Share

Rasa Bersalah

Acara makan malam yang diadakan oleh Rayna dan dua orang sahabatnya berjalan sangat menyenangkan. Meskipun sesekali Rayna teringat Reno yang terkahir kali nampak murung. Mungkin bosnya sedang ada masalah dengan Clara, pikirnya. Ia berusaha membuang pikiran tentang Reno jauh-jauh agar perasaan cinta tak menghinggapi hatinya. Semakin memikirkan Reno maka Rayna semakin luluh pada laki-laki pewaris perusahaan keluarga Subrata itu.

Jarum jam menunjukkan pukul 21:45, waktunya Rayna pulang ke rumah jika tidak ingin ibunya cemas dan khawatir tentangnya. Rayna mengajak Sofi dan pacarnya segera pulang karena malam ini angin berhembus cukup kencang. Berdasarkan pengalaman, angin malam tidak baik bagi kesehatan.

“Baiklah, aku pulang dulu, ya,” kata Rayna yang tidak sabar menunggu dua sahabatnya itu bersiap-siap. Menurutnya, Sofi dan pacarnya bersiap pulang seperti anak TK yang bersiap pulang dari sekolah, begitu lama.

“Hati-hati!” seru Sofi ketika Rayna berjalan menjauhi mereka.

.....

Dalam perjalanan pulang, Rayna masih memikirkan Reno dan semua yang pernah dia alami bersama bos tampannya itu. Ia menyadari bahwa statusnya hanya bawahan, bukan teman spesial atau sahabat Reno. Jadi, dia merasa harus menjaga jarak dengan laki-laki super kaya itu. Tidak pernah terbersit dalam pikiran maupun hatinya untuk merebut tunangan orang lain.

“Aku masih punya harga diri,” gumamnya lirih sambil menikmati pemandangan malam yang anginnya masih bertiup cukup kencang. Lumayan membuat tubuh merasa dingin.

“Rayna!”

Rayna menghentikan langkahnya. Ia memutar badannya dan mendapati Reno berdiri tepat di depannya saat ini.

“Bagaimana bisa ada di sini?” tanya Rayna pada Reno karena merasa ada yang janggal. Pemuda itu selalu mengetahui di mana Rayna berada.

“Aku lewat jalan ini tadi dan melihatmu berjalan di pinggir jalan. Jadi, aku memutuskan menghampirimu. Apakah... Acaramu sudah selesai?” tanya Reno yang sekarang tengah mengenakan kaos oblong lengan panjang dan sebuah celana trining warna gelap.

Rayna melihat penampilan Reno yang sederhana namun tetap menunjukkan karismanya. “Sudah. Aku pulang lebih dulu karena malam semakin larut. Ibu pasti khawatir kalau sampai tengah malam aku masih ada di luar rumah,” jawab Rayna.

“Bolehkah aku bicara denganmu beberapa menit, Rayna?” pinta Reno dengan tampang melas.

Rayna ingin menjawab tidak, tapi hal itu bisa membuat Reno sedih. Jika dia menjawab iya, takutnya Clara tiba-tiba datang dan memergoki mereka berdua. “Baiklah, hanya sebentar, ya?”

Reno tersenyum senang. “Masuklah! Kita bicara di dalam mobil saja. Supaya orang-orang tidak melihat kita berdua.”

Rayna menurut tanpa bertanya sesuatu. Ia masuk ke dalam mobil mewah milik Reno yang tak asing lagi baginya. Di dalam mobil, Rayna hanya diam membisu. Dia menunggu si empunya mobil mengeluarkan kata-kata lebih dulu.

“Aku minta maaf atas sikap Clara akhir-akhir ini. Dia sudah sangat keterlaluan. Aku... Benar-benar tidak menyangka kalau dia akan melakukan hal-hal yang... Menurutku gila. Ini gila, Rayna. Bisa-bisanya dia melakukan itu padamu.” Reno berkata dengan sedikit emosi. Ya, laki-laki itu sering emosi dan kesal jika mengingat sang tunangan.

Rayna hanya tersenyum mendengar pengakuan Reno terhadap sikap Clara padanya. Saat ini Rayna merasa tidak apa-apa jika Clara bersikap kasar padanya. Semua yang terjadi padanya adalah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa. Jadi, dia hanya bisa sabar karena suatu saat masalah itu pasti akan selesai.

“Tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu. Aku tahu kalau sebenarnya dia sangat mencintaimu, Bosku. Anggap saja Clara sedang ingin membuktikan perasaannya padamu. Mungkin caranya yang terlalu ekstrim, sampai harus bersikap kasar padaku.”

Reno tercengang mendengar penuturan Rayna yang begitu bijaksana. Ia tak menyangka jika sekretaris cantik itu akan mengatakan hal demikian. Dia selalu membela Clara, orang yang telah menamparnya dua kali.

“Kenapa kamu malah membela Clara? Aku membelamu, Rayna. Tapi kamu membela Clara?” Raut wajah Reno menunjukkan kekesalan pada Rayna yang hanya menggodanya.

Rayna terkikik geli. “Santai saja, Reno. Aku bukan orang yang suka memendam kebencian. Kalau memang Clara ingin bersikap sepertinitu, ya, biarkan saja. Aku akan menerimanya. Hal ini bisa menjadi pembelajaran bagiku dalam menghadapi sikap orang-orang yang unik.”

Tak ada balasan dari Reno. Ia sudah kehabisan kata-kata. Entah apa lagi yang bisa membuat Rayna emosi. Sikap Clara yang begitu kasar tidak mampu membangkitkan emosi Rayna. Ia mengagumi sosok Rayna secara diam-diam.

“Ada lagi yang ingin dibahas?” tanya Rayna saat melirik arlojinya sudah menunjukkan pukul 23.15.

“Sebenarnya masih ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Tapi lain kali saja.” Reno menyadari kalau sebenarnya Rayna ingin segera pulang karena malam semakin larut. Ia pun tidak ingin jika ibunya Rayna khawatir terhadap putrinya. “Aku antar pulang, ya?”

Deg!

Tawaran Reno membuat jantung Rayna berdetak kencang. “A, aku tidak ingin menyusahkan apalagi sampai mengantarku pulang. Tidak usah, aku bisa pulang sendiri.”

“Duduklah dengan tenang, pakai sabuk pengamannya. Aku akan mengantarmu pulang. Tidak baik seorang gadis berjalan di malam hari sendirian. Kalau terjadi apa-apa padamu, aku akan sedih karena sekretarisku hilang.”

Rayna ingin tertawa mendengar lelucon Reno tersebut, namun ia tahan supaya tidak memalukan tertawa di depan Reno.

.....

Seorang gadis berpakaian seksi dengan rambut dibiarkan tergerai menutupi punggungnya, tengah asyik menikmati sebotol minuman memabukkan yang tak lain adalah bir. Clara, panggilan gadis seksi itu tak henti-hentinya menuangkan cairan berwarna kuning bening ke dalam mulutnya. Ia tak memerlukan gelas lagi untuk bisa meneguk cairan haram tersebut.

Clara merasakan kepalanya sangat pusing, dirinya bahkan seperti berada di atas awan, seperti terbang melayang. Mulutnya meracau, mengeluarkan kata-kata kotor dan menyebut-nyebut nama Rayna. Rupanya gadis kaya itu sedang melampiaskan kekesalannya dengan cara membuat dirinya mabuk.

Melihat seorang gadis tengah mabuk berat membuat Septa, seorang pemuda penikmat dunia malam. Dia menatap lekat pada tubuh Clara yang dibalut sehelai kain satin premium yang menampakkan sebagian besar tubuh seksinya. Dari arah samping, nampak jelas sekali buah dada yang menggantung hanya ditutupi kain satin itu. Tak ada pria yang tak tergoda melihat buah dada seperti itu. Rok dress yang Clara kenakan juga tak luput dari tatapan mata keranjang laki-laki bernama Septa itu. Ujung bibirnya tersungging, menunjukkan bahwa dirinya memiliki rencana buruk pada Clara yang sedari tadi ditatapnya.

Sedangkan Clara, masih sibuk menuangkan minuman keras ke dalam mulutnya padahal ia sudah tak kuat lagi menahan sakit kepala yang menyerangnya akibat terlalu banyak minum alkohol.

Septa berjalan mendekati Clara dan mengambil botol minumannya dengan pelan seraya menyunggingkan senyum buaya miliknya. “Ayo, aku temani sampai kau puas, Cantik.” Ia berusaha meluluhkan hati Clara yang tengah mabuk berat.

