Dengan kekesalan yang telah memenuhi ubun-ubun dan hatinya, Clara mendelik kesal. Kedua matanya hampir tak bisa dibedakan dengan mata kucing yang marah karena sesuatu saat seseorang bertanya padanya mengapa dia menampar karyawan Reno di depan umum. Ia merasa berhak melakukan hal itu karena statusnya sebagai tunangan Reno.
Suasana hening dan memanas. Tak ada seorang pun yang berkutik dan mengeluarkan sepatah kata pun, termasuk Reno dan Rayna. Bukan tak ingin membela sekretarisnya, Reno masih memilih diam untuk menanti situasi yang memungkinkan dirinya mengatakan sesuatu pada tunangannya yang saat ini sedang merah padam karena marah.
Kemarahan Clara tak beralasan yang jelas. Hal itu justru membuat para petinggi perusahaan-perusahaan terkenal yang berteman baik dengan ayahnya menjadi beranggapan buruk padanya. Mereka berpikir bahwa Clara adalah gadis yang tidak memiliki sopan santun bahkan di tempat umum.
Rayna menatap aneh pada gadis berperawakan seksi di depannya. Ia masih memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras tangan Clara. Dalam hatinya, Rayna ingin sekali memaki gadis itu dan membuatnya malu di depan umum. Tapi Rayna bukanlah seorang wanita yang mudah membuat orang lain menangis karena perbuatannya. Ia yakin bahwa suatu saat, siapapun manusia di dunia pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya sendiri. Begitu juga Clara, tanpa dibalas pun, Tuhan yang akan membalasnya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Reno dengan suara lirih. Ia tahu kalau Clara telah menampar Rayna secara tiba-tiba. Ia juga melihat perbuatan tunangannya yang tidak manusiawi itu. Tapi Reno bertanya demikian untuk mendengar jawaban dari mulut Clara sendiri. “Apa yang membuatmu menampar Rayna seperti itu?” tambahnya.
Clara terdiam. Kedua netranya berkaca-kaca. Terlihat jelas pada netra itu kalau dirinya menahan tangis yang ingin pecah di tempat itu.
“Dia... Dia sudah berani merebutmu dariku.” Jawaban Clara sontak membuat semua orang yang mendengarnya terperangah. Terutama Reno dan Rayna.
Rayna langsung menatap Reno tak percaya. Begitu rendahnya Clara memandang dirinya. “Mbak, saya tidak pernah memiliki niat sedikit pun, sekecil apapun untuk melakukan apa yang mbak tuduhkan kepada saya.”
Sebuah tangan melayang hendak menampar Rayna dan berhasil ditahan oleh Reno. Laki-laki tampan itu memegang tangan Clara yang ingin menampar Rayna kedua kalinya. Gadis itu benar-benar sudah dikuasai oleh amarahnya.
“Tidak akan ku biarkan siapapun menyakiti karyawanku,” kata Reno guna melindungi Rayna dari kemarahan Clara.
.....
Rayna memilih diam seribu bahasa di dalam mobil bersama Reno dan sopirnya. Sepanjang jalan, dia hanya melamun, mengingat-ingat semua yang dilakukan bersama Reno. Apakah perbuatannya bisa dikatakan sebagai ‘merebut’ kekasih orang lain. Melihat sekretaris cantik yang terdiam sedari tadi, membuat Reno dapat menduga bahwa gadis itu tengah melamun. Rayna pasti sedang memikirkan kata-kata Clara dan perbuatannya yang membuat gadis itu sedih.
“Ada apa?” tanya Reno pelan, tidak ingin membuat Rayna merasa bersalah atas tuduhan Clara yang mengatakan dirinya adalah selingkuhan Reno.
Rayna sedikit kaget. Ia melirik ke belakang, ke arah Reno yang masih menatapnya lekat. “Tidak ada apa-apa. Hanya sedikit kepikiran.”
