Aku menyeka air mata yang terus bercucuran. Jika Salsa tidak mau mengakui aku sebagai neneknya apakah itu artinya aku tidak boleh ikut tinggal di sini? Ya Allah, ini sudah sore dan sebentar lagi gelap. Ke mana aku harus pergi? "Ibu memang tidak pantas disebut Nenek. Nenek jahat. Sebaiknya Ibu pergi saja," ucapku dengan suara parau. Aku mengambil tas dan bersiap melangkah keluar, tetapi ditahan oleh Nasrul. "Ibu mau ke mana?" "Seorang Ibu yang jahat sepertiku tidak pantas ikut tinggal di sini, Rul. Sebaiknya Ibu pergi saja." "Walau pun Salsa tidak mau mengakui Ibu sebagai neneknya, tetapi dia tetap mengizinkan Ibu untuk tinggal di sini. Iya, kan, Sayang?" Nasrul menatap putrinya seraya mengedipkan mata. Sungguh di luar dugaanku, gadis kecil itu mengangguk. "Kata Ibu, kepada sesama manusia kita harus selalu tolong-menolong. Siapa pun dia yang sedang membutuhkan harus kita bantu semampu kita. Insya Allah, akan dapat pahala," ucap Salsa bijak dengan suara yang menggetarkan jiwa.
"Ibu?" Akhirnya Nasrul menyadari keberadaanku. "Bagaimana tadi malam, Bu? Apakah bisa tidur nyenyak di kamar yang sangat sempit itu?" tanya Nasrul. Aku tersenyum dan menjawab dengan suara khas orang baru bangun karena aku memang baru saja bangun. "Iya, Rul. Ibu merasa nyaman kok tidur di sini malah saking nyamannya sampai bangun kesiangan dan sekarang belum saat Subuh. Kenapa kamu tidak membangunkan Ibu tadi?" "Aku lihat Ibu sangat pulas sehingga tidak tega untuk membangunkan." Aku meringis. Mukaku terasa hangat karena malu pada anak dan menantuku itu. Mereka berdua sudah bangun dan salat Subuh dari tadi, bahkan aku juga sudah mendengar suara Salsa sedang mengaji, tetapi aku malah baru bangun. Tadi malam aku gelisah sehingga sulit tidur dan baru memejamkan mata setelah lebih dari pu kul dua dini hari. Iya, aku masih melihat jam weker yang ada di atas meja pada pu kul segitu, itu artinya pada waktu itu aku masih terjaga. Itulah sebabnya aku tertidur pulas di pagi hari, bahkan sam
Dengan mantap aku menekan bell yang ada di samping pintu rumah Erwin. Iya, aku harus bertemu anakku itu sekali lagi. Jika kemarin aku datang untuk minta izin tinggal bersamanya, sekarang tidak. Aku datang untuk meminta uang hasil penjualan sawah yang pernah kuberikan padanya karena sebenarnya uang itu adalah hak Nasrul. Pintu tidak kunjung dibuka meski aku sudah menekan bell hingga berulang kali. Aku mulai resah, apakah Erwin atau pun Diana tidak ada di rumah, ya?Aku mencoba mengintip lewat jendela, tetapi tidak dapat melihat apa pun di dalam sana karena tertutup gorden warna kuning emas. Apa mungkin mereka sedang tidak ada di rumah?Awalnya aku ingin langsung ke rumah Nella jika Erwin tidak ada, tetapi tubuhku terasa lelah sehingga memutuskan untuk istirahat. Aku memilih duduk di bawah pohon mangga besar agar terasa sejuk.Angin semilir yang bertiup menerpa wajahku yang sudah mulai berkeriput ini membuatku mengantuk. Entah berapa lama aku terlelap di alam mimpi saat tiba-tiba me
Erwin celingukan mengamati sekeliling rumah Nasrul dengan tatapan sinis. Jika dia seorang kakak yang baik, seharusnya kasihan melihat hunian adiknya seperti ini padahal ia sendiri tinggal di rumah mewah berlantai dua. "Ibu tinggal sama aku saja, ya? Dari pada tinggal di rumah Nasrul? Ibu pasti sebenarnya tidak betah, kan, tinggal di rumah sempit kayak gini?" Erwin mengusap tanganku dengan lembut. Aku tersenyum. Kalau boleh jujur, aku yang terbiasa tinggal di rumah besar sebenarnya tidak betah tinggal di rumah kecil ini. Namun, mau bagaimana lagi? Hanya Nasrul yang menerimaku. Akan tetapi, itu hanya di awal saja, sekarang aku sudah mulai betah, bahkan nyaman. Aku menghela napas pelan. Kutatap mata anakku yang kemarin sempat mengabaikanku itu. "Apa yang membuatmu berubah pikiran, Win? Apakah niatmu untuk membawa Ibu tinggal bersamamu benar-benar dari hati?" Anak laki-laki yang saat sekolah selalu dapat ranking satu sehingga menjadi kebanggaan dan kesayanganku itu tersenyum. "Lihat m
