dengan langkah gontai aku meninggalkan rumah mewah berlantai dua itu. Kuurut leherku karena kerongkongan yang terasa kering. Perutku berbunyi seolah cacing-cacing di dalam sedang protes tidak ada makanan yang masuk. Tadi Nella tidak menyuguhkan minuman apalagi makanan.

Air mataku mengalir seiring gerimis yang mulai membasahi bumi. Dadaku terasa sesak kala ingat betapa cueknya Nella pada wanita yang sudah melahirkannya ini. Tidak adakah rasa rindu di hatinya setelah sekian lama tidak bertemu? Oh, bahkan ia tidak menyalamiku apalagi me me lukku saat aku datang tadi seolah ibunya ini adalah orang asing.

Dengan menaiki ojek aku sudah sampai di tempat tinggal Erwin satu jam kemudian.

Senyumku mengembang melihat rumahnya yang mewah serta halamannya yang asri dengan aneka tanaman bunga. Aku pasti betah tinggal di sini.

Dengan semangat aku mengetuk pintu, berharap anak yang selalu kuturuti semua permintaannya itu akan menyambut kedatanganku dengan bahagia.

Terdengar derap langkah kaki sebelum akhirnya pintu terbuka. Bukan Erwin yang ada di sana, tetapi Diana--istrinya yang menyambutku. Ah, aku lupa kalau sekarang Erwin masih bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji besar seperti yang pernah ia katakan.

"Ibu? Ada perlu apa Ibu datang ke sini?" tanya Diana tanpa mempersilakan aku masuk terlebih dahulu.

Mengelus dada aku mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut menantu yang selama ini selalu kubanggakan karena anak orang kaya itu.

"Ibu kangen dengan anak dan cucu," jawabku dengan bibir bergetar.

Diana menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Terus, kenapa Ibu bawa tas gede kayak gitu? Ibu mau menginap di sini?"

Kulirik tas jinjing berisi pakaian yang kuletakkan di lantai. "Iya, Di. Bukan hanya menginap, tetapi Ibu ingin__

Aku belum selesai bicara saat sebuah mobil hitam memasuki halaman dan tidak lama kemudian sang empunya keluar. Dialah Erwin, anak laki-lakiku yang paling tampan.

Rasa rindu seketika membuncah dalam dada melihat anakku itu sekarang terlihat gagah dengan kemeja polos warna biru laut yang lengannya dilipat sampai siku. Wajahnya terlihat semakin menawan dengan dagu kebiruan bekas dicukur. Sungguh, aku ingin segera meme luknya.

Akan tetapi, semua tidak sesuai ekspektasi. Anak yang dulu kususui hingga dua tahun lamanya itu menolak saat kuutarakan maksudku untuk ikut tinggal bersamanya.

"Maaf, Bu. Aku nggak bisa menerima Ibu ikut tinggal di sini. Diana tidak mau ada orang asing di rumah kami," kata Erwin.

Mataku terasa panas. Sakit dan nyeri hati ini. Dia bilang wanita yang sudah melahirkan ini adalah orang asing? Sungguh teganya dia. Apakah lupa, dia bisa membangun rumah berlantai dua ini karena menjual dua petak sawah yang kupunya demi menuruti permintaan istrinya?

Air mata yang meleleh di pipi adalah pertanda kalau aku sangat kecewa. Di saat aku sudah tidak punya apa-apa, mereka mencampakkan aku begitu saja. Iya, belum lama ini suamiku meninggal, sisa sawah yang masih ada sudah terjual untuk bayar utang dan biaya pengurusan jenazah yang tidak sedikit. Rumah yang kupunya juga sudah dijual untuk bayar utang.

Ke mana aku harus pergi?

Sebenarnya masih ada satu anak lagi yang belum kutemui. Dia adalah anak bungsuku bernama Nasrul, tetapi rasa ragu merajai hati untuk bertemu apalagi mengutarakan maksud tinggal bersamanya.

Anak yang selama ini kusayang dan kuberi modal untuk berumah tangga saja tidak mau menerimaku apalagi dia yang selalu ku abaikan?

Di antara anak-anakku hanya Nasrul yang tidak mendapat bagian sawah dariku. Aku tidak pernah merestui pernikahannya dengan Arum yang berasal dari orang miskin.

Suatu ketika Nasrul datang ke rumah mau pinjam uang untuk biaya anaknya di rumah sakit, tetapi kutolak mentah-mentah. Namun, pada akhirnya aku tidak tega. Aku bersedia memberinya pinjaman asalkan mau menceraikan Arum dan menikah dengan wanita pilihanku, tetapi dia menolak. Entah kenapa dia malah memilih si Arum yang orang miskin itu.