“Tentang Clara?” tebak Reno.
Rayna menoleh ke belakang dan dapat melihat ekspresi Reno yang terlihat mengkhawatirkan dirinya. “I, iya,” jawabnya dengan senyum tipis.
“Kata-kata Clara sangat tidak beralasan. Kita hanya sebatas rekan kerja. Kamu adalah sekretarisku. Jadi, wajar kalau aku mengajakmu rapat di luar, kan?” Sebenarnya Reno merasa bersalah atas peristiwa yang menimpa Rayna. Ia dipermalukan di depan umum.
Kepala Rayna tertunduk. “Mbak Clara pasti cemburu, Pak. Semua wanita pasti akan merasakan hal yang sama ketika pasangannya terlihat akrab dengan wanita lain. Mungkin kalau saya berada di posisinya, pasti saya juga merasakannya.”
“Semua orang bisa merasakan cemburu, itu sudah pasti. Tapi perbuatannya sungguh tidak bisa dimaafkan. Bagaimana dia bisa melakukan hal itu tanpa berpikir panjang? Dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain.”
Dari percakapan antara bos dan sekretaris itu terdengar kalau Rayna membela Clara dan Reno membela Rayna. Reno heran kenapa Rayna malah membela Clara yang sudah membuatnya malu di depan petinggi-petinggi perusahaan mitra mereka.
Rayna kembali diam dan tidak ingin membahas kejadian tadi. Dia memang merasa malu. Akan tetapi, dia sama sekali tidak melakukan apa yang dituduhkan Clara padanya. Dia dan Reno memang sebatas atasan dan bawahan. Tidak ada hubungan spesial apapun.
.....
Setelah turun dari angkot yang mengantarnya sampai di pertigaan dekat rumah, Rayna berjalan pelan dengan menjinjing sepatu hak 9 sentimeter di tangan kanannya. Tanpa alas kaki, Rayna menyusuri gang menuju rumah kesayangannya. Sembari melamun, Rayna berjalan pelan. Kenapa harus dia yang mengalami kejadian seperti tadi? Rayna benar-benar tidak bisa mengalihkan pikirannya dari kejadian itu.
“Rayna!”
Seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Suara itu sangat dikenalnya. Rayna masih berdiri mematung di pinggir jalan.
“Itu... Bukankah itu suara Pak Reno?” tanyanya pada diri sendiri dengan suara yang amat lirih. “Ah, ada urusan apa Pak Reno ke tempat ini?”
Rayna hendak mengayunkan kaki kanannya, melanjutkan langkahnya agar sampai di rumah secepat mungkin.
Tap!
Tiba-tiba tangan kanannya ditarik seseorang dari arah belakang, sebuah tangan lagi melingkar lancar di pinggang rampingnya. Kedua bola matanya membundar saat bibirnya bersentuhan dengan bibir seseorang dengan lembut. Dari aroma tubuh orang itu, Rayna dapat mengetahuinya, dia adalah Reno.
‘Pak Reno menciumku!’ teriaknya dalam hati.
Reno melumat bibir tipis Rayna dengan lembut, pelan dan membuat Rayna sedikit menikmatinya.
Sadar bahwa dirinya sedang dipeluk Reno dengan erat dan bibirnya menempel pada bibir Reno, Rayna segera melepaskan semua itu. Wajahnya memerah, merona bagai buah tomat yang sudah matang. Sedangkan Reno malah tersenyum menang.
“Maaf, aku sengaja melakukannya.” Reno dengan santai mengatakan hal itu pada Rayna yang masih berdiri mematung dengan ekspresi tak percaya. “Kenapa? Mau marah?”
“Jangan sampai yang dikatakan Clara benar-benar terjadi. Tolong, jangan bersikap seperti itu.” Rayna memohon pada Reno agar tidak bersikap berlebihan. Jika di luar urusan kerja, mereka hanya sebatas teman biasa. Jika berada di lingkup kerja maka mereka hanya atasan dan bawahan. Rayna tidak ingin dirinya disebut sebagai selingkuhan orang.
