DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 5
(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Batin)
Aku mengambil rekam layar chattingan dari Rasti lalu mengirimkan ke nomorku. Tak lupa menghapus pesan itu dari ponsel Mas Hendra. Tak ada pesan lama disana, sepertinya sudah dihapus, atau memang mereka tak saling berkirim pesan sebelumnya.
Ya Allah, salah besar aku mempercayai perempuan itu. Aku kira karena dia sudah menikah tak akan mungkin menjadi penyebab retaknya rumah tanggaku. Jangan-jangan mereka adalah pasangan kekasih. Aku harus menyeledikinya.
Mas Hendra sudah pulas, suara dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Tak putus aku menatap lelaki itu. Ada berbagai rasa hadir dalam hati, entah itu penyesalan, sedih dan kadang bahagia karena selain hal yang satu itu, Mas Hendra adalah suami yang sempurna bagiku.
Malam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Akhirnya aku ke kamar mandi mengambil wudhu berniat melaksanakan sholat, agar hati ini Allah beri ketenangan.
"Melody, kamu belum tidur, Nak?"
"Astaghfirullah, Ayah." aku terlonjak saat hendak kembali ke kamar Ayah sudah berada di belakangku.
"Duduk lah disini, Ayah ingin bicara sesuatu." Ayah yang sudah terlebih dahulu berjalan ke ruang tengah mengajakku ke tempat yang sama.
Dengan patuh aku mengikuti dari belakang. Kini aku duduk disamping Ayah. Ayah tampak sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Berkali-kali Ayah mengusap wajah lalu menghembuskan napas panjang.
"Ada apa, Ayah? apa Ayah baik-baik saja?" tanyaku sambil menatap wajah Ayah.
Ayah tersenyum, meski dengan kumis dan janggut Ayah yang mulai memutih, ketampanan Ayah masih terlihat nyata.
"Maafkan Ayah, Nak. Jika kamu merasa tertekan dengan pernikahanmu dengan Hendra. Dia sebenarnya anak baik, Ayah harap kamu bersabar dengan segala kekurangan Hendra." sahut Ayah, keningku berkerut.
"Apa Ayah mengetahui sesuatu."
Ayah tersenyum lalu mengalihkan pandangannya.
"Dulu, waktu ayah hampir tenggelam di sungai. Rusdi, Papanya Hendra yang menyelamatkan nyawa Ayah. Lalu saat Ayah hidup susah, dan Bundamu butuh banyak biaya pengobatan karena sakitnya, Rusdi juga yang membantu, tanpa minta pamrih. Dan kini, pesantren ini, Papanya Hendra juga yang membantu. Ayah berhutang banyak padanya. Walau saat dia susah, Ayah tak bisa bantu apa-apa. Tapi, dia tak pernah mempermasalahkan itu. Dia ibarat malaikat penolong dalam hidup Ayah."
Aku tertegun, aku baru dengar cerita ini. Waktu aku sekolah dan kuliah memang ada seseorang yang selalu membantu Ayah. Tapi, aku sama sekali tak tahu orang itu. Bahkan saat Bunda meninggal karena kanker yang dia derita, semua biaya rumah sakit sudah dilunasi oleh orang itu.
"Apa yang membantu biaya sekolah Melody dulu, Papa Mas Hendra juga, Yah?"
Ayah mengangguk cepat.
"Rusdi yang membiayai pendidikan kamu, Nak."
Aku menghela napas dalam-dalam.
Duhai ...
Apa aku harus tetap bertahan dengan keadaan rumah tangga yang seperti ini atas nama balas budi? setahun tanpa nafkah batin, apa gunanya bersama? belum lagi tuntutan Mama yang meminta cucu, apa aku harus berterus terang padanya jika Mas Hendra belum menyentuhku? Aaarrrgggh!
Ayah meraih tanganku.
"Ayah mohon, untuk bersabar. Ayah paham apa yang kamu rasakan. Saat ini kita tak punya pilihan lain, Ayah tak mau mengecewakan Rusdi. Ayah minta waktu padamu, Nak."
Aku mengusap cairan bening yang tiba-tiba saja turun dari kelopak. Mungkin ini harga yang harus kubayar atas kemudahan yang selama ini kami terima. Sehingga Ayah harus merelakan aku di duakan oleh Mas Hendra, sebelum aku merasakan nikmatnya rumah tangga yang sebenarnya.
"Ayah, sebenarnya apa yang terjadi dengan Mas Hendra?" aku mengiba.
Mata Ayah pun berkaca-kaca.
"Belum saatnya kamu tahu, Nak. Saat ini Ayah hanya minta kamu bersabar."