Dari tiga bersaudara, hanya Nasrul yang tidak punya rumah dan kubiarkan saja dia mengontrak dan tidak tahu kerja apa dia sekarang.

***

Aku duduk termangu di pinggir jalan sepulang dari rumah Erwin. Kuraba perutku yang keroncongan. Kuambil dompet dan membukanya. Syukurlah masih ada uang meski tidak seberapa.

Air liurku menetes saat melihat penjual nasi goreng di pinggir jalan. Sepertinya enak, tampak beberapa pembeli yang sedang antri menunggu pesanannya diantar.

Aku memasuki warung tenda yang tidak begitu luas itu. Bau harum nasi goreng yang khas menusuk hidung. Segera aku duduk di salah satu bangku kosong.

Setelah para pelanggan mendapatkan pesanannya, kini giliran aku yang didekati sang penjual untuk ditanyai nasi goreng seperti apa yang aku mau.

"Ibu?" kata penjual nasi goreng seolah terkejut melihatku.

Aku mendongak menatap lelaki di hadapanku yang memakai masker itu. Betapa kagetnya aku saat masker itu dibuka ternyata dia adalah Nasrul, anak bungsuku yang sangat kubenci.

Segera aku berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu, tetapi Nasrul menahannya.

"Tunggu, Bu. Kenapa Ibu bisa ada di sini? Ibu mau ke mana? Dan kenapa Ibu membawa tas yang begitu besar?" tanya Nasrul seraya meraih tanganku.

Aku menunduk. Bulir bening ini menetes begitu saja membasahi pipi kala ingat anak-anak yang telah tega mengusirku. Seandainya Nella atau Erwin mau menerimaku, pasti aku tidak perlu ada di sini dan bertemu Nasrul.

Dengan bibir bergetar aku menceritakan semuanya karena Nasrul terus memaksa.

"Astagfirullah, jadi sekarang Ibu tidak punya tempat tinggal?"

Aku mengangguk lemah. Malu, Nasrul pasti sedang menertawakan aku dalam hati.

"Kalau mau, Ibu bisa ikut tinggal bersama kami,"

Aku mendongak. "Apakah kamu tidak keberatan menampung ibu yang selalu jahat padamu, Rul? Memangnya kamu tidak marah dan dendam pada Ibu?" tanyaku lirih.

Nasrul tersenyum. "Sampai kapan pun aku tetap sayang pada Ibu."

Aku tidak tahan untuk tidak me me luknya. Anak yang selama ini kubenci mau menerimaku sedangkan anak-anakku yang lain yang dulu kusayang malah tidak peduli.

"Ibu tunggu di sini biar kuambilkan makan dulu dan setelah ini kita pulang agar Ibu bisa istirahat," ujarnya seraya menuju dapur di warungnya.

Kutatap punggungnya dengan hati nelangsa. Di saat anak yang lain kuberi modal banyak untuk usaha, dia hanya menjadi penjual nasi goreng.

Seketika rasa penyesalan itu muncul begitu saja. Andai waktu bisa kuputar ulang, tidak akan kusia-siakan dia.

Nasrul mengajakku naik ke atas motornya. Jantungku berdebar tidak karuan saat dalam perjalanan. Nasrul memang sudah menerimaku, tetapi bagaimana dengan istrinya yang dulu selalu kuhina habis-habisan?

Bagaimana kalau dia masih sakit hati dan tidak mau menerimaku?

"Ini rumahku, Bu. Maaf, rumahnya kecil." Nasrul menggandeng tanganku dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mengetuk pintu seraya mengucap salam.

Aku melengos saat pintu terbuka dan mendengar jawaban salam dari orang yang sangat kubenci itu.

"Ibu?" ucap Arum. Aku tidak berani mendongak.

Aku kaget saat tiba-tiba wanita itu meme lukku. "Alhamdulillah, kalau Ibu mau tinggal bersama kami. Tadi Mas Nas sudah bilang melalui telepon."

Ya Allah, ternyata Arum sama sekali tidak membenciku. Mataku panas seiring air mata yang mengalir deras.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Asnidar Ummu Syifa
dimana-mana juga anak bungsu yg jadi kesayangan ini kok kebalik
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Allah tegur Ibu nya ,Krn menghina orang miskin dan mendolimi anak sendiri.
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
Arum ............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status