“Baiklah, aku mengerti. Maafkan aku.” Reno sedikit menyesali perbuatannya yang tentu saja mengejutkan Rayna. “Pulanglah! Aku akan mengawasimu dari belakang supaya Clara tidak bisa mengikutimu.”
Rayna agak terkejut mendengar kata-kata Reno. “Mengikutiku?” Ia bertanya dengan kerutan di keningnya.
Reno mengangguk. “Benar, dia mengikutimu beberapa hari yang lalu. Sebelum dia menawarkan tumpangan gratis sore itu.”
Rayna merasa sangat terkejut kali ini. Rupanya Reno telah mengetahui bahwa dirinya diantar Clara pulang sore itu.
“Kenapa? Aku sudah tahu dari awal tentang perbuatan dan sikap Clara padamu.”
“Bagaimana bisa?”
“Banyak mata-mata yang mengatakan padaku.” Reno tersenyum lagi. “Sudah, pulanglah! Aku akan berada di belakangmu dan jangan pernah menoleh ke arahku.”
.....
Bruukk!!
Seseorang membanting sepatu dan tas mahal yang ia kenakan sembarangan di atas lantai sebuah kamar yang dihiasi perabotan minimalis mewah. Clara masuk ke dalam kamarnya dengan kesal dan membanting apapun yang ia pakai, kecuali pakaiannya. Melihat kedekatan sang tunangan dengan gadis lain adalah sebuah pisau tajam baginya. Dia memang bukan tipe wanita yang tunduk pada laki-laki seperti Reno, akan tetapi perasaannya pada Reno bukan main-main. Sejak dijodohkan dengan putra Subrata itu, Clara memiliki perasaan cinta pada Reno. Cinta yang dicampuri obsesi berlebihan membuat Clara overprotective pada tunangannya.
“Kurang ajar!” teriaknya kesal. “Lihat saja kamu, Rayna! Aku tahu kalau Reno yang mendekatimu, bukan dirimu yang mendekati Reno. Percuma kalau aku beriksap kasar dan mengancam Reno. Jadi, mulai sekarang, kamu yang akan menjadi sasaranku, Rayna.”
Kedua mata indah Clara mendelik bagai mata ular yang siap menerkam mangsanya. Kedua tangannya mengepal kuat. Sejurus kemudian, dia meraih ponsel layar sentuh berwarna putih miliknya.
Tuuuuut!
“Ya, halo.” Terdengar suara laki-laki dari ujung telepon.
“Aku butuh lowongan sekretaris di perusahaan yang lebih bagus daripada perusahaan milik keluarga Subrata, Di. Kamu bisa mengusahakannya, kan?” tanya Clara dengan nada datar.
Ardi, teman karib Clara yang bekerja di perusahaan milik keluarga Clara itu perlu berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban pasti pada Clara. “Baiklah, akan aku usahakan.”
Clara tersenyum tipis, senyuman licik yang penuh maksud buruk. “Aku tunggu kabar selanjutnya.” Clara menutup teleponnya.
Baru saja ia ingin meletakkan kembali ponsel itu, tiba-tiba nada dering dari ponsel mewah itu berdering nyaring. Clara melirik ponselnya, membaca nama orang yang sedang meneleponnya. Reno.
Klik!
“Sudah puas?” Suara Reno langsung memenuhi ruang pendengaran Clara dan menanyakan hal yang mengenakkan pada tunangannya itu.
Netra Clara menyipit. “Belum. Aku akan melakukan hal yang lebih nekad lagi.”
“Sampai kapan kamu akan terus seperti ini?” tanya Reno lagi.
“Sampai Rayna menjauhimu atau setidaknya kalian sudah tidak berhubungan lagi. Entah itu hubungan kerja atau teman.”