Ayah bangkit setelah mengusap punggungku lembut. Teka-teki apa yang Ayah dan Mas Hendra sembunyikan? kenapa aku tak boleh tahu.
Lagi, air mata mengalir pelan di pipi. Ayah sudah masuk ke kamar, tinggal aku sendiri mengaup lara.
Akhirnya aku juga kembali ke kamar, memakai mukena lalu melaksanakan sholat hingga larut dalam pengaduan yang panjang.
****
Matahari pagi begitu hangat menyentuh kulitku. Setelah semalaman tak bisa tidur, pagi ini aku memutuskan untuk menghangatkan badan. Aku harus kuat, ujian di depan sepertinya akan lebih berat.
Sengaja aku berdiri di halaman sambil memandangi tanaman bunga milik Ayah. Terdengar aneh memang, seorang lelaki pandai merawat tanaman seperti Ayah. Berbagai jenis bunga tumbuh subur di taman. Beberapa mawar mulai tumbuh putiknya.
Sejak Bunda meninggal, Ayah tak pernah lalai merawat tanaman disini. Kata Ayah, ketika melihat bunga-bunga ini, rindu pada Bunda seakan terobati.
Aku mencium sekuntum mawar merah yang sedang merekah, wangi.
"Melihat bunga ini mekar, Ayah serasa melihat senyum Bundamu."
"Eh, Ayah!" aku sedikit tersentak. Tak menyadari Ayah sudah ada disampingku. Ayah masih memakai peci dan sarung, itu tandanya Ayah baru saja pulang dari pondok yang berada tak jauh dari rumah ini. Pondok pesantren yang dulu Ayah kelola sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu Ayah meminta Hanif, temanku waktu sekolah dulu yang kebetulan tinggal tak jauh dari sini untuk melanjutkan. Ayah hanya memantau saja.
"Melody, juga kangen sama Bunda, Yah." desisku.
Disaat seperti ini seorang Ibu pasti akan lebih memahami isi hati anaknya.
Ayah menepuk pundakku pelan, lalu tersenyum, kemudian berjalan pelan ke arah rumah. Di teras Mas Hendra sudah berdiri sambil melempar senyum. Kini dua laki-laki itu asik berbincang. Dari jauh dapat kulihat wajah mereka yang tampak serius. Apa Mas Hendra sedang minta ijin untuk menikah lagi dengan Rasti. Tentu saja setelah Rasti bercerai dengan Yogi, suaminya. Mengingat itu, hatiku terasa begitu perih.
Ya Allah, kuatkan, Hamba.
Menjelang sore kami kembali ke Jakarta. Mata Ayah berkabut melepas kepergianku. Ayah tersenyum tapi senyum yang penuh luka. Aku yakin, Ayah tak tega. Tapi, tak ada pilihan. Karena balas budi yang harus dibayarkan.
"Yang kuat ya, Nak." pesannya sebelum aku melepas pelukanku pada lelaki cinta pertamaku itu. Aku terisak pelan lalu mengangguk.
Sesampainya di rumah, Mas Hendra langsung masuk ke kamar pribadinya. Aku hanya mampu menatap nanar punggung lelaki tegap itu. Aku akan mencoba bertahan sampai aku benar-benar tak sanggup lagi.
****
Keesokan harinya, saat Mas Hendra sudah berangkat bekerja sebuah mobil berhenti di halaman rumahku.
Rasti!
Perempuan itu turun dari mobil lalu berjalan riang ke arahku. Aku yang sedang menyapu teras tertegun begitu saja. Tak menyangka dia berani datang langsung kemari.
Senyum di wajah Rasti mendadak pudar, karena tak biasanya aku mendiami kedatangannya. Kehebohan yang menunjukkan rasa senang akan kehadirannya tak lagi aku tampakkan. Aku kecewa, tak menyangka kebaikannya selama ini ternyata punya maksud lain.
"Mel, kamu kenapa? tumben cuek? udahan niiih, malam pertamanya?" ledek Rasti sambil tersenyum menggoda.
"Bukankah kamu memang tak menginginkan aku disentuh oleh Mas Hendra!" ketusku.
Wajah Rasti pias.
