Share

Penasaran

Aku menyeka air mata yang terus bercucuran. Jika Salsa tidak mau mengakui aku sebagai neneknya apakah itu artinya aku tidak boleh ikut tinggal di sini?

Ya Allah, ini sudah sore dan sebentar lagi gelap. Ke mana aku harus pergi?

"Ibu memang tidak pantas disebut Nenek. Nenek jahat. Sebaiknya Ibu pergi saja," ucapku dengan suara parau.

Aku mengambil tas dan bersiap melangkah keluar, tetapi ditahan oleh Nasrul.

"Ibu mau ke mana?"

"Seorang Ibu yang jahat sepertiku tidak pantas ikut tinggal di sini, Rul. Sebaiknya Ibu pergi saja."

"Walau pun Salsa tidak mau mengakui Ibu sebagai neneknya, tetapi dia tetap mengizinkan Ibu untuk tinggal di sini. Iya, kan, Sayang?" Nasrul menatap putrinya seraya mengedipkan mata.

Sungguh di luar dugaanku, gadis kecil itu mengangguk.

"Kata Ibu, kepada sesama manusia kita harus selalu tolong-menolong. Siapa pun dia yang sedang membutuhkan harus kita bantu semampu kita. Insya Allah, akan dapat pahala," ucap Salsa bijak dengan suara yang menggetarkan jiwa.

Arum ... Terima kasih, sudah mendidik cucuku dengan sangat baik.

Suara Azan Magrib berkumandang bersahut-bersahutan dari masjid serta surau yang berada di sekitar kontrakan Arum sebagai pertanda panggilan dari Yang Maha Kuasa pada umat--Nya agar segera bersujud.

Entah bagaimana Arum mendidik anaknya itu. Begitu mendengar suara azan, Salsa bergegas mengambil air wudhu lalu memakai mukena warna putih dan mengajak Arum serta Nasrul ke masjid.

Sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaan sehingga anak itu tidak perlu diajak apalagi Arum sampai ngomel panjang lebar.

Hidup mereka memang sederhana, tetapi aku dapat melihat betapa damai dan bahagianya mereka. Mungkin karena mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuasa.

Seketika aku ingat Erwin dan Nella serta anak-anaknya saat datang berkunjung ke rumah.

Suara azan tidak pernah mereka pedulikan, ketika Magrib tiba, Anak-anak masih asyik bermain ponsel dan menonton televisi.

Ya Allah, apakah mereka masih belum berubah hingga sekarang? Abai dengan kewajibannya sebagai manusia?

"Ibu mau ke masjid atau salat di rumah?"

Nasrul membuyarkan lamunanku tentang kakak-kakaknya yang entah sedang apa mereka sekarang.

Ah, ingat Erwin dan Nella membuat hatiku perih dan nyeri. Mereka anak-anak yang selalu kumanja, tetapi abai pada ibunya. Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka pikir bisa sukses tanpa kami--aku dan Mas Sufyan--sebagai orang tua?

"Ibu mau salat di rumah atau ikut kami ke mushala?" Nasrul mengulangi pertanyaannya karena aku masih saja terdiam. Sementara Arum dan Salsa sudah berangkat lebih dulu.

Aku menelan ludah. Ikut salat di mushala berarti aku harus siap bertemu para tetangga Nasrul. Mereka pasti akan bertanya aku siapa? Dan mereka pasti akan kaget saat tahu aku ini adalah ibunya Nasrul.

Aku belum siap menghadapi tetangga yang biasanya suka kepo dengan kehidupan orang lain. Bagaimana kalau mereka menghujatku karena telah membuang anak sendiri dan sekarang malah datang ingin menumpang?

Aku menggeleng. "Ibu salat di rumah saja, Rul."

"Tetapi, kami belum punya ruangan khusus untuk salat, Bu. Kalau Ibu mau salat di rumah bisa salat di kamarku atau kamar Salsa." Nasrul menjelaskan.

Aku mengangguk. "Iya, Rul. Nggak apa-apa. Kamar kamu yang sebelah mana?"

