Aku terduduk, langsung meraih ponselku. Memeriksa rekaman cctv di kamar sebelah.Ternyata benar dia ada disana. Kedua tangan reflek menutup mulut saat melihat apa yang dilakukan Mas Hendra.Lelaki itu membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Kedua tangan terus meremas rambutnya kasar."Ya Allah ..."Ingin rasanya aku menghampiri Mas Hendra. Tapi, khawatir nanti dia akan tahu jika aku mengetahui apa yang dia lakukan di sana. Aku terus memperhatikan laki-laki itu. Dia menghentikan gerakannya lalu meraih tas kerja yang ada di atas meja. Mengambil sesuatu yang ada di kantong putih, lalu meminumnya, sepertinya dia meminum obat pereda nyeri lagi. Sakit apa suamiku?Lelaki itu kemudian meraih laptop dan menyalakannya. Dia sudah duduk di depan laptop dan sedang menunggu benda itu menyala, dari sini terlihat dia sedang sangat galau. Menyapu rambut dari depan ke belakang lalu kembali lagi mengusap wajahnya. Setelah laptop menyala Mas Hendra kembali menutup benda itu lalu menunduk sambil memega
"Belum saatnya kamu tahu, Dek. Lagi pula ini aib untuk Mas dan keluarga kami. Cukup Mas saja yang menanggung semua ini. Kamu bantu do'a, agar Mas bisa menjadi lelaki sejati.""Maksud, Mas?" suaraku sedikit meninggi. Rasa penasaran membuncah, apa susahnya sih bicara pada istri sendiri."Sudahlah. Yuk, tidur. Kamu pasti lelah. Mas, janji nanti akan membuatmu lelah karena harus mengurus anak-anak kita." bisiknya."Soal Rasti, dia bukan selingkuhan, Mas. Percayalah kamu perempuan satu-satunya yang akan Mas cintai."Degh!Rasti mengadu pada Mas Hendra, dan lelaki ini tidak memarahiku? Aku merasa malu."Maafkan aku, Mas. Telah menuduhmu dan Rasti memiliki hubungan spesial."Mas Hendra tersenyum."Wajar jika kamu berpikir seperti itu, Mas tidak marah. Mas mengaku salah. Saat ini Mas sedang berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Bantu, Mas. Dan tolong tak usah bertanya lagi."Aku terdiam, sementara Mas Hendra mulai merebahkan diri disampingku. Tak lama laki-laki itu tertidur pulas. Mataku te
Hotel? buat apa Mas Hendra ke hotel? dan dia ga kerja tanpa sepengetahuanku. Aku menghembuskan napas berat. Baru saja hendak mengecap bahagia. Sebuah kenyataan memupuskan harapan. Dengan cepat aku memesan taksi online menuju hotel dimana keberadaan Mas Hendra terdeteksi. Lumayan jauh dari sini. Tak masalah yang penting aku bisa mengetahui apa yang dikerjakan Mas Hendra di hotel itu. Jalan yang tak begitu ramai membuat perjalananku lancar. Hanya sejam saja mobil sudah sampai di halaman di titik hotel yang ditunjukkan dalam layar ponselku. Setelah membayar sewa mobil aku bergegas masuk ke lobby. Semoga aku tak dipersulit oleh resepsionisnya. "Mba, Maaf saya mau tanya. Apa ada tamu atas nama Bapak Maulana Hendrawan?" Perempuan itu menatapku heran. "Saya istrinya, ada yang mau saya antarkan padanya." lanjutku cepat sebelum perempuan yang memakai kerudung putih itu bertanya. "Oh, sebentar saya cek dulu, ya." Aku mengangguk lalu mengulas senyum. Mataku menatap ke sekeliling. Berharap
Kakiku terasa tak menapak dibumi. Kesalahan apa yang aku lakukan ya, Allah. Hingga ujian ini begitu berat Kau berikan. Air mata terus saja mengalir, dadaku terasa tertindih beban yang sangat berat, hingga rasanya aku sangat sulit untuk bernafas. Aku bergegas keluar dari gedung tinggi yang menjadi saksi perihnya luka yang ditorehkan oleh suamiku. Tak peduli pandangan orang-orang yang melihatku aneh, berlarian dengan air mata masih menghujam.Kaki terus menyusuri jalanan sambil menatap mobil yang berlalu lalang. Memesan taksi online rasanya akan memakan waktu lama, aku khawatir Mas Hendra akan menyusulku. Dari jauh sebuah taksi berwarna biru melaju ke arahku, sontak saja aku melambaikan tangan. Beruntung taksi dalam keadaan kosong. Aku lekas naik dan menyebut alamatku. Lalu kembali larut dalam tangis. Jalanan yang mulai padat menyebabkan aku telat sampai dirumah, meminta sang supir menunggu sejenak. Aku masuk masuk kerumah, mengeluarkan koper besar milikku. Memasukkan pakaian ke dalam
"Melody?" Wajah itu tampak kaget, karena memang aku tak bilang jika hari ini aku datang."Assalamualaikum, Wa." ulangku mengucapkan salam."Eh, sampai lupa balas salam. Wa'alaykumussalam warahmatullah ...Hayo, Mel masuk." ajaknya.Aku pun masuk ke rumah dimana dulu aku sering main ke sini sepulang kuliah. Banyak kenangan yang begitu manis disini. Masa-masa menjadi Mahasiswi yang tak akan terulang lagi. Dulu sewaktu Ibunya Salwa masih hidup, dia sangat senang saat aku datang."Ibu kepengen kamu jadi mantu Ibu lho, Nak." aku hanya menanggapi dengan senyum malu. Secara Ka Hamzah, anaknya yang merupakan Abang dari Salwa juga ada disana."Ih, Ibu, orang masih kuliah kok!" sahut Salwa."Tapi, kalau Melody mau sama Kak Hamzah, sih. Salwa seneng banget. Iparku adalah temanku." lanjutnya sambil cengengesan dengan mata melirik ke arahku. Bisa dibayangkan wajahku memerah malu, saat itu. Lelaki didepanku juga tak membantah, malah ikut melebarkan senyuman."Heh! ngelamun!" Salwa menepuk pundakku.
