Share

Hug me, My Sweetie
Hug me, My Sweetie
Penulis: Selay Rahmi

Pertemuan tak Terduga

Dua ekor burung dara terbang bebas di depan rumah seorang gadis berambut panjang dan lurus. Gadis itu asyik mengamati gerak gerik dua burung yang tengah bercengkerama layaknya dua manusia yang sedang pacaran.

“Rayna!”

Gadis bernama Rayna itu menoleh pelan ke arah sumber suara. Rupanya sang Ibu telah berdiri di depan pintu, tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Ya, Ibu,” jawab Rayna sopan dan pelan.

“Sarapan dulu, Nak. Ibu sudah buatkan nasi goreng Jawa kesukaanmu. Supaya kamu semangat mencari kerja.” Wanita paruh baya itu selalu pengertian terhadap putri tunggalnya. Ya, kasih sayang Bu Lastri – ibu Rayna – telah mampu membuat anak perempuan semata wayang itu menjadi gadis super baik, cantik, dan lemah lembut.

Rayna tersenyum. “Baiklah, kita sarapan bersama-sama ya, Bu.”

.....

Selesai sarapan, Rayna kembali ke kamarnya. Mengambil berkas dan CV yang akan ia berikan pada perusahaan yang dia lamar.

Kriiiing!

Ponselnya berbunyi. Mengagetkan sang empunya yang tengah fokus memeriksa kembali berkas dan CV miliknya.

Klik!

“Ya, halo...”

“Na, kamu di mana, sih? Katanya kita mau melamar di perusahaan Reygold Corp.” Suara lantang seorang teman yang ada di ujung telepon membuat Rayna harus menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.

“I, iya. Aku baru aja selesai sarapan. Sebentar lagi berangkat. Kamu di mana, Sof?” tanya Rayna balik, seraya memasukkan kembali berkas-berkasnya ke dalam map berwarna coklat.

“Aku tunggu di restoran Jepang dekat kantor perusahaan itu, ya? Jangan lama-lama, Na!”

“Baiklah, baiklah... Aku usahakan cepet, ya.”

.....

Rayna hanya membutuhkan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan ojek online untuk sampai di kantor perusahaan asing Reygold Corp. Letaknya memang bukan di tengah kota, maka dari itu jarak dengan rumah kecilnya hanya sekitar 15 kilometer.

Sesampainya di depan kantor itu, Rayna tidak langsung masuk ke dalam. Ia dan Sofi sudah janjian ketemu di restoran Jepang, sebelah kantor itu.

Ya, Rayna saat ini masih sibuk mencari pekerjaan demi mencukupi kebutuhan dirinya dan ibunya. Ke sana kemari, dari pagi sampai sore, tak ada lowongan sama sekali.

“Aku tidak boleh putus asa.” Rayna mengusap peluh di keningnya. Ada satu perusahaan yang belum ia datangi. “Tinggal perusahaan besar ini yang belum aku datangi.”

Keraguan sempat menghampiri gadis berbalut setelan celana panjang dan blazer dengan warna senada. Rayna celingukan kanan-kiri. Kenapa dia sama sekali tidak melihat Sofi dari tadi.

Tuuut! Tuuut!

Rayna menghubungi Sofi, berharap gadis menyebalkan itu segera menjawab teleponnya. “Di mana kamu, Sofi?” lirih Rayna yang mulai bosan menunggu Sofi di pinggir jalan. Dia tidak mungkin masuk ke restoran hanya untuk menemui Sofi. Jadi, Ryana memutuskan menunggu Sofi di pinggir jalan, diantara kantor perusahaan itu dengan restoran Jepang.

“Kau di mana, Rayna?” Terdengsr suara Sofi di ujung telepon.

Tak menjawab, Rayna justru mengelus dada, lega. Akhirnya Sofi menjawab teleponnya.

“Aku di pinggir jalan, di depan restoran. Keluarlah, cepat!”

“Baiklah,” jawab Sofi singkat.

Hanya perlu menunggu dua menit, Rayna dapat melihat sosok teman yang ia tunggu-tunggu. Sofi, gadis sebaya yang selalu baik pada Rayna dan tidak pernah mengeluh sedikit pun saat berteman dengan Rayna, kini ia mengenakan rok selutut warna hitam, kemeja putih dan blazer warna hitam dengan model simpel.

Sofi melongo melihat penampilan Rayna yang mengenakan setelan kerja dengan warna yang sama, warna hitam.

“Kenapa kamu memakai setelan warna hitam?” tanya Rayna rada kesal.

“Hei, aku duluan yang memakai setelan ini. Aku menunggumu datang, kan? Jadi, kamu yang ikut-ikutan. Oh my God, Rayna!” Sofi menepuk dahi pelan.

“Kalau memakai pakaian dengan warna sama, kita terlihat seperti anak sekolah. Pakai seragam, cuma bedanya aku pakai celana dan kamu pakai rok.” Rayna merasa ciut melihat pakaian mereka berdua yang samaan.

“Terus bagaimana? Pulang ganti baju? Ih, itu tidak akan terjadi. Hari makin siang. Takutnya lowongan ditutup hari ini, kan?”

Rayna terdiam. Apapun yang dikatakan oleh Sofi memang benar. Jika salah satu dari mereka harus pulang ganti pakaian akan memakan waktu lama. Lowongannya juga segera ditutup.

“Ya sudah, kita masuk saja. Toh, kita hanya mengumpulkan berkas ini, kan? Tidak akan banyak yang melihat kita.” Kepercayaan diri Rayna kembali. Ia berjalan memasuki halaman kantor perusahaan asing Reygold Corp. dengan semangat.

Dua orang gadis yang berasal dari keluarga sederhana berjalan pelan menyusuri lobi kantor dan berhenti di depan meja resepsionis.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis ramah.

