Share

Bab 3

DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 3

(judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)

Aku mendobrak kencang kamar Mas Hendra. Namun sama sekali tak mempengaruhi. Emosi menguasai, sekuat tenaga kuhantam kayu yang menutupi ruangan yang menjadi tempat dia melarikan diri dari masalah itu. Selama ini aku selalu berusaha memahami, mungkin disana Mas Hendra dapat menenangkan pikiran. Tapi, makin kesini, lelaki itu makin betah berlama-lama di dalam sana. Bahkan tega meninggalkan aku tidur sendiri. 

"Mas! buka!" teriakku. Kesabaranku benar-benar diuji. Sejam aku menunggunya, sengaja memakai pakaian dengan lengan terbuka dan berbahan tipis untuk memancing jiwa kelelakiannya. Namun, Mas Hendra seakan sengaja menghindar. Apa yang kulakukan tak mengubah apa-apa, pintu itu kokoh berdiri seperti biasa. Sesak di dada kian terasa, aku hanyalah seorang wanita, pintu berbahan jati ini tak akan mampu aku taklukkan sendiri.

Beberapa menit berlalu pintu perlahan terbuka. Wajah Mas Hendra memerah, keringat mengucur di pelipisnya.

"Sedang apa kamu di dalam Mas?" tanyaku tajam, lalu memaksa masuk sehingga tubuh Mas Hendra terdorong ke tepi.

"Mas sedang kerja. Kamu lihat sendiri kan?"

Aku berjalan pelan, memperhatikan setiap sudut ruangan itu, semua terlihat rapi tak ada yang mencurigakan, lagi pula apa yang aku curigakan? tak mungkin Mas Hendra dikamar ini dengan seorang perempuan kan? Laptopnya terlihat menyala di atas meja. Selain sprei yang tampak acak-acakan semua normal normal saja. Mungkin Mas Hendra tiduran disana sehingga tempat tidurnya berantakan. Jendela juga terkunci rapat.

"Maaf, Mas tadi ketiduran sebentar." ujarnya sambil membereskan alas tidur.

"Ada apa, Dek?" tanyanya. Mata itu tak berani menatapku.

Aku mendekat, memangkas jarak dengan laki-laki yang terlihat salah tingkah itu. Sengaja kukalungkan kedua tangan dilehernya, rambut yang tergerai panjang kugoyangkan perlahan. 

"Kamu tak tergoda sama sekali denganku, Mas?" ujarku manja tapi penuh penekanan.

Mas Hendra gelagapan, berusaha melepaskan diri dari pagutanku.

"Apa-apaan sih, Dek?" 

Aku tak memperdulikan, diri ini sudah sangat lelah dengan lelaki yang setahun ini hidup bersamaku.

"Hayo lah, Mas. Kita ini sudah halal. Aku risih terus-terusan ditanya kapan punya anak oleh orang-orang?" aku terus memagut Mas Hendra. Lelaki itu berusaha melepaskan tanganku, wajahnya memerah. Aku tau dia antara sedang menahan diri dan ingin melepaskan hasr*t.

"Apa kamu tak malu, kalau orang tau jika aku masih peraw*n, Mas? apa kamu seorang g*y Mas! sehingga tak bisa memberikan nafkah batin padaku? kamu h*m*, apa begitu?!" kali ini rasa sakit mengalahkan akal sehatku aku tak peduli racauanku menyakiti hatinya. Serangan demi serangan terus aku lancarkan, meski sebenarnya aku merasa menjatuhkan harga diriku sebagai wanita.

"Cukup Melody!" bentaknya.

Mas Hendra mendorongku kasar hingga tubuhku terjengkang ke ranjang. Lelaki itu mendengus kemudian berlalu tanpa berkata sepatah katapun. Aku tergugu, baru kali ini rasanya benar-benar tak punya harga diri. Mengemis demi mendapatkan sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hakku. Aku remuk, hatiku hancur. Hidup ini terasa tak ada artinya.

Aku terisak menahan emosi yang kian meledak-ledak. Entah sudah berapa lama aku menangis, kepala terasa berat. Tapi, tak ada tanda-tanda Mas Hendra akan menemuiku sekedar minta maaf atau apalah itu. Akhirnya dengan langkah berat aku meninggalkan kamar, dan pindah ke sebelah. Ruang tamu sepi, lampu juga sudah mati. Entah kemana perginya Mas Hendra, aku tak peduli lagi. Segera merebahkan diri dan menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang masih tertutup pakaian tipis yang sengaja kubeli secara online untuk menyenangkan hati suami. Namun, nyatanya hanya membuat luka dihatiku kian mengangga.

****

Aku terbangun ketika matahari mulai meninggi. Lekas beranjak ke kamar mandi. Berwudhu lalu menunaikan shalat subuh meski waktunya sudah terlewati. Tapi, menurut ceramah yang aku dengar kita boleh tetap shalat jika benar-benar ketiduran atau memang dalam udzur yang dibenarkan.

Usai sholat gegas keluar kamar, tak ada Mas Hendra. Aku membuka kamar sebelah, tapi sudah terkunci seperti biasa jika dia sedang pergi. Katanya kamar itu kamar pribadinya, selain untuk membersihkan, aku tak boleh masuk. Tapi, tetap saja aku tak pernah punya kesempatan berlama-lama disana, karena kamar itu selalu dibersihkan sendiri oleh Mas Hendra. Kuncinya pun aku tak tau dia simpan dimana, atau memang selalu dibawa. 