Aku dan Salwa saling pandang. Rasanya malu jika masalah rumah tanggaku diketahui oleh Kak Hamzah yang lamarannya pernah ditolak Ayah karena Ayah sudah terlanjur menyetujui perjodohanku dengan Mas Hendra."Nanti aku ceritakan, Kak."sahut Salwa yang membuat laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, silahkan. Nanti, Kakak akan tidur di mesjid sekalian bantuin Mang Eman disana.""Maafkan saya, Kak." lirihku."Tak apa-apa. Nikmati pertemuan kalian." sahutnya kemudian berlalu ke kamarnya.Salwa melempar senyum padaku, seolah berkata semua baik-baik saja. ***Aku sudah rebahan di kamar Salwa. Kamar yang begitu mengundang kenangan."Mel, kamu sudah ngasih tau Ayahmu?"Salwa memang sudah kenal dekat dengan Ayah."Jangan dulu lah, Mel. Aku ingin menenangkan diri sejenak."Salwa pun mengangguk lalu tersenyum. Tak lama dia keluar, sedangkan aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya.Aku terbangun ketika matahari sudah terbenam."Mel, bangun dulu, yuk udah adzan. Nanti kita makan baren
POV Hendra"Dek ...! tunggu! Mas bisa jelaskan." Melody tak menghiraukan panggilanku. Perempuan yang telah kunikahi selama setahun itu terus berlari keluar kamar hotel, jelas kulihat matanya penuh luka. Air mata juga deras mengalir di pipi. Ya Allah, apa yang telah aku lakukan. Seharusnya aku punya keberanian untuk berterus terang pada Melody. Tapi, rasa malu lebih mendominasi. "Kamu kemana, Ndra?" tanya Ata dengan wajah cemas, wajar saja proses pengobatan baru saja akan dilakukan. Tapi, aku sudah bersiap hendak pergi.Merapikan baju yang tadi sempat dibuka. Melody pasti berpikiran aneh-aneh melihat keadaan ini."Aku mau menyusul Melody?" jawabku singkat."Lalu gimana dengan Ki Ageng?" Aku tak menjawab. Dengan cepat mengemas semua barang-barang milikku. Tak banyak, hanya tas kerja berisi satu stel baju ganti dan ponsel yang masih terhubung ke charger-nya."Jangan terburu nafsu, Nak. Selesaikan dulu semuanya. Nanti jika jin jahat yang telah masuk ke dalam tubuhmu saya musnahkan. Bar
"Saranku lebih baik kamu berterus terang. Jangan sampai Melody melihat sendiri apa yang kamu lakukan dikamar itu.""Tak mungkin Ras, kuncinya selalu aku bawa. Melody tak akan pernah bisa masuk ke sana."Rasti tertawa mengejek."Kamu kira Melody wanita bod*h? seorang wanita bisa melakukan apa saja ketika dia merasa dirinya teracam, atau merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui." tuturnya."Gampang mencari tukang kunci lalu memasang kamera di rumah yang sudah menjadi daerah kekuasaannya itu, Ndra!" lanjut Rasti.Aku memijit kening. Kepalaku mulai terasa sakit. Sangat sakit, hingga aku berjalan sempoyongan dan akhirnya muntah di toilet. Saat itulah aku diberikan sapu tangan oleh Yogi, kain segi empat milik Rasti yang kemudian membuat Melody menaruh curiga pada Rasti. Sejak perkataan Rasti itu aku mulai menelisik setiap sudut, aku melihat sebuah benda aneh menempel di plafon. Sekilas tak akan tampak, tapi jika diperhatikan dengan seksama, sangat jelas itu sebuah kamera mini.***Semua b