Share

Bab 2

DESAH DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 2

(judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)

"Maaf, Dek. Mas ga bisa." ucapnya sebelum pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Ruangan yang menjadi saksi perihnya hati setelah setahun menikah. Hakku sebagai istri gagal dia berikan. Pertarungan yang berakhir dengan menetesnya air mata, bukan peluh kenikmatan. Tak terasa kesabaranku sudah dua belas bulan berlalu. Pahit memang kenyataan ini. Apa aku menyerah saja?

Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, menghilang sesak di dada. Lalu menarik selimut untuk membungkus tubuhku yang tak lagi ditutupi baju. 

Air mata sudah kering rasanya. Ini bukan yang pertama kalinya Mas Hendra gagal menuntaskan pergelutan halal ini. Beberapa kali pernah dia mencoba, Namun disaat puncak dia menyerah, dan seperti biasa meninggalkanku dan pergi ke kamar sebelah. Aku dibiarkan sendiri hingga pagi hari.

Detak jantung belumlah normal, berharap apa yang kami lakukan akan membuahkan hasil dan mematahkan anggapan orang-orang bahwa aku wanita yang tak subur. Bagaimana ladang akan menghasilkan, jika tak pernah digarap dan ditanami.

***

"Sarapan dulu, Mas?" 

Seperti biasa, pagi hari kami melakukan kegiatan tanpa menyinggung kejadian tadi malam. Seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.

"Hayuk, makan bareng, Dek." ajaknya sambil meraih sebuah piring dan menyendokkan makanan ke dalamnya.

"Aku belum lapar, Mas." sahutku malas. Mas Hendra menatapku lekat lalu kembali menunduk, lelaki itu sepertinya juga menyesal.

"Mau kemana?" tanyanya, aku menoleh.

"Aku mau duduk di depan." 

"Suami lagi makan, kok ditinggal?"

Aku menghela napas dalam-dalam. Lalu kembali menjatuhkan bobot tubuh di kursi depan Mas Hendra.

"Untuk yang semalam, Mas minta maaf." desisnya.

"Aku lelah, Mas. Sudah setahun kita menikah. Bahkan, aku ... " kalimat itu mengantung di udara. Bibirku tak sanggup melanjutkan ucapan yang sesungguhnya sangat menyakitkan. Suaraku bergetar menahan emosi.

"Mas, minta maaf. Kita nanti coba lagi." 

Mas Hendra menyesap teh hangat di hadapannya, lalu berdiri, meraih tas kerja disamping dan mendekatiku.

"Mas berharap Adek, bisa bersabar."

Mas Hendra meraih tubuhku lalu memeluknya. Tak terasa cairan hangat turun begitu saja dari mataku. Wanita mana yang tahan dengan rumah tangga seperti ini. Aku telah mencintainya, tapi aku juga butuh nafkah batin. Meninggalkannya rasanya aku tak sanggup, bukan karena rasa ini. Tapi, khawatir dengan hubungan persahabatan Papa dan Ayahku renggang. 

Lagi pula meskipun Mas Hendra belum berhasil memberikan hakku. Tapi, dia tak pernah melalaikan kewajiban yang lain. Perhatian dan selalu mencukupi kebutuhanku, tentu saja selain yang itu.

Lelaki itu akhirnya berangkat kerja, setelah aku memberikan seulas senyum, tanda jika aku sudah mengikhlaskan semua. Walau, kadang ikhlas hanya di bibir saja, sedangkan hatiku masih sulit menerima.

[Mel, aku sebentar lagi sampai. Ini lagi beli rujak. Nanti kita sekalian ngerujak. Ada Tya juga.]

Pesan dari Rasti, rekan kerja Mas Hendra dulu yang sekarang juga menjadi sahabatku, sejak menikah Rasti memilih menjadi ibu rumah tangga sepertiku.

[Wah, tumben ngerujak. Kamu lagi isi ya, Ras?] tanyaku penasaran.

[Enggak! lagi pingin aja.] balasnya sambil menyisipkan emoticon tersenyum dibelakang kalimat.

Beberapa menit kemudian Rasti dan Tya datang. Obrolan heboh pun tak terelakkan, aku memang merasa cocok berteman dengan Rasti. Orangnya rame dan nyaman di ajak bercerita.Tya yang merupakan sepupu Rasti lebih banyak diam. Gadis itu baru pertama kali datang kesini. Sambil memakan rujak kami bicara banyak hal. Rasti yang sudah tahu jika aku sampai saat ini masih peraw*n itu ragu-ragu menanyakan keadaanku.

"Masih belum, Mel?" 

Aku yang sudah paham maksud Rasti hanya menggeleng. Rasti menghela napas panjang.

"Apa kamu sudah menyelidiki Hendra?" ucapnya ragu-ragu.

"Maksud kamu?" mataku menatap lekat Rasti.

"Hmm ... maaf sebelumnya, Mel. Aku bukannya mau su'udzon sama suami kamu. Tapi, jika sampai saat ini Hendra masih bertahan seperti itu, aku rasa ada yang tidak wajar lho Mel. Secara kamu ini istrinya, kamu cantik, tak ada kurangnya, menurutku. Lelaki normal pasti akan tergoda jika tidur berdua dengan perempuan secantik kamu." 

