Share

Ini Salahku

"Ibu?" Akhirnya Nasrul menyadari keberadaanku.

"Bagaimana tadi malam, Bu? Apakah bisa tidur nyenyak di kamar yang sangat sempit itu?" tanya Nasrul.

Aku tersenyum dan menjawab dengan suara khas orang baru bangun karena aku memang baru saja bangun. "Iya, Rul. Ibu merasa nyaman kok tidur di sini malah saking nyamannya sampai bangun kesiangan dan sekarang belum saat Subuh. Kenapa kamu tidak membangunkan Ibu tadi?"

"Aku lihat Ibu sangat pulas sehingga tidak tega untuk membangunkan."

Aku meringis. Mukaku terasa hangat karena malu pada anak dan menantuku itu. Mereka berdua sudah bangun dan salat Subuh dari tadi, bahkan aku juga sudah mendengar suara Salsa sedang mengaji, tetapi aku malah baru bangun.

Tadi malam aku gelisah sehingga sulit tidur dan baru memejamkan mata setelah lebih dari pu kul dua dini hari. Iya, aku masih melihat jam weker yang ada di atas meja pada pu kul segitu, itu artinya pada waktu itu aku masih terjaga. Itulah sebabnya aku tertidur pulas di pagi hari, bahkan sampai tidak mendengar gema suara azan.

"Ibu belum salat Subuh, Rul."

"Ya udah Ibu salat dulu, setelah itu kita sarapan bersama. Arum sudah masak tadi goreng."

Rasa malu ini semakin bertambah. Arum sudah memasak, tetapi aku malah baru bangun.

Kami berempat duduk melingkar di kursi dengan meja persegi yang di atasnya terdapat satu mangkuk kaca besar berisi nasi goreng dan empat buah piring serta teko dan nampan berisi gelas.

Arum mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng kecap yang masih mengepulkan asap lalu mengulurkan padaku. Bau harum dari nasi goreng seolah membangunkan cacing-cacing di dalam perutku ini. Jika baunya saja harum, rasanya pasti enak.

Kalau dulu, aku akan menolak mentah-mentah memakan hasil olahan tangan Arum. Meski sebenarnya aku pernah makan hasil masakannya dan rasanya enak. Sangat pas di lidah.

Arum memang jago dalam urusan perdapuran, tetapi aku tetap tidak menyukainya. Aku selalu berusaha untuk mencari kesalahannya. Sekali tidak suka, tetap tidak suka. Itu adalah prinsipku dulu.

Dugaanku tidak salah. Nasi goreng ini rasanya sangat enak, tetapi entah kenapa aku tidak bisa menelannya meski sudah masuk ke ke dalam mulut dan sudah kukunyah.

Seolah ada batu besar di tenggorokanku yang menghalangi masuknya nasi ke dalam perutku yang sudah sangat lapar. Seolah ada yang berbisik, aku tidak pantas makan nasi goreng istimewa ini.

Kami makan dalam diam. Hanya terdengar bunyi piring dan sendok yang saling beradu.

"Kenapa nggak dimakan, Bu? Nggak enak?" tanya Nasrul. "Jangan bilang Ibu tidak lapar? Atau Ibu tidak suka makan nasi goreng? Biar Arum masak yang lain?"

"Bukan begitu, Rul. Ibu malu untuk makan nasi goreng ini jika ingat apa yang telah Ibu lakukan pada kalian dulu."

"Sudahlah, Bu. Yang lalu biarlah berlalu. Aku sudah ikhlas menerimanya. Ibu sekarang makan, ya? Mau aku suapi? Bukanlah Ibu dulu juga menyuapiku dengan telaten saat masih kecil?"

Nasrul mengambil sendok di piringku lalu mengisinya dengan nasi lalu mendekatkan ke mulutku.

"Buka mulutnya, Bu. Jika dulu Ibu menyuapiku saat masih kecil, sekarang giliran aku yang menyuapi Ibu," kata Nasrul.

Aku membuka mulut, Nasrul mendorong sendok hingga nasi goreng itu berhasil masuk ke mulutku.

Aku mengambil alih sendok dari tangan Nasrul. "Ibu masih bisa makan sendiri, Rul."

"Ya udah kalau gitu habiskan, ya, Bu."

Pada akhirnya nasi goreng dalam piring itu berhasil masuk ke dalam perutku. Sesekali aku menatap Nasrul dan Arum secara bergantian.