Rayna memandang Sofi. Ia ragu untuk mengajukan berkas lamarannya di perusahaan besar itu.

“Ayo,” lirih Sofi, memberi isyarat pada Rayna untuk menjawab pertanyaan resepsionis wanita yang tanpak ramah itu.

“I, iya. Mm... Begini. Kami ingin mengajukan berkas lamaran.” Rayna agak gugup.

“Oh begitu. Baiklah. Berkasnya bisa kalian berikan kepada saya saja. Nanti akan saya serahkan pada atasan.”

Rayna dan Sofi memberikan berkas mereka pada resepsionis yang memakai nametag Sarah.

“Terimakasih,” ucap Rayna pelan.

.....

Masih di dalam lobi kantor, Rayna dan Sofi berbincang sebentar. Rayna merasa tidak yakin kalau dirinya akan diterima bekerja di tempat itu.

“Pak Reno!”

Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki paruh baya memanggil nama seseorang. Laki-laki itu berjalan setengah lari agar dapat mengejar rombongan pimpinan perusahaan yang akan pergi keluar kantor untuk rapat eksternal dengan investor.

Rayna dan Sofi menghentikan langkah mereka. Mengantisipasi jika nanti mereka tetap berjalan maka akan bertabrakan dengan laki-laki itu. Pandangan Rayna tertuju pada sosok pemuda tinggi dengan setelan jas dan celana panjang warna abu-abu, berjalan paling depan dengan langkah yang tergesa-gesa.

“Astaga, bapak itu mengejar rombongan yang dipimpin seorang pemuda?” tanya Sofi lirih. “Seharusnya pemuda itu berhenti menunggu bapak itu, kan?”

“Sst! Diam! Mungkin saja jabatan pemuda itu lebih tinggi. Jadi, dia merasa harus lebih dihormati. Mana ada pimpinan menunggu bawahan?” lirih Rayna setengah berbisik.

Sofi mengangguk pelan. “Benar juga,” sahutnya lirih.

Rayna masih melempar pandang ke arah pemuda yang kemungkinan besar adalah pimpinan perusahaan itu. Ia mengerutkan dahi, merasa pernah melihat pemuda itu sebelumnya.  “Sepertinya aku pernah melihat orang itu. Tapi di mana, ya?” gumam Rayna.

“Siapa?” tanya Sofi penasaran.

“Pemuda itu.” Kini Rayna dapat melihat wajah pemuda itu dari samping. “Oh iya. Aku ingat.”

FLASHBACK

Hari ini ramalan cuaca yang diberitakan melalui televisi meleset jauh. Ramalan menyatakan kalau hari ini cuaca akan sedikit mendung tapi tidak sampai menurunkan hujan. Tetapi ternyata ramalan itu meleset. Hari ini hujan turun deras. Bahkan sejak jam 9 pagi. Banyak orang berlarian dengan tangan menutup kepala dan mencari tempat teduh. Tidak termasuk Rayna. Gadis cantik dan seksi itu selalu sedia payung sebelum hujan.

Ya, bagaimana tidak? Rayna termasuk pengguna angkutan umum setiap hari. Jadi, hujan atau tidak, dia akan tetap membawa payung untuk berjaga-jaga.

Setelah turun dari busway yang berhenti di haltenya, Rayna bergegas membuka payung dan berjalan santai menyeberang jalan dengan hati-hati. Ia melihat sebuah mobil mewah berwarna putih sedang berhenti di tengah jalan. Mungkin mobil itu mengalami sesuatu yang buruk, pikirnya.

Berhasil menyeberang dengan selamat, Rayna berjalan pelan melewati mobil mewah yang tengah berhenti itu.

“Tunggu!”

Seketika Rayna menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah mobil mahal yang berada di belakangnya. Seseorang melambaikan tangannya, pertanda ia memanggil Rayna untuk mendekat. Rayna bingung. Tentu saja ia takut tiba-tiba ada orang asing di dalam mobil memanggilnya. Bagaimana jika orang itu menculiknya? Ah tidak mungkin, tidak ada yang ingin menculik gadis miskin seperti dirinya.

Pintu mobil terbuka sedikit, jendelanya pun terbuka separo. Tampak seorang pemuda tampan dengan setelan jas warna hitam di dalam mobil itu. Rayna menunduk lalu bertanya.

“Anda memanggil saya?”

“Iya, saya yang memanggil Anda tadi. Bisakah saya minta tolong?” tanya laki-laki itu.

Rayna bingung. Apa yang harus ia lakukan untuk menolong orang kaya itu.

“Anda minta tolong kepada saya?” tanya Rayna meyakinkan dirinya bahwa laki-laki tampan itu benar-benar meminta pertolongannya.

“Saya minta tolong, numpang payungnya. Mobil aki mobil saya bermasalah. Saya sudah memanggil bengkel untuk mengatasinya. Tapi saya perlu segera pergi dari sini. Ada rapat direksi perusahaan yang harus saya hadiri.” Reno, nama laki-laki tampan yang berusaha menjelaskan keadaan dan masalahnya pada Rayna saat itu. “Oh ya, perkenalkan. Namaku Reno.”

Rayna lega. Akhirnya ketakutannya hilang setelah mendengar penjelasan dari Reno. “Saya Rayna. Anda bisa kok ikut dengan saya pakai payung ini. Saya akan berjalan sampai depan pertokoan itu. Setelahnya, Anda bisa memakai payung saya.”

Akhirnya Reno dan Rayna berada di bawah payung yang sama, di bawah guyuran hujan. Mereka harus berjalan berdua dengan tubuh berdekatan supaya tidak terkena air hujan. Sesampainya di depan deretan toko, mereka berhenti.

“Mm... Saya berhenti di sini saja. Rumah saya tidak jauh dari sini, kok. Anda bisa menggunakan payung saya sampai di tempat tujuan, kalau Anda berkenan.” Rayna memberikan payungnya pada Reno.