Mendapat perlakuan yang lembut dari kaum Adam, Clara sontak tersenyum dan merasa senang. Seseorang bersedia menemaninya mabuk malam itu.

Septa menuruti semua kemauan Clara untuk terus meneguk minuman haram itu. Pada akhirnya, gadis kaya itu tak sadarkan diri dan menggeletakkan kepalanya di atas meja. Rupanya sebuah batu sudah berhasil membebani kepala Clara hingga ia tak sadarkan diri.

Melihat mangsanya sudah lengah, Septa segera mengangkat tubuh Clara dan membawanya ke dalam salah satu kamar yang disewakan di diskotik itu.

.....

Tubuh Clara yang sedang tak sadarkan diri diletakkan di atas ranjang sederhana yang ada di dalam kamar sewa. Sprei putih menjadi alas tidurnya malam itu. Setelah mengunci pintu dan mengganti lampu remang-remang, Septa melucuti pakaian Clara yang hanya berupa dress mini dari kain satin dan sebuah celana dalam. Sungguh pemandangan yang tak bosan dinikmati. Septa melihat bagian tubuh Clara dari ujung kepala hingga ujung kaki, inchi demi inchi. Tubuh polos itu membuat Septa semakin nafsu untuk menggagahinya. Malam itupun, Septa melancarkan rencananya meniduri Clara yang sudah tak membuka matanya karena pengaruh alkohol yang terlalu banyak.

Pagi harinya, Clara tersadar dari tidur panjangnya. Ia mendapati tubuhnya berada dalam pelukan seorang laki-laki yang masih nyenyak menikmati tidurnya. Ia merasakan tangan laki-laki itu menyentuh gundukan kenyal di dadanya.

“Apa yang terjadi?” tanyanya lirih, entah pada siapa pertanyaan itu ia tujukan.

Dilihatnya sekeliling kamar sewa itu. “Ini kan kamar sewa yang ada di diskotik...” Belum selesai mengucapkan kata-kata, tiba-tiba kedua bola matanya melotot. Wajah Clara berubah merah padam. Ia menatap sosok laki-laki yang masih tidur di sampingnya. Laki-laki itulah yang telah menggagahinya, merusak kehormatannya. Dalam keadaan syok, Clara masih dapat berpikir untuk balas dendam pada laki-laki tersebut. Ia segera mengambil ponselnya. Sejurus kemudian, ia memposisikan diri tidur di samping laki-laki bernama Septa itu dan memfoto dirinya sendiri. Seakan -akan seseorang telah mengambil gambar mereka sedang tidur bersama.

Clara melirik laki-laki itu dengan penuh dendam. “Aku tidak akan membiarkanmu lolos, Septa.”

Rupanya ia telah mengenal laki-laki yang sama licik dengan dirinya. Setelah berhasil mengambil gambar dirinya bersama Septa, Clara pun bergegas memakai pakaiannya lagi. Ia juga mengambil jaket milik Septa untuk menutupi tubuh seksinya. Pagi itu pun Clara meninggalkan diskotik langganannya dan memendam dendam pada laki-laki yang dikenalnya selama empat bulan terakhir.

.....

Clara berada di dalam mobil mewahnya, melajukan besi berjalan itu dengan kecepatan tinggi. Dia ingin segera membersihkan diri dari bekas kecupan atau apapun yang dilakukan oleh Septa pada tubuhnya yang berkulit sangat halus. Rasa jijik semakin ia rasakan.

Kriiiing!

Ponselnya berdering. Clara mengabaikan panggilan tersebut dan tetap fokus menyetir dalam kecepatan tinggi.

Kriiiing!

Ponselnya berdering lagi. Kali ini Clara melirik benda tipis yang ia letakkan di atas jok samping. “Reno?” Keningnya berkerut, merasa janggal pada panggilan Reno sepagi itu. Clara meraih posnselnya.

“Ada apa?” tanyanya setelah tersbung dengan Reno di telepon.

“Ibuku mengundangmu sarapan pagi ini.”

Deg!

Clara menghentikan laju mobilnya secara tiba-tiba. Ia tercengang, kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh tunangannya. Ia terdiam sejenak, berusaha mencari alasan untuk menolak undangan tersebut.