Reno menghela nafas kasar, memendam kekesalan pada Clara yang selalu keras kepala dan bertindak sesuai keinginannya sendiri. “Kau tahu kalau aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal yang buruk pada Rayna, kan? Jangan macam-macam kamu, Clara. Kamu memang tunanganku, tapi bukan istriku.”
Deg!
Kata-kata Reno sedikit menusuk hati Clara. Gadis itu tak berkata sepatah pun. Ada kalanya dia begitu ambisius, begitu kejam, dan ada kalanya dia menangis dalam hati. Clara adalah seorang wanita yang tidak akan mudah meneteskan airmata. Dia bukan seseorang yang disebut cengeng dan lemah. Sedari kecil, Clara dididik untuk selalu kuat dan di atas semua orang.
Reno merasa ada yang aneh pada Clara. Tak seperti biasanya. Tunangannya itu masih belum mengatakan apapun.
“Kau dengar aku?” tanya Reno dengan suara yang agak tinggi.
Suara Reno membuyarkan lamunan Clara. Dalam hati, ia berkata, sebegitu pedulinya Reno pada Rayna yang hanya seorang sekretaris. Mereka pun baru dua bulan bertemu.
“Tunggu dan lihat saja, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian berdua.” Tak lama kemudian, Clara menutup telepon itu. Sebenarnya hatinya hancur. Sekejam-kejamnya Clara, dia masih seorang wanita yang mempunyai kelemahan pada hatinya. Terlebih jika seseorang yang dicintainya menggoreskan luka di hati yang lemah itu.
Clara merasa jenuh, kesal, dan muak pada semua orang. Ia ingin menikmati hidup yang tenang bersama orang yang dicintainya. Tapi takdir malah berkata lain.
“Apakah ini adalah karma dari Tuhan?” lirihnya tetiba saja mengingat semua kesalahan yang pernah ia lakukan. “Setidaknya, aku bukan anak yang durhaka,” lirihnya lagi, ditujukan pada dirinya sendiri.
.....
Keesokan harinya, cuaca tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Mentari bersinar amat terang dan seakan tak ingin mengalah pada mendung hitam yang berkali-kali datang untuk menurunkan hujan. Pagi yang cerah membuat seorang sekretaris profesional, Rayna Husna semakin bersemangat menjalani aktivitas hari ini.
Tak ada yang melupakan bahwa hari ini adalah hari Sabtu, akhir pekan yang sangat dinanti-nanti oleh semua orang. Selepas pulang dari tempat kerja masing-masing, semua orang dapat mampir ke tempat-tempat favorit untuk melepas penat, menikmati malam minggu, bahkan berkencan dengan pasangan. Hari ini, sepulang kerja, Rayna telah merencanakan sesuatu bersama dua sahabatnya. Jadi, hari ini dia harus segera menyelesaikan tugas-tugasnya agar dapat pulang lebih awal dari biasanya.
“Rayna!” panggil Reno saat melihat sekretarisnya baru saja mendudukkan pantat di atas kursi kerjanya.
Mendengar namanya dipanggil, sontak Rayna bangun dari duduknya. “Ya, ada apa, Pak Reno?” tanya Rayna dengan ekspresi santainya.
Reno melihat ekspresi Rayna biasa saja. Seakan dia telah melupakan kejadian kemarin waktu Rayna berjalan pulang ke rumahnya. “Pergi ke ruangan Pak Tono dan minta berkas yang harus aku tandatangani hari ini.”
“Baik, Pak,” jawab Rayna singkat. Ia bergegas menuju ruang kerja Pak Tono, melaksanakan perintah dari sang bos yang sangat tampan.
