Share

Bab 4

DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 4

(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)

"Boleh lihat sapu tangannya, Mas?"

Mas Hendra tampak salah tingkah. Lalu dengan cepat memasukan kembali sapu tangan itu ke saku celananya.

"Kotor, Sayang. Hayuk, makan lagi." dia sengaja mengalihkan perhatian.

"Kamu dapat dari mana sapu tangan itu, Mas?" selidikku lagi.

"Mas beli, buat ngelap keringat kalau tak ada tissu." kilahnya lalu kembali menyuap makanan didepannya.

Aku menghela nafas panjang, aku ingat betul sapu tangan itu milik Rasti. Dia tak bisa lepas dari kain bersegi empat itu. Apalagi ada sablon merah berukir gambar hati yang sama dengan sapu tangan Mas Hendra.

Sejak apa yang dikatakan Rasti agar aku lebih memperhatikan gerak-gerik Mas Hendra, dan mencari tahu jika ada hal yang disembunyikan olehnya, perasaan curiga mulai mendominasi. Ada rasa khawatir, jika Mas Hendra kaum belok yang mempunyai orientasi s*ksual ke sesama jenis. Tapi, melihat sapu tangan yang dia pakai hari ini rasa curigaku kembali terarah ke yang lain. Sepertinya dia punya hubungan dengan mantan rekan kerjanya itu. Darahku rasanya terpompa dengan cepat. Aku merasa wanita paling bodoh yang telah salah memberikan kesetiaan pada lelaki yang tak tau diri ini.

"Dek!"

"Hmm... ya, Mas!" aku tersentak.

"Kok melamun?" 

"Enggak, kok!" jawabku asal. Aku kembali menghirup napas dalam-dalam, emosi ini tak boleh mengacaukan rencana.

"Soal semalam aku minta maaf." lanjutku ragu-ragu.

"Tak apa-apa, Mas yang seharusnya minta maaf sama kamu. Mas yang salah. Semoga kamu mau bersabar ya, Dek."

Aku mengangguk.

"Tadi siapa, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Yang mana?"

"Yang tadi datang bersamamu." 

Mas Hendra menghentikan suapannya.

"Oh, Ata. Dia teman Mas, karyawan baru disini. Athaya, namanya." jawabnya santai.

"Apa dia sudah menikah?" tanyaku lagi. Wajah Mas Hendra berubah. Astaga, aku baru sadar semalam aku menuduhnya seorang g*y.

"Maaf, kalau kamu ga suka dengan pertanyaanku, aku tak bermaksud apa-apa." kataku, kemudian menunduk sungkan.

"Tak apa-apa, Mas ngerti arah pembicaraanmu. Ata sudah menikah dan punya anak." 

"Syukurlah." lirihku. Setidaknya aku tak jijik sekiranya mereka adalah pasangan kekasih.

"Apa kita periksa ke dokter, Mas? aku khawatir kamu punya masalah kesehatan." setelah sekian lama menjadi istrinya, baru kali ini aku berani mengatakan hal ini. 

"Kamu tak perlu risau, Mas akan atasi masalah kita." suaranya terdengar berat. Sebenarnya ada masalah apa? apa yang disembunyikan oleh Mas Hendra. Setahun menikah, rasanya dia masih menjadi orang lain bagiku. Pernikahan ini hanya sebatas status, hidup dalam satu atap namun hati berjauhan. Meski Mas Hendra telah mencoba mendatangiku, mencoba mesra, tapi nyata ada sebuah penyekat yang menghalanginya untuk menjadi suamiku seutuhnya.

****

Aku kembali ke rumah dengan hati yang dipenuhi tanda tanya. Sapu tangan? laki-laki bernama Athaya, tapi setidaknya teman Mas Hendra itu punya istri. Tak mungkin kan, dia menjadi kaum belok. Apalagi sudah punya anak. Walau tidak menutup kemungkinan.

Penat rasanya, aku melangkah ke kamar. Mencari kunci kamar sebelah yang selalu disembunyikan oleh Mas Hendra. Sudah ke semua sudut, bahkan aku memeriksa pakaian kotor yang tadi pagi teronggok dibelakang. Barangkali kunci itu terselip di sana, tapi nihil.

Kembali ke ruang tengah menghempas bobot tubuh di sofa. Apa yang harus aku lakukan. Semua jawaban ada di kamar itu. Aku yakin ada sesuatu yang di sembunyikan Mas Hendra dariku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi.

[Mel, gimana Hendra?] pesan dari Rasti.

Keningku berkerut. Apa maksudnya nanyain Mas Hendra? 

[Gimana apanya?]

[Itu, kamu pasti paham maksudku. Kalian sudah malam pertama kan?]

Moodku mendadak buruk. Jika biasanya aku akan mencurahkan isi hatiku pada Rasti, tapi kali ini aku merasa telah salah menceritakan masalah rumah tanggaku pada mantan rekan kerja Mas Hendra itu.

[Mel ... kok ga dibalas? aku ke sana yaa ...]

Ya Allah, aku belum sanggup bertemu Rasti ketika rasa curiga ini mengarah padanya.

[Eh, Ras. Aku mau kerumah Ayah. Lain kali aja kita ketemuannya, Oke!]

Balasku cepat, tentu saja dengan mengabaikan pertanyaan yang sebelumnya.

[Oh gitu? Hendra ikut?]