“Terimakasih, Nona Rayna. Jika bisa bertemu lagi, saya kan mengembalikan payung ini dan membalas kebaikan nona.”

“Ah, itu...tidak perlu. Hanya tumpangan sebuah payung. Tidak perlu dipikirkan. Pakai saja. Hati-hati di jalan. Saya pamit.”

Reno tersenyum lega melihat seorang gadis cantik dan baik hati. Ia masih memandang Rayna yang berjalan menyusuri pertokoan dan akhirnya masuk ke pertigaan diantara deretan pertokoan itu. Bisa dibilang tubuh Rayna itu seksi, montok, wajahnya juga cantik. Pakaian yang dikenakannya pun menutup aurat. Bukan pakaian seksi seperti yang dipakai umunya wanita.

FLASHBACK END

.....

“Wah, jadi benar kalau dia pimpinan perusahaan? Ternyata perusahaan sebesar ini yang dia pimpin,” gumam Rayna kagum.

“Ah, sudahlah. Ayo pulang. Kau tidak sadar, hah? Pakaian kita seperti seragam.” Sofi menarik lengan Rayna dan mengajaknya segera pulang.

Tiga hari kemudian.

Kriiiiing!

Ponsel jadul milik Rayna berbunyi nyaring hingga membuat si empunya tersentak kaget. “Ish! Dasar jadul! Keras sekali suaranya.” Rayna segera menjawab telepon dari nomor asing.

Klik!

“Selamat siang, Nona Rayna Husna Darmawan?”

“I, iya. Saya Rayna Husna Darmawan. Ini dari mana, ya?”

“Selamat Nona Rayna. Berkas lamaran yang Anda ajukan tiga hari yang lalu telah diseleksi dan diterima oleh pimipinan perusahaan kami. Jadi, tahap selanjutnya adalah wawancara yang akan dilaksanakan besok jam 9 pagi. Kami harap Anda datang tepat waktu.”

Bagai angin surga tengah menerpa dirinya, Rayna tak percaya mendapat panggilan untuk wawancara di perusahaan terkenal itu.

“Baik, saya akan datang tepat waktu. Saya ucapkan terimakasih banyak.”

“Baik, selamat siang.”

“Selamat siang.”

Klik!

Sambungan telepon terputus. Rayna benar-benar tidak percaya bisa lolos sampai tahap wawancar.

“Ya Allah, inikah jawaban dari doa-doaku dan doa ibuku? Alhamdulillah... Terimakasih, ya Allah.” Rayna sujud syukur, merasa sangat bahagia. “Besok aku tidak boleh telat. Aku akan berusaha semaksimal mungkin agar bisa diterima bekerja di sana.”

Rayna yang tengah bahagia karena bisa lolos hingga tahap wawancara segera mencari ibunya. Dia harus meminta doa dari ibunya supaya besok bisa lolos tes wawancara.

“Ibu... Bu... Ibu...” Suara anak tunggal itu mengisi seluruh sudut rumah sederhana yang ditata dengan sangat apik dan rapi.

Ibu dan anak perempuan bernama Rayna itu tinggal di sebuah rumah desain lawas yang terlihat sangat rapi, bersih, dan indah. Meskipun keluarga mereka tergolong tidak mampu, Rayna dan ibunya tidak akan membiarkan debu sedikit pun menempel pada perabot rumah mereka yang bisa dihitung dengan jari. Sederhana bukan berarti harus kotor. Banyak anggapan di luar sana tentang kehidupan orang tidak mampu. Katakan saja orang yang hidupnya sederhana. Belum tentu mereka yang hidup sederhana akan memiliki tempat tinggal yang kumuh. Anggapan seperti itu harus dibuang jauh-jauh. Sederhana juga harus bersih.

Rayna mencari ibunya di setiap ruangan. Dengan rambut diikat seperti ekor kuda, Rayna pergi begitu saja keluar rumah. Mungkin ibunya sedang membersihkan halaman.

“Ibu di mana, ya? Kok sepi juga di sini,” gumam Rayna lirih setelah memeriksa halaman rumah yang dipenuhi oleh bermacam-macam jenis bunga.

“Hai, Rayna!” Tino menepuk bahu Rayna yang sukses membuat gadis seksi itu terlonjak kaget.

“Tino! Apa-apaan kamu, hah? Kaget, ih!” ketus Rayna kesal.

Tino menyodorkan seikat bunga mawar yang baru saja ia petik di taman rumahnya. “Ini bunga untuk Rayna-ku sayang.”

“Apaan sayang-sayang. Ih!” Rayna menolak bunga pemberian Tino.

Sebenarnya sudah lama Tino naksir Rayna. Terhitung sejak enam tahun yang lalu. Tetapi gadis pujaannya tak pernah menanggapi kata-kata dan perlakuan istimewa Tino padanya.

“Tino, please... Jangan begini, ah! Kamu lihat ibu, gak?”

“Kan ibu kamu lagi pergi ke warung. Mungkin sebentar lagi pulang. Tadi waktu jalan ke sini, aku lihat beliau sedang beli sesuatu di warung.”

Rayna menyipitkan mata. “Yang bener?”

“Ya ampun, Rayna. Kapan sih aku bohong? Aku tadi benar-benar melihat ibu kamu di sana. Ih, gak percaya amat! Aku sudah mengatakan yang sejujurnya, Rayna sayangku.”

“Ih jijik, tau!” Rayna beranjak pergi dari halaman. Ia bergegas masuk ke dalam rumah.

.....

Malam hari, di kediaman keluarga pendiri perusahaan asing ternama – Reygold, seorang pemuda sibuk menata berkas-berkas yang ia bawa dari kantor tadi sore. Beberapa berkas itu merupakan berkas lamaran kerja milik tiga orang wanita yang lolos sampai ke tahap wawancara.

