Share

ISTRI TANPA NAFKAH BATIN
ISTRI TANPA NAFKAH BATIN
Penulis: Mutiara Sukma

Bab 1

DESAH DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 1

Malam ini aku terbangun, kamar seperti biasa, gelap hanya menyisakan remang cahaya dari luar. Rasa kering di tenggorokan memaksaku untuk bangun. Refleks mataku menoleh ke samping. Tak ada Mas Hendra, kemana dia? Mungkin suamiku itu juga sedang minum. Aku mengulurkan kaki ke lantai berjalan ke arah pintu lalu perlahan memutar kenopnya.

Ruang tamu sepi, lampu juga sudah padam. Dirumah ini hanya ada aku dan Mas Hendra. Rumah hadiah pernikahan kami dari Papa mertua. Sejak resmi menjadi suami istri, Mas Hendra langsung mengajakku kesini. Walau, Mamanya sempat keberatan karena berharap kami tinggal di rumahnya terlebih dahulu. 

Rumah ini memiliki dua kamar tidur yang lumayan luas. Tiba-tiba, tak sengaja saat melewati kamar sebelah, aku mendengar suara desahan tertahan. Suara itu nyata sekali. Kutempelkan telinga ke pintu. Menajamkan pendengaran, tapi hening. Namun, tak lama terdengar lagi des*han-des*han itu dari dalam. Mataku terarah ke dapur, ruangan itu gelap. Itu artinya Mas Hendra sedang tak disana. Apa itu suara Mas Hendra? apa yang dia lakukan? desah*n apa itu?

Tok tok!

"Mas ..." aku memutar gagang pintu, Namun terkunci.

"Mas! kamu di dalam?" kembali mengetuk pintu, kali ini dengan lebih kencang. 

"Hmm ... ya, Dek." sahutnya.

Beberapa menit kemudian pintu pun terbuka, kamar tampak gelap. Mas Hendra mengucek mata, terlihat seperti orang yang baru bangun tidur.

"Mas tidur disini?" tanyaku cepat, lelaki itu mengangguk ragu. 

"Mas tadi tak bisa tidur, rebahan disini jadi ketiduran." jawabnya.

"Tadi suara siapa, Mas?" aku menolehkan kepala ke dalam. Mencari siapa saja yang bisa jadi ada disana.

"Suara apa?" Mas Hendra juga ikut melirik ke arah yang sama denganku.

Aku menekan saklar lampu, ruangan itu terang benderang. Tak ada siapa-siapa di sini. Semua tertata rapi. 

"Kamu sendirian?" 

"Iyalah, sendirian, mau sama siapa lagi?" tanyanya sedikit heran.

"Tadi aku dengar suara orang di dalam." aku bingung mau menjelaskan padanya. Meski baru menikah, aku paham suara apa itu. Seperti suara orang yang sedang melepaskan h*sr*tnya.

"Suara? suara apa?" Wajah Mas Hendra tampak kebingungan.

"Seperti suara desah*n gitu, Mas." sahutku ragu-ragu.

"Mungkin Mas ga sengaja, lagi mimpi atau apa." Dia mematikan lampu lalu berlalu ke kamar utama. 

Aku menghela napas panjang. Seminggu sudah kami menjadi pengantin baru, Mas Hendra masih cuek, sama sekali tak menyentuhku. Aku masih berusaha sabar, mungkin dia juga dalam masa adaptasi dengan status baru, sama sepertiku. Namun, baru kali ini aku tahu jika Mas Hendra suka tidur di kamar ini. Meski tadinya diperuntukkan untuk tamu, Namun Mas Hendra melengkapi isi kamar itu dengan meja kerja. Dan selalu dirapikan lalu dikunci olehnya. 

Usai minum aku kembali ke kamar. Mas Hendra sudah tidur membelakangiku. Nanar mataku menatap laki-laki yang sudah sah menjadi suamiku itu. Entah, apa kurangnya aku, hingga dia sepertinya sama sekali tak berminat untuk melakukan hal yang dinantikan setiap pasangan suami istri itu. Apa mungkin karena dia belum cinta? maklum kami pasangan yang dijodohkan orang tua. Ah, sudahlah lebih baik aku bersabar saja dulu.

***

Waktu terus berlalu. Dilihat dari luar rumah tangga ini sepertinya baik-baik saja. Orang mengira kami pasang muda yang bahagia. Wajahku selalu tersenyum, walau sebenarnya hatiku menangis. Sebagai seorang istri tentu saja aku merasa insecure saat suami sama sekali tak menyentuhku. Pernah kutanyakan padanya. Tapi, dia selalu mengalihkan pembicaraan dan meyakinkan bahwa semua baik-baik saja, hanya soal Waktu. Waktu? waktu apa? apa sebegitu kuat imannya hingga tak berminat padaku? atau jangan-jangan dia menyukai sesama jenis?