Lagi, pertanyaan perempuan ini membuat rasa di hatiku kian memburuk. Jika tak ingat kebaikannya selama ini, tentu sudah aku balas dengan umpatan dan cacian.

[Belum tau!]

Balasku singkat. Lalu mematikan data seluler dan menaruh ponsel di atas meja. Mengusap wajah lalu melepaskan jarum dileher yang menyematkan kerudungku. Gerah! ga hanya cuaca tapi juga hatiku.

Perkenalan dengan Rasti saat hari pernikahanku dengan Mas Hendra mengantarkan hubungan kami kian dekat. Rasti sering main kerumah di hari libur. Saat itu dia belum menikah dengan Yogi, lelaki yang sekarang menjadi suaminya.

Kedekatan Mas Hendra dan Rasti masih kurasa hanya sebatas teman. Tak ada curiga sama sekali, bahkan saat Mas Hendra sakit beberapa bulan lalu, Rasti ke rumah mengantarkan bubur ayam langganan Mas Hendra padahal jarak rumahnya dengan pedagang bubur itu lumayan jauh. Ya Allah, bodohnya aku. Kenapa sama sekali tak terpikirkan jika Rasti punya hati buat suamiku.

Aku kembali meraih ponsel.

[Mas, nanti kita kerumah Ayah, ya. Aku rindu sama Ayah.] ketikku. Kepalaku terasa mau meledak jika terus dirumah ini.

[Tumben, dadakan?]

[Iya gapapa, lagian besok Mas kan libur.] 

[Oke.]

Lega, Mas Hendra tak keberatan mengantarkan aku kerumah Ayah. Hanya disana aku bisa menenangkan pikiran yang sedang runyam ini.

Sepulang kerja setelah istirahat sebentar, kami langsung berangkat. Jarak Jakarta Bogor tak begitu jauh, tapi jalanan yang biasanya macet akan menghambat perjalanan kami. 

Di dalam mobil kami sama-sama hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tak terasa setelah beberapa saat kami sampai dirumah Ayah. Wajah Ayah tampak kaget saat melihat kedatangan kami. Jam segini Ayah memang terbiasa duduk diruang tengah sambil membaca buku. Mendengar suara mobil Ayah pasti langsung membuka pintu, siapa lagi yang datang, kalau tidak aku. Senyum merekah diantara bibirnya yang tak pernah

tersentuh tembakau itu

"Assalamualaikum, Ayah." aku meraih tangan Ayah dan mencium takzim. Begitu juga dengan Mas Hendra.

"Wa'alaykumussalam ... tumben kesini ga ngabari Ayah?" katanya sambil mengajak kami masuk.

"Kangen, Ayah." sahutku.

"Kirain sudah lupa sama Ayah." ledeknya lalu terkekeh.

"Ayah cinta pertama Melody, gimana mau lupa." jawabku sambil merebahkan kepala dilengannya. Aku mengusap kepalaku sejenak.

Seperti biasa aku langsung ke belakang membuatkan teh hangat buat Mas Hendra. Lelaki itu kini asik ngobrol dengan Ayah.

"Gimana kabar Papamu, Nak?" tanya Ayah.

"Alhamdulillah baik, Yah." 

"Lihat kamu, Ayah jadi ingat Papamu, Nak. Kebaikannya belum bisa Ayah balas. Ayah malu rasanya udah setua ini masih saja gagal." 

"Jangan gitu, Yah. Biar Allah saja yang membalas kebaikan Papa. Ayah cukup mendo'akannya saja. Papa selalu bilang, jika Papa ikhlas membantu Ayah. Ayah tak perlu menganggapnya sebagai hutang."

Tiga cangkir teh aku simpan di atas meja, kemudian ikut duduk disamping Mas Hendra.

"Menurut Hendra, Ayah itu seorang laki-laki yang sukses. Sukses mendidik Melody menjadi seorang istri yang berbakti pada suami." Mas Hendra meraih tanganku lalu mengenggamnya erat. Hatiku menghangat walau sejatinya dia sedang sekarat.

"Dan lihat pesantren yang Ayah kelola juga berkembang pesat."sambungnya.

"Semua juga lewat bantuan Ayahmu, Hend."

Ayah tersenyum lebar, Mas Hendra memang selalu pandai menaklukkan hati Ayahku.

Obrolan berlangsung hangat, hingga akhirnya Ayah menyuruh kami untuk istirahat karena sudah larut malam.

Mas Hendra langsung merebahkan diri di ranjang. Sementara aku masih didepan meja rias membersihkan wajah sambil memandang pantulan diriku dari cermin.

"Malang nian nasibmu Melody, ingin pergi tapi kakimu dirantai besi emas tak kasat mata. Bertahan, lama-lama kamu bisa gila." aku mengejek bayangan yang ada disana. 

Ting!

Kepalaku sontak melirik ke arah ponsel Mas Hendra yang menyala di atas nakas. Malam-malam begini siapa yang mengirimkan pesan. Aku beranjak dan meraih ponsel itu. Benda pipih yang tak pernah dikunci oleh Mas Hendra. Cekatan aku membuka pesan dalam aplikasi hijau itu.

[Kamu sudah sampai? Gimana perjalanannya? Selamat liburan, ya! ingat pesanku.]

Pesan dari Rasti dengan menyisipkan emoticon mengedipkan mata sebelah dibelakangnya.

Perempuan itu lagi. Apa ini yang namanya pagar makan tanaman? Sahabat menjadi penjahat?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status