Share

Lega

Tubuhku gemetar. Bayangan penolakanku pada waktu itu kembali menyiksa pikiranku. Gadis kecil itu sangat cantik. Ah, kenapa semakin ke sini semakin terlihat kalau dia sangat mirip dengan Nasrul. Hidung dan bibirnya Nasrul banget. Orang tidak akan menyangkal jika antara keduanya ada hubungan darah.

Kuturunkan tanganku yang sempat terentang dan ingin m3meluknya. Aku menggeleng lemah. Dulu aku selalu bilang kalau gadis kecil berhidung bangir itu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami, tidak pantas menjadi cucuku, tetapi sekarang ... akulah yang tidak pantas mendapat sebutan 'nenek' darinya. Jika ada sebutan untuk nenek durhaka, maka akulah orangnya.

"Aku tidak berbohong, kan, Bu? Salsa baik-baik saja. Sini, Sayang." Nasrul melambaikan tangan pada gadis kecil itu.

Gadis kecil itu berjalan mendekat. Tangannya terulur dan menyalami Nasrul serta Arum secara bergantian dan m3nc!umnya dengan takzim dan tanpa ragu ia juga melakukan hal yang sama denganku.

Tanganku ini gemetar saat pertama kali menyentuh pipinya. Gadis kecil itu begitu santun. Entah bagaimana Arum mendidiknya.

"Caca selalu bertanya di mana Nenek, bukan?" Arum merangkul pundak gadis itu dan mensejajarkan wajahnya dengan sang anak.

Gadis itu mengangguk.

Arum tersenyum lalu menunjukku. "Itu Nenek Caca. Nenek sudah ada di hadapan kita sekarang." Arum berkata dengan mata berkaca-kaca.

Aku memalingkan wajah. Tidak sanggup menatap mata jernih itu. Gadis kecil itu masih terdiam. Apakah dia tidak bisa bicara hingga sekarang?

Aku tidak peduli, mau dia bisa bicara atau tidak, dia tetap cucuku, dia tetap keturunanku. Di dalam tubuhnya mengalir darahku.

"Ne--nek?"

Mataku berbinar. Hatiku seolah dipenuhi ribuan bunga dan kupu-kupu beterbangan saat mendengar kata-kata yang keluar dari bibir mungil gadis itu.

Allahu Akbar. Allah Maha Besar. Kekhawatiranku tidak terbukti. Aku pikir dia tidak akan bicara untuk selamanya. Dia bisa bicara dan suaranya sangat indah. Terdengar merdu di telingaku. Tanpa terasa bulir bening ini kembali menetes di pipi. Entah sudah berapa banyak air mataku yang tumpah. Dan air mata kali ini adalah air mata bahagia.

Aku bahagia dia bisa bicara. Mungkin ini yang dirasakan Nasrul dan Arum saat pertama kali mendengar anaknya bisa mengeluarkan suara.

"Iya, Sayang. Dia ini Nenek yang ada foto itu." Arum menunjuk fotoku bersama Mas Sufyan. Aku lupa kapan foto itu diambil, yang jelas di dalam foto itu aku masih terlihat muda.

Salsa memandangku dengan saksama dan foto itu secara bergantian. Namun, kemudian dia menggeleng. "Itu bukan Nenek. Bukankah Nenek Caca sudah meninggal. Itu yang selalu Ibu katakan, bukan?"

Arum tersenyum. "Maafkan Ibu, Sayang. Sebenarnya nenek masih ada, itu dia." Arum kembali menunjukku.

Salsa kembali menggeleng. "Dia bukan nenekku. Kalau dia memang nenekku kenapa tidak pernah datang dan kita tidak pernah mengunjunginya seperti nenek Tiara, Alifa, Cita, dan Aldi. Mereka sering bertemu Nenek sedangkan Caca tidak."

Tak ada yang bisa kukatakan. Tidak ada rasa marah saat dia tidak mau mengakuiku sebagai nenek apalagi menganggapku sudah meninggal karena aku sadar semua ini memang salahku sendiri meski sebenarnya ia tidak mengenaliku karena aku dan foto itu jauh berbeda.

Saat ini aku sudah terlihat sangat tua. Banyak keriput di wajah dan rambut yang sudah memutih hanya ditutup kerudung bulat kecil, ditambah lagi wajah bengkak karena terus menangis sedangkan di dalam foto itu aku tersenyum bahagia dan terlihat cantik dengan kerudung panjang berwarna cokelat susu.

"Sayang, itu Nenek, tetapi yang ini saat Nenek masih muda. Bukankah Caca bilang ingin bertemu Nenek? Ingin pe luk nenek. Kenapa saat sekarang nenek sudah ada malah tidak mau?" Arum mencoba meyakinkan Salsa kalau aku ini memang neneknya.

Salsa kembali menatapku. Namun, Lagi-lagi ia menggeleng.

Aku memberanikan diri untuk mengusap tangan Arum. "Sudahlah, Rum. Nggak usah dipaksa. Ibu memang nggak pantas disebut nenek."

"Maafkan Salsa, Bu," kata Arum.

Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Rum. Salah Ibu juga yang tidak pernah ada saat kalian butuh sehingga Salsa tidak mengenaliku. Melihat dia sehat hingga sekarang saja sudah cukup membuat Ibu bahagia padahal tadi Ibu sudah berpikiran yang tidak-tidak saat kamu menangis. Aku pikir Salsa sudah___Aku tidak melanjutkan ucapanku dan kembali tergugu.

"Ibu, aku menangis karena mendengar Ibu mengatakan cucuku pada Salsa setelah sekian lama tidak mengakuinya. Aku terharu, Bu. Ini untuk pertama kali Ibu memanggil 'cucuku' pada Salsa, bukan?

Selama ini Salsa selalu bilang ingin bertemu Nenek atau ingin liburan di rumah nenek seperti teman-temannya, tetapi selalu kubilang tidak bisa. Bahkan suatu ketika aku terpaksa mengatakan kalau Ibu sudah meninggal sehingga dia tidak perlu bertemu neneknya lagi." Arum menunduk.

Aku masih bernapas dan butuh makan hingga saat ini sebagai pertanda masih ada nyawa dalam ragaku. Aku masih hidup, tetapi aku pantas dianggap sudah m@ti oleh Salsa, cucuku sendiri.

Iya, aku sudah m@ti bagi mereka dan aku harus terima itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status