Share

Di Mana Cucuku

"Itu ayam goreng untuk Nella dan Erwin. Kamu cukup makan tahu tempe saja." Aku melotot saat melihat tangan Arum terulur untuk mengambil ayam di depannya.

Aku tersenyum lega saat melihat Arum mengurungkan niatnya mengambil ayam goreng. Waktu itu usia pernikahannya baru satu bulan dan aku sudah menabuh genderang perang padanya.

Nasrul yang duduk di sampingnya mengusap lengan sang istri. Meski tanpa kata, tetapi aku tahu ia meminta pada wanita yang sudah menjadi miliknya itu untuk bersabar.

"Jangan begitu, Bu. Ayamnya masih banyak. Biarkan saja Arum mengambilnya," kata suamiku.

Ini yang membuatku kadang merasa kesal. Pikiranku dan ayahnya Nasrul tidak sama. Dia mau menerima Arum sebagai menantu di istana kami sedangkan aku bersumpah tidak akan menerima wanita miskin itu menjadi bagian dari keluarga ini.

"Enggak bisa, Pak. Ayam ini khusus untuk anakku yang paling cantik dan pintar. Arum cukup makan tahu saja. Itu pun sudah cukup baik dan bergizi baginya," ucapku tidak mau kalah.

"Ibu benar, Pak. Saya makan dengan tahu saja. Ini juga bergizi, kok," kata Arum.

Seulas senyum terbit di bibir Arum meski aku yakin dalam hatinya tidak baik-baik saja. Iya, siapa yang tidak sakit hati jika sang mertua terang-terangan tidak menyukainya, tetapi itu adalah sesuatu yang sangat bagus bagiku.

Seribu satu cara telah kulakukan untuk memisahkan Nasrul dan Arum, tetapi tidak berhasil. Semua itu karena dia mendapat dukungan dari suamiku dan juga Nasrul.

"Kenapa Ibu tidak menyukai Arum padahal dia sudah berusaha menjadi menantu yang baik untuk kita," tanya Mas Sufyan waktu itu.

Waktu itu kami sedang berada di dalam kamar berdua.

Aku mencebik. Sejak Nasrul menikah dengan Arum, kami menjadi sering bertengkar. Aku dan dia sudah tidak sejalan. Suamiku menyukai Arum sedangkan aku tidak. Sampai m@ti pun tidak akan pernah menerima Arum sebagai istri dari Nasrul.

"Arum itu tidak selevel dengan kita, Pak. Dia hanya orang miskin. Tidak pantas tinggal di istana kita," ucapku dengan tangan bersedekap.

Mas Sufyan menyentuh tanganku dengan lembut lalu menggenggamnya erat. "Tidak boleh begitu, Bu. Kaya atau miskin sama saja. Harta itu hanya titipan."

Aku melengos mendengar ucapannya yang terasa seperti seorang penceramah. Terdengar basi di telingaku.

"Ibu malu sama teman punya menantu seperti Arum itu, Pak. Kenapa Bapak dan Nasrul sama-sama konslet otaknya sehingga bisa suka dengan Arum. Jangan-jangan kalian berdua sudah terkena pelet oleh wanita miskin itu, ya?

Bapak tahu sendiri, kan, kalau Ibu sudah berencana menjodohkan Nasrul dengan Puspita anaknya Bu Hajah yang kaya raya itu, tetapi dia malah nggak mau dan memilih Arum yang nggak jelas," ucapku kesal.

"Itu artinya Nasrul dan Puspita tidak jodoh, Bu. Sudahlah, mulai sekarang Terima Arum sebagai menantu. Sayangi dia layaknya seorang menantu, syukur Ibu bisa menyayanginya seperti anak kandung." Mas Sufyan kembali memberiku nasihat dan aku cukup memasukkan ke telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Abai.

"Kalau Ibu nggak mau!" Aku menatapnya tajam.

"Harus mau berusaha. Ingat, ya, Bu. Jangan membenci Arum berlebihan. Siapa tahu menantu yang Ibu benci itu yang akan merawat kita di hari tua kelak. Belum tentu Nella dan Erwin yang selalu Ibu manja itu akan melakukan hal yang sama pada Ibu pada suatu saat nanti," kata suamiku panjang lebar.

Aku tertawa. "Mana mungkin Arum yang akan merawatku nanti. Tinggal bersamanya saja Ibu tidak mau."

Suamiku menggelengkan kepala. "Terserah Ibu, yang penting Bapak sudah mengingatkan kalau Arum tidak seburuk yang Ibu kira."

Aku memejamkan mata kala ingatan percakapan dengan almarhum suamiku itu kembali terngiang di kepala. Dan ternyata ucapannya waktu itu menjadi kenyataan sekarang.

"Baiklah, Nas. Ibu bersedia memberimu pinjaman, bahkan kamu tidak perlu bayar alias Ibu memberimu uang secara cuma-cuma, tetapi dengan satu syarat," ucapku tenang.

Aku tersenyum saat pada akhirnya punya peluang untuk memisahkan Nasrul dan Arum. Dia datang ke rumah setelah sekian lama tidak pernah datang lagi dan kedatangannya membuatku senang. Akhirnya dia sadar kalau masih butuh aku sebagai seorang ibu.

Nasrul bilang Salsa sampai kejang sehingga harus dirawat di rumah sakit sementara ia tidak punya uang dan untuk mendapat perawatan, ia harus bayar uang muka dulu.

"Syaratnya apa, Bu?" tanya Nasrul.

Aku tersenyum kemenangan. "Tinggalkan Arum dan Salsa lalu menikah dengan Puspita. Bagaimana?"

Si@l, Nasrul menolak tawaranku dan sebagai konsekuensinya aku tidak mau memberinya pinjaman.

Entah bagaimana dia membayar biaya rumah sakit Salsa. Sejak saat itu, Nasrul tidak pernah datang ke rumah bersama Arum serta anaknya dan aku tidak peduli, bahkan aku tidak memberi tahu saat bapaknya meninggal meski ia tetap datang. Entah siapa yang memberi tahu padanya.

Mungkinkah Nasrul tidak berhasil mendapatkan pinjaman sehingga Salsa tidak mendapat pertolongan dari dokter?

Anak kecil yang dulu kubenci karena lambat perkembangannya itu sekarang ada di mana? Kenapa sejak aku datang ke sini dia sama sekali tidak menampakkan diri? Anak itu sekarang pasti sudah besar. Lima tahun sudah, Nasrul pergi dan tidak pernah kuketahui kabarnya lagi.

"Rum, di mana Salsa cucuku? Kenapa dari tadi Ibu tidak melihatnya?" tanyaku penasaran.

Nasrul dan Arum saling pandang. Perlahan tapi pasti, mata menantuku itu mengembun dan tidak lama bulir bening itu membasahi pipinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status