Aku meraih ponselku. Beberapa kali pesan kutulis lalu kuhapus kembali. Gengsi rasanya lebih dahulu menanyakan keberadaannya. Walau aku sangat penasaran kemana dia semalam, dan pagi ini pergi tanpa membangunkanku terlebih dahulu. Kuusap wajahku kasar. Apa terlalu berlebihan kata-kataku semalam?

Tiba-tiba saja penyesalan menyusup dalam. Aku merasa telah begitu tega melukai hati suamiku sendiri. Walau diri ini sejatinya lebih dirundung nestapa. Aku menghela napas panjang, baiklah aku mengalah. Untuk menebus kesalahan, aku berniat memasak ayam bakar kesukaan Mas Hendra dan mengantarkannya ke kantor. Sengaja aku tak mengabari dirinya. Biar menjadi kejutan nantinya.

Meski masih sedikit pusing, aku memaksakan diri untuk belanja lalu mengolahnya menjadi masakan penuh cinta.

Tepat jam sebelas masakanku selesai, gegas kumasukkan ke dalam kotak makanan. Tak lupa memasukkan beberapa buah yang sudah kupotong ke dalamnya. Tinggal mandi dan dandan sederhana saja.

Setelah semua dirasa cukup, aku memesan taksi online. Tak menunggu lama, mobil yang kusewa datang. Hati ini rasanya berdebar, setelah semalam aku merendahkan diri kini aku kembali menurunkan ego agar masalah ini tak berkepanjangan. Aku cukup sadar, aku hanyalah seorang istri yang sedang berusaha menaklukkan hati lelaki yang ridho-nya menjadi sebuah syarat untuk masuk ke Syurga.

Sejam perjalanan taksi pun sampai di depan sebuah gedung tinggi, dimana Mas Hendra bekerja sebagai seorang akuntan.

Beberapa karyawan tampak keluar dari gedung itu, sepertinya pas sekali jamnya makan siang. Setelah membayar taksi aku bergegas turun dan berjalan menuju lantai lima dimana Mas Hendra bekerja.

Berkali-kali aku tersenyum sendiri. Mungkin tepatnya sedang menertawai kebod*han diri ini. Bagaimanapun aku tak bisa berbuat sesuai nafsuku. Rumah tangga ini harus tetap utuh, meski hati tak lagi sesempurna dulu. Apa jadinya jika aku menyerah, pasti banyak yang akan aku kecewakan.

Saat hendak mengetuk pintu ruangan Mas Hendra.

"Mbak Melody mencari Pak Hendra, ya?" sapa seorang perempuan yang sudah kukenal sebelumnya. Dia Mbak Indah, teman kerja suamiku aku pernah kenalan saat perusahaan mengadakan family gathering beberapa bulan lalu.

"Iya, Mbak. Apa Mas Hendranya ada?"

"Oh, baru saja keluar. Sepertinya buru-buru, apa Mbak tidak mengabari Pak Hendra dulu sebelum ke sini?"

Aku menggeleng lemah. Harapan melihat Mas Hendra makan dengan lahap, musnah sudah. Pasti dia sedang makan siang saat ini.

"Kalau begitu, Mbak tunggu didalam saja." tawarnya.

Aku mengangguk mengucapkan terima kasih.

Masuk ke ruangan itu, aku langsung menjatuhkan bobot tubuh di kursi dimana Mas Hendra biasa duduk. Sebuah komputer tergeletak di atas meja. Buku-buku dan alat tulis tertata rapi. Memang Mas Hendra orangnya bersih dan tak suka berantakan. Bosan hanya menunggu aku memilih memainkan ponsel.

"Terima kasih sudah menjadi tempatku berkeluh kesah." story W******p dari Rasti. Pasti dia sudah berbaikan dengan suaminya. Senyum tipis terukir begitu saja. Baru hendak menanggapi status wa Rasti, pintu terbuka.

"Dek?" Mas Hendra masuk.dengan seorang laki-laki, mereka menatapku kaget. Lalu entah bicara apa laki-laki itu mengatakan sesuatu dengan pelan lalu mereka saling mengangguk tak lama dia menepuk pundak Mas Hendra pelan, kemudian menatapku, memberikan senyuman lalu pergi ke luar. Siapa dia? aku baru melihatnya di kantor ini? apa karyawan baru?

"Aku datang membawakan ayam bakar kesukaan kamu, Mas. Tapi, sepertinya kamu sudah makan siang, aku lebih baik pulang saja." tuturku mengiba.

"Eh, gapapa kok. Kita makan berdua. Mas juga tadi makan sedikit." cegahnya. Masalah semalam menguap begitu saja, seperti yang sudah-sudah.

Mas Hendra mengajakku duduk di sofa yang tersedia disana. Aku tak menolak. Setidaknya dia menghargai usahaku datang kemari.

"Wangi sekali, Dek." ujarnya ketika kotak yang berisi ayam bakar kubuka.

"Semoga rasanya enak ya, Mas."

"InsyaAllah, pasti enak." sahutnya cepat.

Dengan semangat Mas Hendra menyendokkan nasi yang sudah kusiapkan, ke mulutnya. Lalu merogoh saku mengambil sebuah waslap dan mengelap bibirnya yang belepotan.

Tunggu, seperti aku kenal sapu tangan itu. Mas Hendra tak pernah punya sapu tangan bercorak bunga mawar itu. 

"Boleh lihat sapu tangannya, Mas?"

Mas Hendra tampak salah tingkah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
knp gk pasang cctv aja sih .....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status