Tiga map berwarna coklat telah terpampang di depan mata Reno, sang Wakil Presiden Direktur Reygold Corp. Reno menghela nafas panjang. Ia ingin sekali pergi tidur karena anggota badannya sudah protes ingin diistirahatkan. Akan tetapi, berkas-berkas itu juga telah siap diperiksa olehnya.

“Baiklah. Aku akan periksa ini dulu baru tidur.”

Map pertama dibuka. Ia langsung bisa membaca nama yang tertera di berkas lamaran itu. Sofi Prita Ariska. “Boleh juga,” gumamnya.

Map kedua diambil dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanan sibuk mengambil kopi yang terletak si meja sebelah kanan.

Sluurp! Bunyi yang dikeluarkan Reno saat menyeruput kopi hitamnya.

Dibukanya map coklat kedua yang berisi berkas lamaran Rayna. Lembar pertama ia baca. Sebuah nama wanita yang tidak asing baginya. Rayna Husna.

Dahi Reno berkerut. “Rayna?” lirihnya seraya mengingat nama itu. “Rayna... Rayna... Sepertinya nama itu tidak asing bagiku. Tapi... Di mana aku mendengar nama Rayna?”

Ingatan Reni lumayan buruk. 20 menit ia mengingat nama Rayna.

“Ah, itu...tidak perlu. Hanya tumpangan sebuah payung. Tidak perlu dipikirkan. Pakai saja. Hati-hati di jalan. Saya pamit.”

Tiba-tiba Reno ingat kata-kata itu. Mulutnya terbuka sedikit, ia melongo kemudian melihat berkas Rayna sekali lagi. Dilihatnya pas foto milik Rayna yang berada di bagian atas pojok kanan.

“Di, dia... Rayna?”

Ya, benar. Rayna yang memberikan tumpangan payung berharga untuknya adalah Rayna yang sama dengan yang melamar pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaannya. Ternyata dunia sesempit daun kelor, pikir Reno.

“Baiklah, Rayna. Kita akan bertemu besok pagi.” Seulas senyum menghiasi wajah tampan Reno yang ramah. Dia akan menunggu kedatangan Rayna di kantornya besok pagi.

.....

Hari ini merupakan hari yang penting bagi seorang Rayna Husna. Pasalnya, hari ini ia akan melakukan tes wawancara agar dapat diterima bekerja sebagai sekretaris di perusahaan Reygold Corp. Sedari Subuh, Rayna sibuk menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan ibunya. Pagi ini, jam 9 nanti, dia harus sudah tiba di kantor perusahaan ternama itu.

“Mau masak apa, sih?” tanya Ibunya seraya membelai rambut panjang Rayna yang terurai lurus di punggungnya.

Rayna menoleh sedikit. “Rayna masak sop buntut, sambal tomat, tempe krispi, dan telur dadar, Bu.”

“Apakah perlu Ibu bantu?” tanya ibunya lagu.

“Tidak usah, Ibu...” Rayna mengambil telur dari tangan ibunya. Wanita paruh baya itu hendak membuat telur dadar demi membantu sang anak kesayangannya. “Rayna bisa sendiri kok, Bu. Ibu tunggu aja di kamar sambil nonton TV atau membaca Al Quran, mungkin...”

“Iya, deh...” Ibunya pun menuruti kemauan Rayna.

Dilihatnya wanita yang telah melahirkannya itu berjalan pelan, masuk ke dalam kamar yang berukuran 2,5x2 meter. Rayna tidak ingin membuat ibunya susah, sedih atau apapun yang buruk terjadi pada wanita penyabar itu. Keluarga yang dimiliki Rayna hanya ibunya seorang, tidak ada sanak atau saudara yang berada sekota dengan mereka.

Dentang jam menunjukkan pukul enam pagi. Makanan yang dimasak Rayna sudah tersaji semua di atas meja makan berbentuk bundar dengan tiga kursi di sekelilingnya.

“Makanan sudah siap.” Rayna senang karena telah berhasil memasak makanan enak pagi itu. Ini bukan pertama kalinya ia memasak. Sebenarnya, gadis cantik itu tergolong gadis yang pandai memasak. Hanya saja, Rayna sering masuk kerja pagi hari. Jadi, jarang memiliki waktu luang untuk menyiapkan makanan.

Makanan sudah siap disantap. Sekarang saatnya Rayna memanggil ibunya di kamar.

Tot tok!

Rayna mengetuk pintu kamar ibunya pelan. “Ibu...”

“Ya... Oh, Rayna.” Ibunya yang semula pada posisi tidur miring ke kanan, kini telah bersiap berdiri. “Sudah selesai?”

“Sudah, kok, Bu. Ayo kita sarapan. Rayna harus bergegas untuk wawancara nanti.”

Ibunya tersenyum bangga melihat Rayna antusias melakukan tes wawancara itu.

“Ibu, doakan Rayna, ya. Supaya Rayna bisa bekerja di tempat itu. Jadi, ekonomi keluarga kita sedikit meningkat. Rayna janji akan bekerja dengan sangat rajin ketika memang benar-benar diterima.”

“Ibu selalu mendoakanmu, Nak. Apapun yang terbaik untukmu. Jangan lupa, berdoalah sebelum melakukan segala sesuatu. Supaya diridhoi Allah dan senantiasa dilindungi, ya.”

Rayna memegang kedua tangan ibunya. Meletakkan kedua telapak tangan kasar itu pada pipi kanan dan kirinya. “Rayna akan selalu berusaha membuat ibu bangga.”

.....