PoV ArumTidak ada yang bisa kulakukan saat Ibu mau tinggal di rumah yang lebih besar dan mewah di rumah Mas Erwin meski aku tahu Ibu mulai nyaman tinggal di rumah kami yang sederhana ini. Apapun yang telah ia lakukan di masa lalu, aku tetap menyayanginya.Aku sedang menyiram aneka tanaman sayuran saat mendengar suara deru motor Mas Nasrul datang. Lelaki yang sudah membersamaiku sembilan tahun lamanya itu segera membuka helm begitu motor berhenti. Dahiku berkerut. Dia belum lama berangkat, tetapi sudah pulang lagi. Dari pagi hingga pu kul empat dia ngojek setelah itu mulai menggelar lapak jualan nasi goreng hingga malam. Aku meletakkan ember dan mengeringkan tangan lalu menghampiri Mas Nasrul dan mengambil alih helm dari tangannya setelah men ci um tangannya dengan takzim. "Ada apa, Mas? Kok sudah pulang?" Aku dan Mas Nasrul berjalan beriringan memasuki. Rumah sepi, Salsa belum pulang dari mengaji sore sedangkan Ibu sudah pergi. Segera aku mengambil dua teh manis hangat dan mem
Pov AuthorKeringat dingin mengucur membasahi tubuh Nasrul. Napasnya tersengal dan jantungnya berdebar kencang. Berulang kali ia mengusap pelipisnya. Arum bergegas berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air minum dan mengulurkan pada suaminya. "Aku mimpi buruk, Dik. Aku takut jika terjadi sesuatu pada Ibu," kata Nasrul setelah berhasil menenangkan diri. "Istigfar, Mas. Tenang. Mimpi itu hanya bunga tidur," kata Arum. "Iya, aku tahu kalau mimpi hanya bunga tidur, tetapi tadi aku merasa begitu nyata, sampai-sampai aku ketakutan begini." Nasrul menunjukkan tangannya yang merinding. "Berdoa saja semoga Ibu baik-baik saja. Sekarang Mas tidur lagi, ya. Ini masih malam." Arum membimbing suaminya untuk berbaring lalu merapikan selimut dan menutupinya hingga sebatas dada. Tangan Arum melingkar di tubuh Nasrul sambil berbisik. "Ibu pasti baik-baik saja, Mas." Nasrul menggenggam tangan Arum yang berada di lengannya. "Terima kasih, Dik. Aku sudah tidak sabar menunggu pagi agar
Azan Subuh baru saja berkumandang, tetapi Nasrul masih berada di atas kain sajadah sejak tadi. Setelah mimpi buruk yang ia alami membuatnya tidak bisa tidur lagi sehingga memutuskan salat malam agar jiwanya lebih tenang. "Semoga Ibu baik-baik saja," ucapnya lirih. Setelah Salsa berangkat sekolah, Nasrul dan Arum bersiap menuju kediaman Erwin.Punggung Utami terasa pegal setelah menyapu dan mengepel ruang tamu yang luasnya sama dengan rumah Nasrul secara keseluruhan itu. Berulang kali ia mengusap keringat yang bercucuran dan napasnya tersengal. Senyum Utami mengembang meski rasa capek yang mendera saat melihat ruangan kini menjadi bersih. Wanita yang usianya sudah tidak lagi muda itu duduk bersandar di sofa dengan tangan mendekap sapu. Mata tuanya yang lelah membuatnya ingin terpejam, tetapi belum juga matanya menutup, terdengar suara berisik dari luar. Gegas Utami melihat dari balik jendela. Rasa lelah itu menguap seketika saat melihat Deva pulang sekolah dengan diantar ojek lang
Mata Utami berkaca-kaca melihat Nasrul dan Arum berada tidak jauh darinya yang sedang berbicara dengan DianaIa menggosok matanya perlahan. Takut jika ini hanya mimpi di waktu pagi. Semoga apa yang ia lihat bukan hanya ilusi semata.Ia juga mencoba men cu bit pipinya dan terasa sakit sebagai pertanda apa yang dilihat benar adanya. Anak bungsu yang namanya ia sebut sepanjang malam itu kini telah berada di hadapannya. Hatinya riuh bersyukur, Allah telah mengabulkan permintaannya. Untuk kedua kalinya Nasrul telah menyelamatkannya. Jika Nasrul tidak datang, entah sampai kapan dirinya akan merasa tersiksa di rumah yang seperti neraka baginya itu. Utami berjalan dengan setengah berlari lalu menubruk Nasrul hingga membuat lelaki itu bengong pun dengan Arum. Diana kaget melihat Utami yang tiba-tiba sudah berada di antara mereka. 'Ih, kenapa nenek tua itu harus keluar, sih? Kalau kayak gini gagal sudah rencanaku menjadikan ibu sebagai pembantu di rumah ini,' Diana berkata dalam hati. Ia be