Share

Siapa Dia

Azzahra Salsabila khairun Nisa nama yang disematkan pada bayi yang dilahirkan oleh Arum--buah cintanya dengan Nasrul. Sebuah nama yang sangat bagus, tetapi terasa gatal di telingaku saat mereka memanggil namanya.

"Nama Salsabilla terlalu bagus untuk anak daru seorang Arum. Lebih baik diganti saja," ucapku saat Arum menyusui bayinya.

Wanita yang sangat kubenci itu mendongak dan menatapku. Ia letakkan bayinya setelah puas menyusu dan terlelap.

"Mas Nas yang memberi nama pada cucu Ibu ini. Salsabila diambil dari Al-Quran yang artinya mata air surga. Kami berharap dia akan menjadi penyebab kami masuk surga nantinya," jawab Arum dengan seulas senyum.

Aku mendengkus. Dia bilang bayi mungil itu adalah cucuku. Dia memang tidak salah, bayi yang sedang terlelap dengan selimut warna pink bergambar princess itu memang cucuku. Dalam tubuhnya mengalir darahku, tetapi aku tidak sudi mengakuinya. Dia lahir dari rahim seorang wanita yang tidak kusuka. Menantu yang tidak pernah kuharap kehadirannya.

Saat anak itu tidak berkembang sesuai usianya, aku mencibir.

"Aku bilang juga apa? Dia punya nama yang terlalu berat sehingga nggak bisa jalan. Dia nggak kuat nanggung nama Salsabila. Nama Inem atau Paijah lebih pantas untuknya," ucapku sinis.

Arum menunduk. Matanya mengembun, tetapi lekas ia usap dengan kasar sebelum bulir bening itu membasahi pipinya.

Aku semakin kesal melihat anak berusia satu tahun yang hanya bisa ngesot untuk berpindah tempat. Belum bisa berdiri apalagi berjalan. Aku malu jika orang-orang tahu dia adalah cucuku.

Di saat anak-anak Nella dan Erwin kuberi uang, Salsa tidak pernah kebagian.

"Makanya ajari anakmu berjalan dan bicara dengan jelas dan benar kalau mau dapat uang dariku. Jangan hanya plonga-plongo saja," ucapku saat Arum hanya bisa gigit jari melihat aku bagi-bagi uang saat panen atau lebaran.

Akan tetapi, kesedihan Arum tidak berlangsung lama. Layaknya sebuah dongeng, selalu ada saja yang datang sebagai pahlawan. Dia adalah Mas Sufyan--suamiku. Dia datang dan menegurku yang tidak pernah berlaku adil padaku cucu, bahkan tanpa ragu memberi uang pada Salsa tanpa bisa ku cegah.

"Kita harus adil pada anak cucu, Bu. Bagaimana pun keadaan Arum, dia tetap istri dari Nasrul, menantu kita. Dan sampai kapan pun Salsa itu tetap cucu kita," kata Mas Sufyan.

Yang dikatakan suamiku itu memang benar, tetapi selalu membuatku jengah.

Bayangan perbuatanku di masa lalu yang selalu menorehkan luka di hati Arum itu datang begitu saja. Berkelebat di kepala layaknya sebuah film yang tengah diputar.

Kutatap Arum yang terus meneteskan air mata saat kutanya di mana cucuku berada. Bayangan buruk menghantuiku. Mungkinkah Salsa telah tiada. Allah ... Penyesalanku semakin dalam jika dia tiada karena aku yang tidak mau membantunya waktu itu.

Tanganku mengepal seiring dadaku yang semakin sesak. Aku tidak pantas disebut ibu. Aku tidak pantas mendapat gelar nenek karena telah membiarkan darah dagingku sendiri menderita. Mereka hidup kekurangan padahal aku sendiri hidup berkecukupan.

Jika Salsa telah tiada, di mana kuburnya? Ya Allah, sanggupkah aku melihat batu nisan bertuliskan nama Salsa binti Nasrul?

Tanganku terulur. Kuberanikan diri untuk menyentuh tangan Arum. "Rum ... Maafkan Ibu yang telah membuat kau kehilangan Salsa untuk selamanya. Ibu tahu tidak ada kata maaf bagiku, tetapi Ibu akan terus mengucapkan kata maaf itu. Jika perlu aku akan bersujud di kakimu," ucapku dengan suara timbul tenggelam karena terisak.

"Maksud Ibu apa? Kenapa bilang kami kehilangan Salsa untuk selamanya?" Arum mengusap pipi yang sebelumnya basah oleh air mata.

"Kamu menangis karena ingat dengan anakmu yang telah tiada, kan? Maafkan Ibu. Maaf. Seandainya Ibu mau membantumu memberi uang agar Salsa mendapat penanganan dokter dengan segera pasti dia masih ada di antara kita sekarang. Seandainya aku tidak menolak permintaan Nasrul pasti aku masih bisa memeluknya sekarang." Aku semakin tergugu.

Dahiku berkerut saat melihat seulas senyum terbit di bibirnya yang merah seperti buah ceri.

"Salsa baik-baik saja, Bu," kata Arum yang mendapat anggukan dari Nasrul.

"Iya, Bu. Anak kami baik-baik saja," sahut Nasrul.

Kuusap pipi yang basah dengan kasar. Kepencet hidung yang ikut mengeluarkan cairan. "Di--dia baik-baik saja? Jangan bohong, Rum, Nas! Kalau dia baik-baik saja kenapa kalian menangis saat kutanya dia di mana? Kalian bilang seperti itu hanya untuk menghibur diri, kan?"

"Kami tidak bohong, Salsa baik-baik saja," kata Nasrul. Dia lalu berdiri dan mengambil sebuah foto anak kecil yang memakai toga warna hitam layaknya seorang sarjana. Itu adalah foto saat wisuda taman kanak-kanak.

Aku terlalu asyik meratapi diri sehingga tidak melihat ada foto itu di dinding. Lekas kuci um dan kudekap erat foto itu.

"Katakan di mana dia sekarang. Ibu harus memeluknya meski Ibu tahu dia tidak akan mau dipeluk oleh seorang Nenek durjana sepertiku." Aku semakin mempererat pelukan foto itu dan menempelkan di hatiku.

Kami menoleh serempak saat mendengar pintu diketuk dibarengi ucapan salam dari luar. Seorang gadis kecil memakai baju gamis panjang warna biru muda lengkap dengan kerudung telah berdiri di sana. Di tangannya terdapat sebuah buku Iqro.

Jantungku berdegup kencang. Mataku kembali panas dan mungkin sudah bengkak sekarang.

"Salsa? Apakah dia Salsa cucuku?" tanyaku lirih dan hampir tidak terdengar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status