Pagi ini Rayna janjian lagi dengan teman karibnya, Sofi. Mereka berangkat menuju kantor perusahaan Reygold Corp bersama-sama. Kali ini warna kostum mereka berbeda. Keduanya memang memakai rok pendek sedikit di atas lutut. Tapi masih terlihat sopan dan tidak ketat.

Tiga orang calon sekretaris, tiga orang calon asisten manajer, dan tiga orang calon kepala staf umum telah berkumpul di sebuah ruangan berukuran besar. Ruangan itu biasanya dipakai untuk rapat pemegang saham atau rapat dengan investor.

Sudah sepuluh menit, 9 orang calon pegawai perusahaan Reygold Corp menunggu sang wakil presdir yang tidak lain adalah Reno. Pria paling tampan di perusahaan itu.

Beberapa orang memasuki ruangan dan mengambil tempat masing-masing sesuai tugas mereka. Kemudian di belakang mereka ada empat orang dalam satu rombongan. Rombongan itu dipimpin seorang pemuda berpostur tubuh jangkung dengan setelan jas dan celana berwarna hitam.

Ketika rombongan itu memasuki ruangan, semua orang yang ada di dalam langsung menundukkan pandangan mereka, tanda hormat pada sang pemimpin yang sudah hadir dalam acara wawancara staf baru.

Empat orang dalam rombongan itu telah mengambil tempat duduk yang telah disediakan.

Pak Anang bertugas membuka acara dan mengenalkan calon pegawai baru satu per satu ketika mereka akan dites via wawancara.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokaatuh... Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Pagi ini, sesuai dengan rencana, kita akan melakukan tes wawancara untuk memilih satu orang sekretaris wakil presdir, satu orang asisten manajer, dan satu orang kepala staf umum. Ada 9 orang calon pegawai yang sudah hadir di ruangan ini. Untuk lebih menyingkat waktu, saya perkenalkan dulu para pimpinan yang akan mengetes kalian satu persatu.” Pak Anang berjalan mendekati meja pimpinan.

“Baiklah, kita mulai dari bapak-bapak yang duduk di sebelah kiri. Ada Pak Heri, manajer senior di perusahaan ini. Lalu yang paling kanan ada Pak Anam, Direktur Keuangan. Yang paling ditunggu-tunggu. Sosok yang sangat dihormati, Pak Reno, wakil Presdir perusahaan ini.”

Deg!

Rayna mendengar nama Reno ketika kepalanya tertunduk, melihat kakinya yang terasa sedikit kesemutan. Ia mengangkat kepala, melihat sosok pemuda yang tak asing di matanya. Ya, Reno. Ada Reno, seorang pemuda yang pernah minta tumpangan payung padanya. Rayna terkejut melihat Reno. Ternyata benar bahwa orang yang dilihatnya tempk hari adalah Reno yang sama dengan....

Rayna berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya agar tidak ketahuan.

Reno menyadari bahwa Rayna melihat dirinya dan berusaha menyembunyikan ekspresi itu darinya. Reno tersenyum kecil melihat eskpresi Rayna.

“Peserta pertama. Rayna Husna.”

Deg!

Ya Allah kenapa harus aku yang dipanggil pertama, pikir Rayna.

Rayna agak ragu maju ke depan dan duduk di kursi yang telah disediakan oleh panitia. Kursi di tengah ruangan itu seperti kursi terdakwa dalam sebuah persidangan pidana.

.....

Dua jam kemudian.

9 orang peserta wawancara masing-masing tengah berdoa untuk keberuntungannya dalam tes itu, tak terkecuali Rayna. Jabatan yang dilamar Rayna bukan jabatan sepele. Pasalnya, syarat menjadi sekretaris di perusahaan Reygold harus benar-benar mampu menangani semua masalah atasan yang keteteran. Pekerjaan harus rapi, cepat, bekerja dengan sopan, selalu ramah pada siapapun termasuk klien dan orang-orang yang berasal dari luar perusahaan. Selain itu, yang termasuk poin penting lainnya adalah berpenampilan menarik. Tidak harus cantik tapi mampu berpenampilan menarik dan sopan.

Pak Anang bersiap mengumumkan hasil tes wawancara 9 orang yang berlangsung selama dua jam lebih.

“Saya akan mengumumkan hasil tes wawancara tadi. Ada tiga nama yang lolos dan resmi direkrut sebagai pegawai perusahaan kami. Baiklah, karena waktu begitu penting bagi pimpinan kami maka langsung saya sebutkan nama-nama peserta yang lolos.” Pak Anang membuka lembar kertas kedua. Dia membaca nama itu dalam hati, satu per satu secara teliti agar tidak terjadi kesalahan saat memberikan pengumuman.

“Peserta yang resmi direkrut sebagai kepala staf umum adalah saudari Sofi. Yang kedua, peserta yang lolos sebagai asisten manajer adalah saudari Frita. Ketiga, peserta yang lolos sebagai sekretaris adalah saudari Rayna.”

Ketiga orang yang namanya baru saja disebutkan sebagai peserta yang resmi direkrut oleh perusahaan Reygold itu tak percaya. Mereka saling pandang. Benarkah hasil pengumuman itu?

Rayna menatap Sofi yang tersenyum senang karena dirinya juga diterima di perusahaan itu. Ia terharu karena mereka berdua berhasil melewati jalan berduri untuk mencapai sukses.

“Harap didengarkan dulu.” Pak Anang menguasai ruangan agar tidak terjadi kegaduhan. “Mulai besok, tiga orang yang telah disebutkan namanya tadi sudah harus bekerja sesuai dengan jabatannya masing-masing. Besok akan ada satu orang untuk satu pegawai baru yang akan mengenalkan pekerjaan kalian dan melatih selama dua minggu. Jadi, besok pagi saya harap saudari sekalian tidak terlambat datang di kantor. Atas perhatiannya, saya ucapkan terimakasih dan selamat bergabung di perusahaan kami. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh...”