“Kenapa mendadak sekali?” tanya Clara lemas. Ia tidak mungkin langsung pergi ke rumah sang tunangannya. Kondisi dan penampilannya tidak memungkinkan ia pergi begitu saja ke rumah calon mertua. Clara menghela nafas panjang. “Baiklah, tapi aku belum mandi. Aku akan ke sana dalam waktu 1,5 jam lagi.”

“Terserah. Yang penting jangan membuat ibuku kecewa. Jika tidak...”

“Apa? Jika tidak, kalian akan membatalkan pertunangan kita?” tanya Clara yang mudah tersulut emosi.

Reno sedang tidak ingin ribut dengan Clara pagi itu. Ia harus segera menghubungi Rayna karena hari ini datang terlambat di kantor.

Klik!

Reno sengaja mematikan ponselnya dan tidak berselera mendengar ocehan Clara yang tidak bermutu baginya.

.....

Hari ini Rayna bekerja dengan semangat seperti hari-hari sebelumnya. Walau akhir-akhir ini selalu muncul masalah dengan Clara namun ia yakin bahwa tak ada masalah yang tak dapat diselesaikan. Dia memang dekat dengan Reno tapi bukan dalam hubungan antara pria dan wanita. Mereka lebih mengarah pada pertemanan. Seperti kemarin, hari ini Rayna masih harus menyelesaikan dua buah laporan terkait persiapan pelaksanaan proyek terbaru perushaaan Reygold Corp. Sebagai sekretaris seorang wakil presdir, dia harus bekerja sesuai dengan standar kemampuan sekretaris yang telah ditetapkan oleh perusahaan tersebut. Tidak ada tugas yang berat bagi Rayna. Ia selalu berkeyakinan bahwa semua bisa dilakukan dengan niat dan usaha yang baik. Jika orang lain dapat melakukan sesuatu yang hebat, kenapa dirinya tidak bisa? Semua orang pasti bisa.

Rayna sedang konsentrasi pada layar komputer di depannya. Tiba-tiba Reno datang dengan tergesa-gesa dan menanyakan laporan yang harus ia tandatangani. Rayna yang sedikit kaget langsung menyerahkan sebuah laporan yang siap ditandatangani oleh Reno.

“Pak Reno mau ke mana?” tanya Rayna yang melihat penampilan Reno berbeda dari biasanya.

Ya, kali ini Reno datang ke kantor hanya mengenakan setelah kemeja polos, celana kain berwarna hitam, dan jaket.

Reno mengikuti arah pandang Rayna yang memandangi penampilannya. “Oh, mungkin hari ini aku akan masuk kerja siang, Na. Atau bisa juga tidak masuk kerja khusus hari ini.”

“Kenapa, Pak?” tanya Rayna penasaran karena tidak seperti biasa bosnya izin atau absen dari pekerjaannya.

“Pagi ini mamah mengundang Clara sarapan di rumah. Jadi, aku tidak bisa datang ke kantor pagi-pagi. Kalau urusan di rumah sudah selesai, barulah aku pergi ke sini lagi. Tapi bisa saja urusan di rumah akan panjang. Kau tahu sendiri, kan? Seperti apa sikap dan sifat Clara. Aku yakin nanti akan ada masalah di rumah kami.”

Rayna mengangguk kecil. “Baiklah, tidak apa-apa, Pak. Saya akan menyelesaikan sisa laporan dan proposal untuk proyek kita yang terbaru. Besok Pak Reno bisa menandatanganinya.”

Reno tersenyum mendengar kalimat dari Rayna yang membuatnya semakin percaya kalau sekretaris cerdas itu bisa diandalkan. “Baiklah, aku pulang lagi. Hubungi aku kalau ada sesuatu yang penting.”

“Baik,” jawab Rayna singkat. Tak berapa lama kemudian, ia melihat tubuh Reno berbalik dan berjalan menjauh. Dalam hati, Rayna merasa sedih mendengar kalau Reno akan makan pagi bersama keluarga dan Clara. Ia benar-benar menginginkan hal itu terjadi juga padanya.

“Kenapa rasanya sedih sekali mendengar kalau dia akan berkumpul dengan Clara dan keluarga di rumahnya?” lirih Rayna. “Apakah aku menyukainya? Punya perasaan padanya?” Rayna membuang pikiran itu jauh-jauh. “Tidak, tidak. Itu tidak mungkin. Reno sudah menjadi milik orang lain, seharusnya aku mendukungnya, bukan malah menyimpan perasaan padanya.”