Rayna telah hilang dari pandangan Reno. Namun kedua matanya masih memandang ke arah meja kerja gadis itu, seolah Rayna masih berdiri di belakang meja itu. Tatapan mata Reno jelas menunjukkan bahwa ia merasa sangat kesepian, apalagi saat ini masalah datang menghampirinya secara bertubi-tubi. Setiap hari selalu ada masalah dengan Clara atau perusahaan keluarga mereka. Dalam hati, Reno bertanya pada Tuhan, kapan dia bisa terlepas dari jerat gadis licik seperti Clara. Reno menghela nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya. Ia harus fokus pada pekerjaan yang saat ini sedang ia kerjakan bersama rekan-rekan kerja lainnya, termasuk Rayna.
Reno kembali ke ruangannya dan duduk di atas kursi kerja nan empuk dan nyaman. Ia menunggu Rayna kembali dengan berkas yang dimintanya. Tak membutuhkan waktu lama, terdengar dari luar pintu kalau Rayna izin masuk ruangan untuk menyerahkan berkas yang diminta Reno.
Setelah disilahkan masuk, Rayna pun menyodorkan berkas penting yang diambilnya dari ruangan pak Tono.
“Ada lagi, Pak?” tanya Rayna polos. Mungkin masih ada sesuatu yang ingin dibantu olehnya.
Reno menggelengkan kepala sembari membuka lembaran berkas yang baru saja ia terima. Tanpa menunggu perintah, Rayna membalikkan badan dan keluar ruangan. Ia tidak ingin berlama-lama berada dalam satu ruangan dengan Reno. Sangat berbahaya jika tiba-tiba Clara datang melihatnya.
.....
Setelah makan siang, Rayna sudah sibuk menyelesaikan tugasnya sebagai seorang sekretaris. Ia menatap layar komputer dengan sangat serius dan terlihat fokus mengerjakan laporan proyek terbaru perusahaan Reygold Corp.
Tap!
Sebuah tangan mendarat di atas meja kerjanya. Sedikit membuatnya kaget. Seketika, Rayna mendongakkan kepalanya agar dapat melihat si empunya tangan putih mulus yang dihiasi gelang berlian mahal.
“Kenapa? Kaget?” Clara bertanya dengan nada sinis.
Rayna diam dan tidak ingin menjawab pertanyaan tidak penting dari Clara itu. Ia kembali fokus mengerjakan laporannya.
“Kamu berani mengacuhkan aku, hah?” bentak Clara pada Rayna yang tengah sibuk bekerja.
Rayna kembali menatap Clara. Namun kali ini tatapannya tajam dan ingin melontarkan kata-kata pedas pada gadis kaya itu. “Kalau tidak ada kepentingan, silahkan pergi. Tidak perlu mengganggu orang yang sedang bekerja.”
Plak!
Clara kembali melancarkan tamparannya di wajah cantik Rayna yang tidak ingin diganggu oleh gadis culas itu.
“Clara!” bentak Reno dari arah pintu ruangannya. Ia syok melihat Clara menampar Rayna kedua kalinya. “Pergi! Pergi dari sini sekarang!” Suara Reno terdengar di sepanjang lorong hingga membuat semua orang yang berada di lorong tersebut mengarahkan pandangan mereka padanya.
Kali ini Clara dibuat malu oleh Reno.
“Kamu... Berani membentakku?” Clara nampak sedang menahan marahnya. Dia ingin melampiaskan kemarahan itu namun ekspresi Reno kali ini lebih menakutkan.
Rayna yang melihat ekspresi Reno langsung menutup mulutnya yang refleks terbuka saat bosnya membentak sang tunangannya.
“Pergi sekarang!” bentak Reno lagi.
Kedua kalinya Clara dibentak Reno di depan ruangannya. Putra presdir Subrata itu tak segan memarahi siapapun yang telah membuat kesalahan di dalam kantornya.
“Lihat saja, aku akan menghancurkan proyek kalian!” ancam Clara yang kemudian melenggang pergi dengan menahan rasa malu. Ia harus menghadapi cibiran karyawan Reno di sepanjang koridor. Namanya telah tercoreng.
.....