Aku terdiam, memang aku juga pernah berpikir seperti itu. Tapi, aku enggan untuk mengulas apa yang ada dalam benakku itu. 

"Kamu ga pernah menemukan hal yang ganjil?" lagi-lagi aku menatap Rasti lalu menggeleng lemah. Selain Mas Hendra yang suka tidur di kamar sebelah dan suara des*han itu, rasanya semua normal-normal saja.

"Apa suami kamu pernah pulang malam? atau tak pulang sama sekali?"

Kepala ini kembali menggeleng. Mas Hendra selalu pulang tepat waktu. Hari libur kami habiskan berdua, jalan-jalan ke taman kota. Kadang ke rumah Mama Mas Hendra atau kerumah Abah.

"Ponselnya di pasword?"

Aku menggeleng lagi. Ponsel Mas Hendra sering tergeletak di atas meja. Pernah aku memeriksanya, tapi semua chattingan hanya persoalan pekerjaan.

Rasti terdiam, seperti sedang berpikir keras.

"Bersabar dulu, Mel. Aku yakin, Hendra punya alasan sendiri. Dia laki-laki baik kok. Selama menjadi rekan kerja dia dulu, Hendra satu-satunya laki-laki yang tak neko-neko, tak pernah ikut-ikutan yang lain."

"Iya, Ras. Makasih, ya. Mungkin Mas Hendra masih butuh waktu untuk melakukan hal itu." tuturku menghibur diri sendiri.

Rasti mengenggam tanganku erat lalu tersenyum.

"Bersyukur punya suami seperti Hendra, Mel. Sangat beda dengan Mas Yogi. Dia tak pernah menghargai aku sebagai istri." Rasti bercerita panjang. 

Rumah tangga Rasti yang tak baik-baik saja, membuat kabut diwajahnya sangat ketara. Begitulah kami, saling menguatkan ditengah badai yang menerpa kehidupan, meski biduk ini masih seumur jagung.

****

Setelah kepulangan Rasti dan Tya, aku bergegas merapikan rumah. Tadi, Mas Hendra sempat mengirim pesan jika Mama dan Mbak Widya, Kakaknya Mas Hendra akan berkunjung kesini. Mbak Widya yang punya bayi berusia enam bulan itu rindu pada adiknya, begitu yang kudengar. Kakak iparku yang kebetulan lagi main ke Jakarta itu memang dekat denganku dan Mas Hendra. Dia Kakak yang sangat baik. Walau jarak Bandung dan Jakarta lumayan jauh, Mbak Widya selalu menyempatkan diri silaturahmi ke rumah kami.

Beberapa masakan kusiapkan untuk menyambut kedatangan mereka. Tepat jam satu siang Mama dan Mbak Widya datang. Senyum dan obrolan hangat mewarnai pertemuan kami siang itu.

"Sehat, Mel?" tanya Mbak Widya ramah.

"Alhamdulillah sehat, Mbak. Mbak gimana? duuh lucunya, Acha." sahutku sambil mencolek pipi Acha anak Mbak Widya, gemas.

"Alhamdulillah Mbak juga sehat." 

"Boleh aku gendong Acha, Mbak?"

Mbak Widya tersenyum lalu mengangguk, tangannya terulur sambil menyerahkan Acha padaku.

"Makanya kamu buruan hamil dong, Mel. Sudah setahun lho ini. Mama juga ingin punya cucu dari kalian." pelan tapi menikam. Andai Mama tau.

"Do'akan Melody dan Mas Hendra segera punya momongan, Ma." cicitku.

"Santai aja, Mel. Nikmati saja kebersamaan kalian dulu, nanti kalau sudah punya anak, susah mencari waktu sekedar untuk pacaran." Mbak Widya mencoba membelaku.

"Keburu tua nanti. Jangan egois, kalau sudah menikah ya harus terima konsekuensi menjadi seorang ibu." sengit Mama.

Aku terdiam, Mbak Widya menepuk pundakku pelan seolah sedang memberi kekuatan. Seulas senyum kulempar padanya, lewat itu aku mengatakan

bahwa aku baik-baik saja.

Sampai Mas Hendra pulang, berbagai nasehat Mama lontarkan juga berbagi tips yang menurut Mama akan mempercepat proses kehamilan. Aku hanya mengiyakan, walau tips ampuh itu aku praktekkan, tetap saja hasilnya akan nihil. Karena hal utamanya tidak dilakukan.

"Mas, Mama minta cucu!" ketusku setelah Mama dan Mbak Widya pulang.

Berharap dia menarikku ke kamar. Tapi, yang ada laki-laki itu mengusap wajahnya kemudian berlalu ke kamar sebelah yang menjadi kamar pribadinya, lalu mengunci pintu.

Pikiran-pikiran buruk kembali memenuhi pikiranku.

Apa suamiku seorang laki-laki yang memiliki kelainan dan mencintai sesamanya?

Huff!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status