"Apa maksudmu, Mel? kamu menuduhku ada hubungan dengan Hendra?" mata itu tajam tapi berkaca-kaca.Aku acuh, sambil melipat tangan di dada. "Kalau memang kamu mau menikah dengan Mas Hendra, silahkan! aku tak akan menjadi penghalang." ketusku lagi."Astaghfirullah ..." desisnya sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Air mata Rasti mengalir. Pandai betul dia bersandiwara."Ga usah pakai drama, Ras. Selama ini kita berteman, aku kira kamu tulus. Nyatanya kamu menikamku dari belakang. Sudah apa saja yang kamu lakukan dengan Mas Hendra, HA!"Rasti geleng-geleng kepala, seolah kaget dan tak percaya dengan ucapanku, heh paling hanya akting!"Demi Allah, Melody. Aku selama ini sudah menganggap kamu sebagai saudaraku sendiri. Tak pernah terniat untuk merusak rumah tangga kamu. Aku memang akhir-akhir ini sering komunikasi dengan Hendra, semata-mata ingin dia sadar dan menjadi seorang suami seutuhnya, memberikan hak kamu sebagai istri." jelasnya dengan suara bergetar. Tapi, sayang aku masih
Beberapa saat kemudian aku sudah kembali dengan seorang tukang kunci, juga seorang teknisi yang akan memasang kamera cctv di kamar Mas Hendra. Aku harus tau, apa yang dia lakukan di sana sendirian. Seharusnya sejak dulu aku lakukan. Namun, aku terlalu takut untuk bertindak sejauh itu. Aku pikir dia akan berubah seiring berjalannya waktu. Tapi, nyatanya semua masih sama.Tak butuh waktu lama untuk membuka pintu itu, dan membuat duplikatnya. Bersyukur aku mendapatkan tukang kunci profesional, hanya persoalan kecil saja baginya.Kamar itu terbuka lebar. Pemandangan di dalamnya seperti dugaanku, ruangan itu rapi dan juga wangi."Ini dipasang dimana, Bu." tanya teknisi itu padaku."Di sini saja, Pak. Ini akan menjangkau semua sisi." Laki-laki itu pun dengan cepat melakukan tugasnya. Kini aku bisa bernafas lega. Meski kamar dikunci rapat. Tapi, aku bisa mengawasi suami melalui ponselku.Semua berjalan lancar, meski aku harus menguras tabunganku untuk itu. Aku tak masalah, yang penting apa
Aku terduduk, langsung meraih ponselku. Memeriksa rekaman cctv di kamar sebelah.Ternyata benar dia ada disana. Kedua tangan reflek menutup mulut saat melihat apa yang dilakukan Mas Hendra.Lelaki itu membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Kedua tangan terus meremas rambutnya kasar."Ya Allah ..."Ingin rasanya aku menghampiri Mas Hendra. Tapi, khawatir nanti dia akan tahu jika aku mengetahui apa yang dia lakukan di sana. Aku terus memperhatikan laki-laki itu. Dia menghentikan gerakannya lalu meraih tas kerja yang ada di atas meja. Mengambil sesuatu yang ada di kantong putih, lalu meminumnya, sepertinya dia meminum obat pereda nyeri lagi. Sakit apa suamiku?Lelaki itu kemudian meraih laptop dan menyalakannya. Dia sudah duduk di depan laptop dan sedang menunggu benda itu menyala, dari sini terlihat dia sedang sangat galau. Menyapu rambut dari depan ke belakang lalu kembali lagi mengusap wajahnya. Setelah laptop menyala Mas Hendra kembali menutup benda itu lalu menunduk sambil memega
"Belum saatnya kamu tahu, Dek. Lagi pula ini aib untuk Mas dan keluarga kami. Cukup Mas saja yang menanggung semua ini. Kamu bantu do'a, agar Mas bisa menjadi lelaki sejati.""Maksud, Mas?" suaraku sedikit meninggi. Rasa penasaran membuncah, apa susahnya sih bicara pada istri sendiri."Sudahlah. Yuk, tidur. Kamu pasti lelah. Mas, janji nanti akan membuatmu lelah karena harus mengurus anak-anak kita." bisiknya."Soal Rasti, dia bukan selingkuhan, Mas. Percayalah kamu perempuan satu-satunya yang akan Mas cintai."Degh!Rasti mengadu pada Mas Hendra, dan lelaki ini tidak memarahiku? Aku merasa malu."Maafkan aku, Mas. Telah menuduhmu dan Rasti memiliki hubungan spesial."Mas Hendra tersenyum."Wajar jika kamu berpikir seperti itu, Mas tidak marah. Mas mengaku salah. Saat ini Mas sedang berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Bantu, Mas. Dan tolong tak usah bertanya lagi."Aku terdiam, sementara Mas Hendra mulai merebahkan diri disampingku. Tak lama laki-laki itu tertidur pulas. Mataku te