Nasrul menunjuk sebuah ruangan di dekat dapur. Lalu ia bergegas menyusul Arum dan anaknya ke mushala karena azan sudah berhenti dan tidak lama kemudian terdengar iqamah sebagai pertanda salat berjamaah akan segera dimulai.

Dadaku kembali terasa sesak begitu memasuki kamar Nasrul. Rumah ini hanya terdapat dua buah kamar dengan masing-masing berukuran tiga kali dua setengah meter, sebuah dapur yang menjadi satu dengan ruang makan, sebuah kamar mandi, dan ruang tamu.

Selama bertahun-tahun anakku tinggal di rumah seperti ini, itu pun harus bayar setiap bulan atau mungkin satu tahun sekali sedangkan aku tinggal di rumah yang sangat besar. Luas ruang tamu di rumahku yang dulu sama dengan luas rumah ini secara keseluruhan.

Aku membentang sajadah warna cokelat yang tadi diberikan Nasrul dan memakai mukena milik Arum. Betapa damai hati ini saat tubuh ini terbungkus mukena dengan bahan halus dan sangat wangi.

Aku memohon ampun kepada Allah karena telah berbuat zalim pada anakku sendiri. Aku merasa sangat berdosa membiarkan mereka hidup menderita selama bertahun-tahun. Aku telah merampas hak waris yang seharusnya dia dapatkan.

Sekarang sawahku yang berpetak-petak dan sangat luas itu sudah habis karena dijual oleh Erwin dan juga Nella, bahkan rumah juga sudah tidak ada.

Entah berapa lama aku termenung sehabis salat hingga akhirnya suara Azan Isya telah menggema hingga memutuskan untuk salat sekalian.

"Assalamulaiakum,"

"Waalaikumsalam." Segera aku membuka mukena dan meletakkan di atas sajadah dan menggulungnya. Nasrul beserta istri dan anaknya sudah pulang dari mushola. Mereka berada di sana dari Magrib hingga Isya.

"Aku menyiapkan makanan dulu, ya, Mas," kata Arum yang segera mendapat anggukan dari Nasrul.

Bau harum makanan yang sedang dimasak Arum begitu menusuk hidung. Wanita itu memanggilku untuk segera makan.

Sebuah panci berisi nasi yang hanya tinggal setengah, tumis kacang panjang, dan telur dadar dengan taburan daun bawang sudah siap di meja makan.

"Maaf, Bu. Hanya ini menu kita untuk malam ini," kata Arum seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.

Aku menggeleng. Merasa tidak pantas ikut menikmati makanan yang sepertinya enak itu.

"Ibu tadi sudah makan nasi goreng di warung Nasrul dan sekarang masih kenyang." Aku mengusap perut.

"Yakin, Ibu nggak mau makan?" tanya Nasrul.

"Iya, kalian makan saja." Aku berusaha tersenyum.

Aku hanya menelan ludah melihat mereka makan dengan lahap. Menu yang tersedia memang hanya sederhana, tetapi mereka terlihat begitu menikmatinya.

Malam mulai merangkak naik. Aku disuruh tidur di kamar Salsa dan Salsa tidur bersama Nasrul serta Arum.

***

Aku hanya bisa melihat dari balik pintu kamar saat Arum dan Nasrul terlibat obrolan di pagi hari.

"Ini untuk bayar kontrakan." Nasrul menunjukkan tumpukan uang merah. Lalu ia mengambil uang lagi. "Dan ini untuk menyicil bayar utang pada Bu Nur. Semoga utang kita padanya segera lunas, ya, agar kita bisa menabung untuk memikirkan masa depan salah satunya beli rumah."

Mataku terbelalak melihat tumpukan uang merah yang kata Nasrul untuk bayar utang pada Bu Nur itu.

Siapa itu Bu Nur? Dan kenapa Nasrul bisa punya utang sebanyak itu padahal itu hanya cicilannya saja. Lalu utang seluruhnya berapa dan buat apa?

Aku tidak pernah tahu apa yang telah anak bungsuku lewati selama lima tahun terakhir ini, tetapi yang pasti sangat berat dan tidak mudah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status