Share

Maafkan Aku

Mataku terasa panas karena bulir bening ini terus menetes tiada henti. Setiap kali kuseka menetes lagi hingga aku merasa mataku bengkak dibuatnya.

Rasa dingin terkena gerimis tidak ku rasakan lagi akibat rasa malu dan penyesalan yang begitu dalam.

Aku malu pada Arum yang dulu sangat kubenci, tetapi dia malah mau menerimaku. Ya Allah, ternyata bidadari tidak bersayap itu memang benar-benar ada di dunia nyata dan menantuku adalah salah satunya. Namun, aku tidak pernah menyadarinya.

"Tangan Ibu dingin sekali. Bajunya sudah basah. Sebaiknya Ibu ganti baju dulu agar tidak masuk angin," kata Arum setelah menyentuh lengan bajuku.

Nyeri hati ini melihat Arum yang begitu perhatian.

"Mas, ajak Ibu masuk. Aku akan menyiapkan air hangat untuk Ibu." Arum berbalik.

"Ayo, Bu." Nasrul menggandeng tanganku.

Kakiku terasa berat seolah ditindih batu besar saat melangkah memasuki rumah kontrakan sederhana bercat kuning yang sepertinya catnya baru diperbarui. Bau cat masih tercium tajam.

Di saat para kakaknya tinggal di rumah bertingkat yang mewah dengan segala fasilitasnya, Nasrul harus tinggal di rumah kecil seperti ini dan model serta sama dengan rumah di samping kanan kirinya. Ya Allah, betapa zalimnya aku sebagai orang tua.

"Ayo, Bu." Nasrul menarik tanganku karena aku masih bergeming di tempat.

"Ibu nggak mau masuk karena rumahnya kecil? Ya udah, nggak apa-apa." Nasrul melepas pegangan tangannya. Meski mataku berkabut dan seolah dipenuhi kaca tebal, tetapi aku masih dapat melihat kalau di wajahnya tersirat kekecewaan.

Kuusap wajahku dengan kasar. "Bukan begitu, Nas. Sebenarnya Ibu malu bertemu denganmu," ucapku dengan suara parau.

"Malu kenapa, Bu? Aku ini anakmu. Tiga puluh tahun yang lalu aku adalah bayi mungil yang Ibu su sui dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang, kenapa Ibu harus malu bertemu denganku sekarang?"

Dadaku semakin terasa sesak. Dia tetap menganggapku Ibu meski sudah kuabaikan. Ya Allah, apakah pantas seorang ibu sepertiku memiliki anak sebaik Nasrul?

Aku memindai ruang tamu yang tidak terlalu luas, tetapi menurutku cukup enak dipandang mata. Ternyata Arum sangat pintar menata ruangan sempit itu menjadi terlihat luas dan nyaman.

Lidahku terasa kelu saat melihat sebuah foto terpasang di dinding berwarna oranye itu.

"Bapak." Air mata yang tadi sempat berhenti kini mengalir lagi melihat fotoku bersama suamiku yang dibingkai figura ukir terpasang di dinding.

"Nasrul, kenapa kamu pasang foto Ibu yang tidak pantas dipanggil Ibu sepertiku?" ucapku lirih. Aku mengusap foto berlapis kaca itu dengan tangan gemetar lalu jatuh terduduk seolah kaki ini tidak sanggup menopang tubuh.

Aku tergugu.

Nasrul mengusap kedua pundakku dan membimbingku untuk duduk di kursi. "Aku memasang foto bapak dan ibu agar selalu ingat dan sebagai penyemangat saat rasa malas mulai mendera. Aku ingin menjadi orang sukses agar ibu bangga pernah melahirkan aku di dunia ini dan membesarkan ku hingga seperti sekarang ini meski pada kenyataannya keadaanku masih jauh dari harapan."

Ya Allah ...

Nasrul menjadi seperti ini karena aku yang tidak memberinya modal sama sekali.

Aku semakin terisak. Tidak tahu mau apa dan bilang apa. Suasana menjadi hening, hanya terdengar isakan tangisku yang semakin menjadi.

"Air hangatnya sudah siap, Bu," kata Arum memecang keheningan.

Aku mendongak. Wanita itu, dia menantu yang tidak pernah kuharapkan kehadirannya dalam kehidupan anak lelakiku. Sekarang ... Dia memperlakukan aku yang berdosa ini dengan sangat manis.

Nasrul mengangguk dan menunjukkan di mana kamar mandi berada.

Aku memasuki kamar mandi minimalis tanpa bak permanen. Hanya ember besar berwarna hitam sebagai penampung air dengan kran di atasnya serta sebuah kloset yang berada dalam ruangan yang sama.

Sebuah ember berisi air yang mengepulkan asap berada di sana. Melihat air panas membuat air mataku kembali mengalir membasahi pipi. Bayangan kejahatan yang pernah kulakukan pada Arum kembali terbayang di pelupuk mata.

"Apa yang kamu lakukan, Rum?" tanyaku saat wanita itu tengah menyalakan kompor dengan panci berisi air di atasnya. Waktu itu Nasrul dan Arum tengah berkunjung ke rumahku. Dia datang bersama anaknya yang masih berusia satu tahun.

"Aku mau menjerang air untuk mandi Salsa, Bu," jawabnya.

Buru-buru aku mematikan kompor yang sudah menyala itu. "Sayang gasnya kalau hanya dipakai untuk masak air buat mandi,"

"Tapi, Bu. Aira tadi juga mandi pakai air hangat padahal dia jauh lebih besar," sanggah Arum.

"Jangan samakan anak Nella dengan anakmu yang lambat berkembang itu," ucapku ketus dan sambil berlalu.

Sebelum keluar dari kamar, aku memberi peringatan lagi untuknya. "Ingat, jangan coba-coba memandikan Salsa pakai air hangat!"

Rasa tidak suka pada Arum semakin menjadi ketika Salsa yang sudah berusia satu tahun belum bisa berjalan dan berbicara. Bagiku, anak berusia satu tahun yang belum bisa berjalan dan berbicara adalah sebuah aib karena anak-anak Nella dan juga Irwan sudah bisa berjalan di usia itu.

Kuhela napas dalam-dalam. Dengan hati-hati aku menambahkan air dingin pada ember berisi air panas itu.

Saat tangan ini menyentuh air yang sudah menjadi hangat, bayangan Arum kembali melintas.

Arum ... Kenapa kau tidak membenciku atau mengusirku saja agar rasa bersalah ini tidak semakin dalam?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status