Hotel? buat apa Mas Hendra ke hotel? dan dia ga kerja tanpa sepengetahuanku. Aku menghembuskan napas berat. Baru saja hendak mengecap bahagia. Sebuah kenyataan memupuskan harapan. Dengan cepat aku memesan taksi online menuju hotel dimana keberadaan Mas Hendra terdeteksi. Lumayan jauh dari sini. Tak masalah yang penting aku bisa mengetahui apa yang dikerjakan Mas Hendra di hotel itu. Jalan yang tak begitu ramai membuat perjalananku lancar. Hanya sejam saja mobil sudah sampai di halaman di titik hotel yang ditunjukkan dalam layar ponselku. Setelah membayar sewa mobil aku bergegas masuk ke lobby. Semoga aku tak dipersulit oleh resepsionisnya. "Mba, Maaf saya mau tanya. Apa ada tamu atas nama Bapak Maulana Hendrawan?" Perempuan itu menatapku heran. "Saya istrinya, ada yang mau saya antarkan padanya." lanjutku cepat sebelum perempuan yang memakai kerudung putih itu bertanya. "Oh, sebentar saya cek dulu, ya." Aku mengangguk lalu mengulas senyum. Mataku menatap ke sekeliling. Berharap
Kakiku terasa tak menapak dibumi. Kesalahan apa yang aku lakukan ya, Allah. Hingga ujian ini begitu berat Kau berikan. Air mata terus saja mengalir, dadaku terasa tertindih beban yang sangat berat, hingga rasanya aku sangat sulit untuk bernafas. Aku bergegas keluar dari gedung tinggi yang menjadi saksi perihnya luka yang ditorehkan oleh suamiku. Tak peduli pandangan orang-orang yang melihatku aneh, berlarian dengan air mata masih menghujam.Kaki terus menyusuri jalanan sambil menatap mobil yang berlalu lalang. Memesan taksi online rasanya akan memakan waktu lama, aku khawatir Mas Hendra akan menyusulku. Dari jauh sebuah taksi berwarna biru melaju ke arahku, sontak saja aku melambaikan tangan. Beruntung taksi dalam keadaan kosong. Aku lekas naik dan menyebut alamatku. Lalu kembali larut dalam tangis. Jalanan yang mulai padat menyebabkan aku telat sampai dirumah, meminta sang supir menunggu sejenak. Aku masuk masuk kerumah, mengeluarkan koper besar milikku. Memasukkan pakaian ke dalam
"Melody?" Wajah itu tampak kaget, karena memang aku tak bilang jika hari ini aku datang."Assalamualaikum, Wa." ulangku mengucapkan salam."Eh, sampai lupa balas salam. Wa'alaykumussalam warahmatullah ...Hayo, Mel masuk." ajaknya.Aku pun masuk ke rumah dimana dulu aku sering main ke sini sepulang kuliah. Banyak kenangan yang begitu manis disini. Masa-masa menjadi Mahasiswi yang tak akan terulang lagi. Dulu sewaktu Ibunya Salwa masih hidup, dia sangat senang saat aku datang."Ibu kepengen kamu jadi mantu Ibu lho, Nak." aku hanya menanggapi dengan senyum malu. Secara Ka Hamzah, anaknya yang merupakan Abang dari Salwa juga ada disana."Ih, Ibu, orang masih kuliah kok!" sahut Salwa."Tapi, kalau Melody mau sama Kak Hamzah, sih. Salwa seneng banget. Iparku adalah temanku." lanjutnya sambil cengengesan dengan mata melirik ke arahku. Bisa dibayangkan wajahku memerah malu, saat itu. Lelaki didepanku juga tak membantah, malah ikut melebarkan senyuman."Heh! ngelamun!" Salwa menepuk pundakku.
Aku dan Salwa saling pandang. Rasanya malu jika masalah rumah tanggaku diketahui oleh Kak Hamzah yang lamarannya pernah ditolak Ayah karena Ayah sudah terlanjur menyetujui perjodohanku dengan Mas Hendra."Nanti aku ceritakan, Kak."sahut Salwa yang membuat laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, silahkan. Nanti, Kakak akan tidur di mesjid sekalian bantuin Mang Eman disana.""Maafkan saya, Kak." lirihku."Tak apa-apa. Nikmati pertemuan kalian." sahutnya kemudian berlalu ke kamarnya.Salwa melempar senyum padaku, seolah berkata semua baik-baik saja. ***Aku sudah rebahan di kamar Salwa. Kamar yang begitu mengundang kenangan."Mel, kamu sudah ngasih tau Ayahmu?"Salwa memang sudah kenal dekat dengan Ayah."Jangan dulu lah, Mel. Aku ingin menenangkan diri sejenak."Salwa pun mengangguk lalu tersenyum. Tak lama dia keluar, sedangkan aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya.Aku terbangun ketika matahari sudah terbenam."Mel, bangun dulu, yuk udah adzan. Nanti kita makan baren