Selepas Clara meninggalkan Reno dan Rayna, keduanya tampak canggung. Rayna telah menerima tamparan dari Clara karena Reno. Gadis itu kembali duduk di atas kursi kerjanya kemudian melihat wajahnya dari layar komputer yang masih hidup.
“Kamu tidak apa-apa, Rayna?” tanya Reno, khawatir pada sekretarisnya yang selalu mendapatkan perlakuan kasar dari Clara.
Rayna tersenyum tipis agar dapat menghilangkan kecemasan Reno. “Tidak apa-apa. Tidak begitu sakit. Hanya terasa agak panas. Sebentar lagi pasti hilang.”
Reno menatap Rayna iba. Namun tatapan itu justru membuat Rayna tak enak hati. Hanya karena dirinya, Reno bertengkar dengan Clara setiap hari.
....
Jam tiga sore, semua pekerjaan Rayna telah diselesaikan dengan baik. Bahkan laporan-laporan yang ia buat tadi siang telah ditandatangani oleh Reno. Akhirnya sekarang tiba saatnya ia dapat menikmati waktu luang. Reno melihat Rayna bergegas membereskan semua barang-barang yang ada di atas mejanya kemudian membersihkan meja dan komputernya. Setelah itu, ia mengambil tas tas dan hendak pulang.
“Rayna!” panggil Reno tanpa sadar.
Rayna menoleh ke arah Reno. “Ya, ada apa, Pak?”
Reno tergagap karena memanggil Rayna tanpa sadar. Kini dia harus menemukan alasan logis kenapa memanggil Rayna. “A, anu... Kamu ada acara?”
Rayna mengerutkan keningnya, kenapa bosnya bertanya seperti itu? Batinnya. “Iya, Pak. Saya sudah ada janji dengan Sofi dan pacarnya.”
“Sofi?”
“Iya, Sofi kepala bagian umum. Kami bertiga ada acara sore ini.”
Reno ingin sekali ikut serta dalam acara mereka bertiga. Namun ia teringat sikap Clara pada Rayna. Jika dia mendekati Rayna maka Clara akan mencelakai Rayna. “Baiklah, pulang sana!”
Rayna merasa ada yang aneh pada Reno. Tiba-tiba wajah tampan itu terlihat murung dan tidak semangat.
....
Bersambung
Terimakasih telah membaca novel ini. Feedback berupa apapun saya tunggu ^_^
Acara makan malam yang diadakan oleh Rayna dan dua orang sahabatnya berjalan sangat menyenangkan. Meskipun sesekali Rayna teringat Reno yang terkahir kali nampak murung. Mungkin bosnya sedang ada masalah dengan Clara, pikirnya. Ia berusaha membuang pikiran tentang Reno jauh-jauh agar perasaan cinta tak menghinggapi hatinya. Semakin memikirkan Reno maka Rayna semakin luluh pada laki-laki pewaris perusahaan keluarga Subrata itu. Jarum jam menunjukkan pukul 21:45, waktunya Rayna pulang ke rumah jika tidak ingin ibunya cemas dan khawatir tentangnya. Rayna mengajak Sofi dan pacarnya segera pulang karena malam ini angin berhembus cukup kencang. Berdasarkan pengalaman, angin malam tidak baik bagi kesehatan. “Baiklah, aku pulang dulu, ya,” kata Rayna yang tidak sabar menunggu dua sahabatnya itu bersiap-siap. Menurutnya, Sofi dan pacarnya bersiap pulang seperti anak TK yang bersiap pulang dari sekolah, begitu lama. “Hati-hati!” seru Sofi ketika Rayna berjalan menjauhi
Suasana sedikit tegang saat Clara melihat Rayna datang bersama calon ayah mertuanya di kediaman Subrata. Ia sangat tidak menduga bahwa gadis itu juga berhasil menaklukkan hati ayahnya Reno. Clara menatap Rayna dengan tatapan tidak suka. Jelas saja, siapa yang akan menyukai wanita lain yang dekat dengan sang tunangan. Ia berusaha menahan emosinya.“Ini siapa, Yah?” tanya nyonya Subrata pada suaminya. Baru pertama kali ini wanita itu bertemu dengan Rayna, sekretaris Reno yang cantiknya melebihi Clara.“Oh iya, ini Rayna. Sekretaris Reno yang baru. Rayna lah yang membantu Reno menyelesaikan proyek-proyeknya dan dia juga yang berhasil mendapatkan proyek terbaru perusahaan kita. Untuk itu, aku mengajak Rayna ikut sarapan di sini.” Pak Subrata menjelaskan posisi Rayna di perusahaan mereka. Dia sangat ingin berterimakasih pada gadis cantik dan sopan itu.Rayna hanya dapat tersenyum pada ibu kandung Reno yang penampilannya jauh dari kata tua.