Pak Anang menyilahkan pimpinan perusahaan untuk meninggalkan ruangan saat itu juga. Reno dan dua orang yang mendampinginya dalam acara tes wawancara itu pun beranjak dari tempat duduk mereka dan meninggalkan ruangan secepatnya.

.....

Rayna dan Sofi berjalan menyusuri koridor lantai satu untuk mengambil jalan keluar.

“Na, aku pulang duluan, ya. Aku ada janji saja Prima. Dia ada di restoran Jepang, di sebelah itu.” Sofi bersemangat sekali bertemu dengan sang kekasih yang sudah menunggunya. Melihat Rayna yang tidak merespon, Sofi langsung menyenggol siku Rayna. “Malah melamun...”

“Ada apa, Sof?” tanya Rayna.

“Na, aku ada janji sama Prima. Kamu pulang sendiri, ya?” Sofi mengulangi perkataannya tadi.

Rayna mengangguk. “Oke. Aku bisa pulang sendiri. Sana, Prima sudah lumutan nunggu kamu.”

Sofi berjalan cepat, kegirangan karena akhirnya dia diterima bekerja di perusahaan ternama di Indonesia.

Rayna berjalan sendirian di koridor sepi lantai satu, yang langsung terhubung dengan lobi depan.

“Rayna!”

Rayna terlonjak kaget.

Seseorang memanggil namanya dan menarik lengannya, membuat dirinya masuk ke sebuah ruangan yang tak berpenghuni. Rayna menoleh ke arah kiri. Dia nampak terkejut melihat orang yang menariknya ke ruangan itu.

Reno tersenyum puas. Ia berhasil membuat Rayna mengikuti keinginannya.

“P, Pak Reno?”

Reno tertawa geli. “Pak? Kamu memanggilku Pak Reno?”

“I, iya,” jawab Rayna sambil mengangguk.

“Dengar, Rayna. Aku hanya ingin menjelaskan tentang sesuatu supaya kamu tidak salah paham.”

Rayna menatap Reno dengan kening berkerut. “Tentang apa?”

“Aku masih ingat dengan sangat jelas bahwa pada hari itu, aku bilang suatu hari nanti akan membalas kebaikanmu. Dan... Dalam tes wawancara tadi, aku benar-benar menilai usahamu tanpa ada unsur balas budi. Serius. Jadi, tolong jangan berpikir bahwa aku membuatmu lolos karena balas budi. No! Penilaian kami obyektif dan jujur. Jadi, kamu memang pantas bekerja di sini."

Rayna tersenyum. “Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Kalau aku diterima berarti aku memang layak untuk diterima. Tetapi jika aku tidak diterima berarti memang tidak layak. Aku percaya pada kemampuanku sendiri. Jadi, Pak Reno tidak perlu menjelaskan seperti itu. Aku ucapkan terimakasih karena telah menerimaku bekerja di sini, Pak.”

Reno menghela nafas panjang. Dia merasa agak aneh ketika Rayna memanggilnya dengan panggilan ‘pak’. “Oke, mari bekerja sama dengan baik. Mulai besok kamu adalah sekretarisku.” Reno mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Rayna.

Dua detik...

Tiga detik...

Rayna hanya menatap tangan Reno dengan penuh pertanyaan di kepalanya. Kenapa seorang wakil presdir mau bersalaman dengan sekretaris? Kenapa sikap Reno berbeda dari yang ia tunjukkan pada pegawai lain? Kenapa Reno terlihat sangat senang ketika Rayna ada di sana?

“Kenapa hanya dilihat?” tanya Reno, membuyarkan lamunan Rayna yang sedang mengumpulkan banyak pertanyaan di otaknya.

Rayna menyambut tangan Reno dan tersenyum tipis padanya. “Terimakasih, Pak Reno. Kalau sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi, saya pamit.”

“Baiklah, silahkan.” Reno menyilahkan Rayna pergi dari ruangan itu. Tatapannya tak lepas dari punggung Rayna yang kemudian hilang di balik pintu.

“Entah apa yang harus ku jelaskan padamu, Rayna. Setelah aku mengetahui sebuah rahasia besar yang disampaikan kakekku, aku begitu senang melihatmu lagi. Ternyata... Kau datang ke perusahaan ini di saat aku diam-diam mencarimu.” Reno bicara lirih, tak ada yang mendengarnya, tak ada siapapun di ruangan itu selain dirinya sendiri.

.....

Malam hari.

Sebuah ruangan dengan penataan yang apik, penerangan redup, dan perabotan minimalis yang membuat mata nyaman memandangnya, merupakan milik seorang pemuda tampan yang sering menghabiskan waktunya dengan membaca berkas-berkas proyek, investasi, dan lain-lain. Ya, sudah bertahun-tahun Reno melakukan pekerjaan seperti orang-orang tua di perusahaannya. Padahal pemuda itu masih berusia 24 tahun.

Reno menatap kosong pada jendela kamarnya yang hanya dihiasi sebuah tirai berwarna putih. Perabot, cat tembok, semua yang ada di dalam kamarnya berwarna putih. Seakan tengah menanti seseorang yang akan muncul di jendela, pemuda itu tak henti-hentinya menatap benda mati yang bahkan tak bisa bergerak.

Melamun. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Reno saat ini.

Reno POV

Rumahku mewah, apapun bisa aku beli dengan mudah. Kalaupun aku mau, gadis mana saja pasti bisa ku dapatkan. Tetapi... Ketika aku kesepian, semua yang ku miliki seakan tak berguna. Apapun yang ku lakukan tetap saja kesepian. Apa mungkin ini karena aku anak tunggal?

Saat tengah gundah gulana seperti ini, tina-tiba ponselku berdering. Astaga!

Ku lihat nama yang tertera di layar ponsel ku. Clara.