.....

Pukul 9 pagi, Reno tiba di kediaman keluarganya berbarengan dengan Clara yang baru saja memarkirkan mobil mahalnya. Reno berpura-pura tidak melihat kedatangan mobil tunangannya itu dan langsung melenggang masuk ke dalam rumah. Sementara itu, nyonya Subrata telah selesai menyiapkan sarapan spesial pagi itu bersama seorang asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya selama lebih dari 20 tahun.

“Lho, Reno... Di mana Clara? Sudah jam 9 ini.” Nyonya Subrata bertanya pada putranya yang baru saja masuk ke ruang makan.

“Sebentar lagi datang,” jawabnya asal. Reno sama sekali tidak ebrsemangat pagi itu. Aku ke kamar dulu. Nanti kalau sudah siap semua, tolong panggil aku, Bi.” Sepersekian detik kemudian, Reno menapakkan kakinya di atas anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua.

Nyonya Subrata hanya menatap heran putra tampannya yang sekarang sudah dewasa. “Kelakuan anak itu masih sama seperti usia remaja,” ucapnya lirih.

Tok tok tok!

Terdengar bunyi pintu masuk diketuk tiga kali oleh seseorang yang berada di depan pintu. Clara, datang memenuhi undangan makan pagi calon mertuanya. Tentu saja karena dia tidak ingin membuat keluarga Subrata kecewa atas sikapnya. Dalam hatinya, ia sangat menginginkan menjadi menantu tunggal keluarga super kaya itu.

Seorang asisten rumah tangga berusia muda membukakan pintu untuknya. “Silahkan masuk, Mbak Clara. Nyonya sudah menunggu sedari tadi.”

Clara merasa agak risih dipanggil dengan sebutan ‘mbak’ oleh seorang pembantu. Dia ingin dipanggil dengan sebutan yang lebih pantas, lebih elegan, bukan sebutan untuk wanita pada umumnya.

“Baiklah, terimakasih,” ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.

Pagi ini Clara bangun dari tidurnya dalam keadaan tanpa busana bersama seorang pria asing. Hanya berselang dua jam, sekarang dirinya sudah berdiri di depan pintu rumah tunangannya. Tentu hal ini membuatnya sedikit terhibur dan merasa beruntung menjadi tunangan Reno yang memiliki orangtua baik.

Clara menginjakkan kakinya menyusuri lantai mewah kediaman keluarga Subrata. Dia berjalan menuju ruang makan diiringi pembantu yang membukakan pintu untuknya.

“Silahkan, Mbak,” ucap pembantu itu ramah. Ia menyilahkan Clara mendekati meja makan.

“Hai, Sayang,” sapa pemilik rumah mewah itu ketika melihat Clara yang berpenampilan cantik sudah berdiri di dekat meja makan. Nyonya Subrata menghampiri Clara dan memeluknya. “Apa kabar, Clara? Semakin cantik, ya,” puji calon mertua Clara.

Clara Cynthia Audrey tersenyum semanis mungkin agar terlihat lebih cantik. Dipuji seperti itu membuat gadis bersurai panjang pirang itu semakin sombong. “Baik, Tante. Terimakasih pujiannya.”

Ketika nyonya Subrata dan Clara sedang asyik mengobrol, tiba-tiba presdir Reygold Corp datang bersama seseorang yang diajaknya.

“Wah, rupanya Clara sudah datang,” kata Tuan Subrata yang ingin menyapa Clara yang berpenampilan cantik pagi itu.

Ya, pagi ini Clara menunjukkan kecantikannya di depan calon mertua dengan maksimal. Ia mengenakan setelan atasan dan rok selutut berwarna merah tua. Dia juga membiarkan rambutnya tergerai indah menghiasi punggung langsingnya. Penampilan sederhana itu cocok untuknya. Terbukti, dia mendapat pujian dua kali dari calon mertuanya.

“Terimakasih, Om,” ucap Clara dengan senyumnya. Sejurus kemudian, ia mengarahkan pandangannya pada seorang gadis yang berdiri di samping tuan Subrata. Kedua netranya tak berkedip saat melihat gadis itu. “Rayna?” lirih Clara saat mengetahui bahwa Rayna juga diundang pagi itu.

Seperti halnya Clara, Rayna pun terkejut melihat sosok Clara di rumah Reno.

.....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status