Seorang laki-laki yang tengah patah hati dan sekarang ia pun mengalami patah semangat untuk hidup. Reno, laki-laki yang baru saja mengenal cinta dalam arti sesungguhnya, harus menelan kenyataan pahit di mana sang pujaan hati harus menjauh darinya demi kebaikan banyak orang, termasuk dirinya. Reno merasa dirinya tak lebih dari seorang pengecut. Bertunangan dengan Clara adalah kesalahan besar baginya. Ia bahkan tidak berpikir sebelum memutuskan untuk mengikat janji dengan gadis anak orang kaya tersebut. Posisinya sangat sulit, diantara dua wanita dan diantara dua situasi. Demi orangtuanya, kini dia harus berlapang dada menerima Clara yang mungkin akan segera dinikahinya. Malam ini, Reno berencana pergi ke rumah temannya yang tak jauh dari kediaman keluarganya. Rumah yang berjarak sekitar empat kilometer dari rumahnya adalah kediaman keluarga Hartono, teman masa kecilnya yang sering memberikan nasehat-nasehat berharga untuknya. Namun akhir-akhir ini Reno bahkan jarang m
Clara menelan salivanya pelan saat melihat sosok laki-laki paruh baya yang sangat dikenalnya tengah menatapnya tajam. Presdir Reygold Corp itu masih memegang tangan Clara yang kini terlihat gemetar. Sekitar dua menit lalu, ia telah melakukan kesalahan yang berakibat fatal. Tangan kanannya hampir menampar Rayna untuk yang ketiga kali. Bukan Reno yang memergokinya, tapi calon ayah mertuanya yang menahan tangan itu mendarat di pipi Rayna. “Apa yang kau lakukan di perusahaanku?” Suara berat itu didengar jelas oleh Clara dan Rayna. Clara takut sekali menjawab pertanyaan singkat itu. Ia tak memiliki nyali sedikit pun di depan ayah Reno. “Rayna adalah salah satu karyawan teladan di sini. Kau mau menamparnya?” Pertanyaan kedua telah dilontarkan tanpa penghalang. Clara masih membisu. Entah apa yang harus dia katakan pada calon mertuanya itu. “Tolong bertanya padaku saja, Pak. Saya yang bersalah telah menabrak Mbak Clara tanpa sengaja. Kami terjatuh ke
Sore hari di pemakaman nampak beberapa orang pelayat masih memilih tinggal di sisi makam ibu Rayna. Mereka merasa sangat kehilangan atas kepergian seorang wanita yang berhati sangat baik pada siapapun. Suasana sepi, yang terdengar hanya suara dedaunan yang saling bergesek dan akhirnya daun yang kering pun terjatuh. Suara isak tangis tak luput menghiasi ruang dengar para pelayat yang masih menatap sedih pada nisan berwarna putih. Rayna duduk bersimpuh di samping makam ibunya, didampingi Sofi dan Reno yang tetap setia menemaninya. Ibu Rayna meninggal pada usia 52 tahun. Usia yang masih tergolong muda untuk orang sebaik beliau. Rayna semakin terisak saat mengingat penyakit yang diderita sang ibu. Selama ini, dia sama sekali tidak tahu kalau sang ibu begitu menderita, berjuang melawan penyakitnya seorang diri. Anaknya pun tidak tahu perihal penyakit itu. “Maafkan Rayna, Bu. Rayna bukan anak baik yang berbakti pada ibu. Rayna bahkan tidak tahu dan tidak peka pada penderit