"Kenapa kamu masih baik pada Ibu? Kenapa tidak kamu biarkan saja Ibu tidak makan agar segera m@ti menyusul bapakmu padahal dulu Ibu sangat jahat padamu? Apakah kamu adalah malaikat yang tidak punya rasa dendam sedikit pun pada Ibu?" tanyaku lirih setelah kami selesai makan.

Nasrul tersenyum. "Aku hanya manusia biasa, Bu. Aku punya sakit hati dan itu manusiawi. Aku bukan malaikat berhati putih yang tidak punya rasa dendam dan benci, tetapi aku tahu menjadi seorang pembenci dan pendendam itu sangat melelahkan. Lagi pula Arum pernah mengatakan bahwa barang siapa memuliakan orang tua terutama Ibu, maka hidup kami akan bahagia. Selama ini kami ingin berbakti pada Ibu, tetapi tidak ada kesempatan. Dan sekarang saat kesempatan itu datang, tentu kami tidak akan menyia-nyiakannya."

Mataku menghangat mendengar ucapan Nasrul yang panjang lebar. Dia menjadi seperti itu karena punya istri yang saleha seperti Arum. Yang tidak menghasut suaminya agar membenci ibunya yang jahat ini.

Diam-diam aku iri pada orang tuanya Arum yang telah berhasil mendidik anaknya dengan baik sedangkan aku adalah seorang ibu yang gagal mendidik anaknya. Dua orang anakku telah menjadi durhaka.

"Maaf, Rum, Rul, tadi Ibu tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan kalian. Kalian punya utang? Berapa banyak? Dan untuk apa?" pertanyaan beruntun terlontar dari mulutku untuk menuntaskan rasa penasaran.

"Ibu masih ingat saat aku mau pinjam uang ketika Salsa dirawat di rumah sakit?" tanya Nasrul dengan mata berkabut.

Aku mengangguk. Tentu saja aku tidak akan lupa di mana aku begitu tega mengabaikan, bahkan mengusirnya.

"Jadi begini, Bu. Meski Ibu menolak memberi bantuan untuk biaya rumah sakit Salsa, tetapi alhamdulillah anak kami bisa tetap dirawat berkat bantuan orang baik. Dia adalah Bu Nur, yang dengan ikhlas memberi pinjaman meski kami harus bayar dengan cara dicicil. Namun, tidak hanya sekali Salsa di rumah sakit, tetapi kejadian itu terus berulang. Iya, anak kami sering bolak-balik ke rumah sakit.

Bukan hanya itu, setelah sembuh, Salsa belum bisa bicara hingga usia 3 tahun. Tentu saja hal ini membuat kami khawatir. Iya, orang tua mana yang tidak khawatir jika anaknya tidak berkembang sesuai usianya. Atas saran Bu Nur, kami membawa Salsa ke dokter untuk periksa dan ternyata pergerakan motorik mulutnya bermasalah yaitu adanya gangguan pada bagian otak pengatur kemampuan bicara anak. Dokter menyarankan untuk terapi dan ternyata biayanya tidak murah. Bu Nur ini juga yang memberi pinjaman setiap kali Salsa terapi seminggu sekali hingga akhirnya utang kami menumpuk.

Bu Nur juga yang sudah memberiku modal untuk berjualan nasi goreng dan alhamdulillah bisa buat kami bertahan hidup dan bayar utang." Nasrul menjelaskan panjang lebar.

Aku sedih, tidak ada di saat anakku pontang-panting cari uang untuk keluarga kecilnya, tetapi aku bersyukur masih ada orang yang mau menolongnya.

Hari ini aku menemukan orang berhati malaikat yang mau membantu meski tidak ada hubungan darah. Aku jadi penasaran dengan orang bernama Bu Nur itu.

Apa yang harus kulakukan untuk membantu Nasrul untuk meringankan beban utang yang tidak sedikit itu? Seketika aku ingat dengan Erwin dan Nella yang telah menikmati uang yang seharusnya menjadi hak Nasrul. Iya, saat Mas Sufyan masih ada, ia sudah membagi-bagi sawah untuk anak-anak, tetapi karena kebodohanku, Nasrul tidak mendapat bagian sama sekali.

Sawah yang seharusnya menjadi milik Nasrul dijual Erwin dan Nella atas izinku.

Aku harus menemui mereka berdua untuk meminta kembali hak Nasrul yang sudah mereka rampas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status