Saat ini sudah setahun usia pernikahan kami. Ada sesuatu yang membuatku agak aneh dengan Mas Hendra. Hampir setiap malam dia pindah ke kamar sebelah, tentu saja setelah menunggu aku tertidur. Lalu kembali setelah subuh dan menganggap tak terjadi apa-apa. Namun, aku yang selama ini pura-pura tak tau, tentu saja dipenuhi rasa penasaran.

Malam ini aku berniat menyelidiki Mas Hendra. Aku sengaja tidur lebih awal, dia pun melakukan hal yang sama. Aku Ingin tahu apa yang dia lakukan setelah ini, benar saja beberapa saat kemudian dia bangun, berjalan menuju pintu dan membukanya dengan sangat hati-hati. Aku dapat merasakan itu. Setelah memastikan pintu di tutup, aku bergegas bangun. Membuka perlahan. 

Namun, pintu kamar sebelah sudah keburu ditutup rapat. Aku menahan nafas, gugup. Apa Mas Hendra mengajak wanita lain bermalam disini, lalu pagi-pagi sekali dia pergi? Rasanya terlalu nekat. Atau jangan-jangan dia ingin melepaskan rindu dengan kekasihnya melalui video call? berbagai prasangka bermunculan. Tapi, segera kutepis. Mas Hendra ga mungkin melakukan hal itu.

Tak berapa lama, terdengar kembali suara yang sama seperti yang sudah-sudah. Des*h*n dan erangan yang sama.

Tok tok tok!

"Mas! kamu di dalam?" 

Aku gak tahan lagi. Rasa penasaran ini seakan membunuhku. 

"Mas!" aku menggerak-gerakkan gagang pintu berusaha membuka, tapi sia-sia karena pintu itu di kunci dari dalam. Kuncinya selalu disimpan oleh Mas Hendra.

Baru hendak mengetuk lagi, pintu sudah terbuka.

"Apa sih, Dek? kamu malam-malam berisik banget!" bentak Mas Hendra. Wajahnya memerah, ada beberapa keringat yang menetes di keningnya. Padahal kamar itu juga ada pendinginan ruangan.

"Kamu yang kenapa Mas? kamu selalu mengabaikan

aku! kamu malah tidur di sini! berbulan-bulan kita nikah, kamu sama sekali tak memperdulikan perasaan aku, Mas!"

Tanpa diundang air mataku mengalir deras. Mas Hendra yang tadinya tampak emosi kembali mereda. Dia merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Aku tersedu. Saat ini aku dapat merasakan tubuh Mas Hendra yang basah oleh keringat.

"Kalau Mas punya wanita lain, ceraikan saja aku, Mas. Aku jamin perceraian kita tak akan merusak persahabatan Papamu dan Ayahku." kataku masih dengan suara bergetar karena menahan tangis.

"Sssst ... jangan bicara begitu, Dek. Mas minta Maaf." bisiknya.

"Tak ada perempuan lain, kamu satu-satunya."

"Tapi, kenapa, Mas? kamu tak pernah memberikan hakku!" suaraku meninggi.

"Sabar, Dek. Mas butuh waktu!"

"Waktu, Tapi ini ...!"

Suaraku mengantung saat telunjuk Mas Hendra melekat dibibirku.

"Aku temani kamu tidur!" ujarnya kemudian. Sesak sekali rasanya dalam dada ini. Rumah tangga macam apa jika setahun menikah hanya sebatas tinggal dalam satu rumah.

Mas Hendra mengajakku kembali ke kamar. Lalu merebahkan tubuh ini ke ranjang. Tangannya terus membelai pipi, pandang mata kami beradu seiring nafas yang mulai tak beraturan. 

Ada rasa yang membuncah di hati. Kala Mas Hendra mulai melakukan hal yang seharusnya sejak pertama kami menikah dulu aku rasakan.

"Mas ..." panggilku lemah. Mas Hendra tak menjawab. Dia masih terus melanjutkan kegiatannya tanpa menghiraukanku.

Senyum terukir dibibirku. Akhirnya setelah sekian bulan menunggu aku mendapatkan hakku. Tapi, baru saja bahagia menyapa, kabut kembali membawa lara.

Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang entah, tangannya terhenti seolah ada sesuatu yang membuat dia tak lagi melanjutkan aksinya.

"Maaf, Mas ga bisa!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status