Kenapa harus gadis itu yang datang ketika aku kesepian? Kenapa harus dia yang meneleponku? Ingin ku lempar ponselku pada lantai supaya aku tak perlu lagi melihat nama Clara.

Klik!

“Reno... Sini... “ Suara Clara terdengar manja di ujung telepon.

Benar-benar malas. Aku tarik selimut untuk menutupi tubuhku. Aku ingin tidur saja daripada bicara dengan Clara. Siapa Clara? Dia calon tunanganku. Gadis yang harus menjadi pasanganku.

“Kamu saja yang datang ke sini,” balasku ketus.

“Reno, aku tunggu di bar biasanya, ya. Buruan datang. Di sini juga ada beberapa anak konglomerat rekan bisnismu. Haruskah aku mengatakan pada mereka sesuatu yang buruk tentangmu?”

Ancaman lagi. Senjata Clara adalah ancaman yang bisa menjadi kenyataan.

“Baiklah. Sejam lagi aku sampai di sana. Sebelum aku sampai, jangan telepon aku lagi.”

Klik!

Ku matikan telepon dari Clara. Muak dengan sikapnya yang manja dan sering kasar terhadap orang lain. Sebenarnya aku malas sekali memenuhi keinginan Clara untuk datang ke bar langganannya.

Baiklah, aku akan ke sana dengan cara lain daripada yang kemarin-kemarin.

10 menit adalah waktu yang cukup untukku berganti pakaian. Celana jeans warna hitam, kaos oblong warna abu muda, jumper warna abu tua , dan sneaker warna hitam. Sengaja ku padu padankan agar terlihat tidak glamor dan sesuai dengan mood-ku. Ku ambil dompet dan ku keluarkan semua kartu kredit yang ada di dalamnya. Uang yang ku bawa pun hanya satu juta. Aku sengaja melakukan ini karena aku tidak mau lagi diperas oleh cewek ganjen bernama Clara itu.

.....

Author POV

40 menit kemudian.

Reno melangkah santai memasuki bar yang terletak di jantung kota Jakarta. Bar yang selalu ramai sampai Subuh itu selalu menjadi langganan Clara, sang calon tunangan, untuk bersenang-senang.

Tak perlu memakan banyak waktu untuk menemukan gadis yang selalu menghamburkan uang itu, Reno berdiri di hadapan Clara dengan kostum yang tidak biasa.

“What! Apa ini, Sayang?” Clara hanpir memuntahkan minuman yang baru saja masuk ke dalam mulutnya ketika melihat penampilan Reno.

“Memangnya kenapa?” tanya Reno acuh. “Kau memaksaku datang kemari. Senjatamu selalu ancaman-ancaman tidak masuk akal yang kau jadikan kenyataan. Sekarang, aku bisa juga membuatmu terkejut. Aku bukan budakmu, Clara. Aku juga bukan anak kecil yang selalu kau bodohi.”

Clara kesal. Dia melemparkan sebuah gelas anggur ke arah dinding yang menyebabkan beberapa orang terluka terkena pecahan gelas tersebut. “Beraninya kau, Reno!”

Reno menatap Clara penuh kebencian. “Pesanlah semaumu lalu bayar sendiri. Lakukan apapun yang kau mau lalu tanggung sendiri akibatnya.” Reno hendak pergi dari tempat ia bertengkar dengan Clara. Namun tiba-tiba Clara menarik tangannya.

“Mau ke mana kamu, Reno?” deru nafas Clara terdengar oleh Reno yang berdiri membelaknaginya.

“Aku wakil presdir Reygold Corporation. Bukan budakmu. Jadi, terserah aku mau pergi ke manapun. Kenapa? Ada masalah? Mau mengadu ke ayahku? Silahkan!” Reno melepaskan tangannya yang dipegang Clara dengan sangat erat. “Aku sudah muak dengan sikapmu, dengan kelakuanmu setiap hari, dengan semua hal tentangmu, Clara. Mengadu sana!”

Reno berjalan menjauhi Clara yang berdiri dengan api emosi menguasai dirinya. Wajahnya yang cantik tampak merah padam.

“Kamu tidak akan bisa pergi dariku, Reno. Lihat saja. Aku akan membuat kamu bertekuk lutut di depanku.” Kedua jari-jari tangan Clara mengepal karena kesal pada sikap Reno.

.....

Reno kembali ke dalam mobilnya. Kedua manik matanya meneteskan air bening yang disebut airmata. Tangannya mengepal dan memukul kemudi yang terpampang di depan matanya. Ancaman, aduan, tekanan, dan apalah itu. Selalu begitu. Selalu dia yang disalahkan. Keinginan Reno untuk bisa lepas dari Clara sangat besar. Pemuda tampan itu menangis mengingat dirinya yang begitu bodoh diperalat Clara. Ini hidupnya, dia bebas menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dia berhak memilih pasangan hidupnya, tidak harus dipaksa seperti ini.

Sepuluh menit Reno habiskan untuk meluapkan kekesalan di dalam mobil. Ia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Setidaknya di sana dia bisa menenangkan pikirannya, menata kembali hatinya, dan bisa berpikir jernih untuk masa depannya.

.....

Malam ini Rayna janjian dengan Sofi dan Prima do sebuah taman. Sofi baru saja membelikan setelan kostum kerja untuk Rayna. Sebuah hadiah dari teman karib karena Rayna berhasilenjadi sekretaris wakil presdir. Sebuah prestasi yang luar biasa.

Rayna dan kedua temannya berpisah di dekat sebuah taman kota. Maklum saja, mereka berdua adalah pasangan yang haus kencan. Sebagai teman yang baik, Rayna bisa memahami keinginan mereka. Lagipula, Sofi sudah membelikannya hadiah yang sangat cantik bagi Rayna.

Saat sedang berjalan santai, Rayna dikagetkan oleh sebuah mobil warna putih yang berjalan mengirinya. Rayna menghentikan langkahnya. Ia menatap mobil itu. Kerutan di keningnya semakin jelas saat ia mengingat mobil yang ikut-ikut berhenti di depannya. Bukankah ini mobilnya....

“Rayna!” panggil Reno dengan ekspresi wajah datar, malah lebih keliatan murung.

Rayna teringat mobil itu adalah mobil Reno yang pernah mogok di tengah hujan lebat. Tapi kenapa raut wajah pemuda itu tidak seperti biasanya? Tidak terlihat dingin. Bahkan wajah Reno nampak sedih. Rayna masih berdiri mematung, menatap seorang pemuda yang duduk di belakang kemudi dengan tatapan iba.

Ada apa dengan Reno? tanyanya dalam hati.

Reno keluar dari mobil. Barulah tampak jelas ekspresi pemuda super tampan itu berbeda dari biasanya. Rayna merasa kasihan melihat bosnya dengan ekspresi seperti itu.

.....

Rayna dan Reno duduk di sebuah bangku di taman yang terbuat dari besi dan dicat warna putih. Suasana hening. Tak ada yang berani membuka obrolan malam itu. Rayna sungkan membuka obrolan karena ia tahu kalau Reno sedang bersedih. Dilihat dari raut wajahnya, Reno tak ingin banyak bicara saat itu. Sedangkan Reno sendiri terlalu malas memulai obrolan. Dia bahkan bingung harus memulainya darimana.

“Maaf, Rayna. Lagi-lagi aku membuatmu batal pulang.” Reno memutuskan memulai pembicaraan dengan Rayna. Ia tahu bahwa pasti Rayna merasa tidak enak jika harus memulainya.

Rayna melirik Reno dari kedua sudut mata indahnya. “Tidak apa-apa. Jika ada yang ingin dibicarakan, aku sama sekali tidak melarangmu.” Kali ini Rayna tidak memanggil Reno dengan tambahan ‘pak’.

Reno menoleh ke arah Rayna. “Kau tahu? Saat ini aku benar-benar sedang down.”

“Down?” Rayna heran, ternyata orang kaya juga bisa galau. “Mm... Kalau tidak keberatan, ceritakan aja sekarang. Aku siap menjadi pendengar yang baik.”

Reno tertunduk lesu seakan ia enggan hidup lagi.

“Kalau kita punya masalah hidup, itu artinya Allah masih sayang dan masih peduli pada kita. Semua masalah yang diberikan oleh Allah adalah takdir yang harus kita terima dengan sabar, dihadapi dengan tabah dan ikhlas. Allah yang memberi masalah maka Allah juga yang akan memberikan jalan keluarnya. Berdoalah memohon pertolonganNya.”

Kata-kata yang keluar dari mulut Rayna tidak pernah didengar Reno dari orang selain gadis polos itu. Baru kali ini, ada orang yang berani memberikan nasehat padanya. “Aku beruntung sekali mendengar nsehat seperti itu darimu. Kita baru tiga kali bertemu, kan? Kenapa kamu baik sekali, Rayna?”

Rayna bingung mencari kata yang tepat untuk menanggapi perkataan Reno. Menurutnya, apa yang baru saja dia katakan itu sudah sering dikatakan oleh para ustadz yang dilihatnya di channel-channel Youtube. “Biasa saja, jangan berlebihan begitu. Saat di kantor, kamu adalah atasanku. Tapi ketika di luar urusan kantor, kita adalah teman. Hmmm?” Rayna menunggu respon Reno.

Reno terdiam. Benar-benar baru kali ini ada orang seperti Rayna. Jika ada orang lain, tidak akan ada yang berani mengatakan hal seperti itu padanya. Alhasil, dia selalu disegani tanpa dianggap sebagai teman. Tapi dianggap sebagai orang yang menakutkan.

“Seandainya semua orang sepertimu, Rayna. Maka aku tidak perlu merasa kesepian lagi.”

Deg!

Kata-kata Reno begitu menyayat hati Rayna. Dia merasa biasa saja, tidak ada yang istimewa darinya. Tapi Reno malah memujinya.

“Banyak orang baik di dunia ini. Apa yang kamu lakukan adalah apa yang akan kamu terima dari orang lain. Apa yang kamu katakan adalah apa yang akan kamu dengar dari orang lain.”

Rayna memandang Reno yang terdiam kesekian kali. “Apapun masalahmu, hadapi saja dengan sabar. Jangan pernah mengatakan hal-hal buruk pada orang lain, karena hal buruk juga yang akan kamu dengar dari orang lain. Begitu juga dengan sikapmu. Jika ingin dihargai dan dihormati maka kita juga harus menghormati dan menghargai. Di dunia itu ada hukum karma. Siapa yang menyayangi pasti kelak akan disayangi juga.”

“Dari apa yang kamu katakan itu... Aku tahu apa yang harus aku benahi. Aku baru sadar bahwa selama ini aku juga salah. Kesalahanku membuat orang-orang di sekitar berbuat salah padaku. Akhirnya tetap aku yang tersakiti."

Rayna merasa iba ketika Reno mengatakan kejujuran yang tak ia duga. Mereka baru mengenal bahkan belum sampai tahu sifat masing-masing. Tapi Reno merasa nyaman saat ngobrol dengan Rayna.

"Bersemangatlah, Pak!" 

Reno terkejut mendengar kata 'pak'. Sedari tadi gadis itu tidak menyebut kata 'pak'. Sekarang malah dia memberi semangat dengan memanggilnya pak.

"Jangan panggil aku 'pak' kalau di luar seperti ini. Aku masih muda," ketus Reno kesal. 

Rayna tersenyum karena berhasil membuat Reno kembali kesal padanya. 

Bersambung....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status