Cuaca siang ini begitu panas, udara terasa pengap dan keringat mengucur deras. Semakin membuat Clara tersulut emosi dan mengumpat sembarangan. Ia berjalan dengan langkah cepat dan mulut yang terus bergumam, mengeluarkan umpatan untuk Reno dan mengatakan pembalasan darinya akan lebih kejam dari sikap Reno barusan.Alex menghentikan langkahny secara tiba-tiba saat mereka berdua berada di ujung koridor lantai satu menuju lobi kantor Reygold Corp. Ia menarik lengan kanan adiknya dengan tangan kanan hingga membuat Clara berhenti mendadak dan langsung membalikkan badannya, menghadap sang kakak yang menunjukkan ekspresi menyeramkan. Tatapan kedua mata kakaknya nampak seperti mata elang yang melihat mangsanya dari dekat.“Ada apa?” tanya Clara ingin tahu alasan sang kakak menarik lengannya.“Bisakah kau bersikap lebih baik dari ini? Aku tahu kalau sikap Reno memang keterlaluan. Tapi sikapmu jauh lebih tidak sopan.”Clara mengernyitkan keni
Suasana tegang dan membuat bulu kuduk Clara berdiri. Tegang bagi Clara, bukan untuk Presdir dan Alex. Ya, itu karena Clara mengira bahwa dirinya akan disidang oleh sang calon ayah mertua di depan kakak kandung yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Presdir Subrata menyunggingkan senyumnya. Ia menatap lekat pada gadis yang akan menjadi istri putra tunggalnya itu. “Aku benar-benar dibuat bingung oleh sikap adikmu ini, Alex.” Alex yang mendengar kata-kata itu langsung mengangkat kedua alisnya. “Maksud Anda bagaimana?” “Tanyakan sendiri padanya. Aku tidak akan mengatakan apapun tentang perilakunya akhir-akhir ini, di perusahaanku. Sejujurnya aku sangat senang ketika dia datang ke tempat ini dan selalu menengok Reno di ruangannya. Mungkin itu hal positif yang dia lakukan. Akan tetapi, rupanya sudah banyak hal buruk yang dilakukan oleh adikmu di perusahaan ini dan di luar sana.” Alex semakin bingung. Presdir Subrata memberikan penjelasan atau teka-teki pa
Mentari pagi menyapa Rayna yang sedari tadi sibuk membersihkan halaman. Sudah sejam, gadis itu membersihkan rumput liar yang tumbuh di halaman rumahnya beberapa terakhir ini. Hangatnya sinar mentari membelai lembut wajah cantik tanpa rias itu. Dengan semangat, Rayna membersihkan semua sampah dan rumput yang berserakan, menata kembali pot-pot bunga agar terlihat lebih rapi, menyiram semua tanaman hias warisan almarhumah ibunya. Rayna tidak ingin menyia-nyiakan tanaman-tanaman itu apalagi membiarkannya layu dan mati. Tanaman itu ditanam sendiri oleh almarhumah ibunya, jadi dia harus menjaga semua peninggalan ibunya dengan sangat baik.“Na, mandi dulu sana! Sarapan sudah siap!” teriak Sofi dari dalam rumah dengan sebuah celemek menutup bajunya bagian depan.Rayna menoleh ke arah Sofi meskipun terhalang oleh silaunya cahaya matahari pagi itu. “Sebentar, Sof. Kurang sedikit, tanggung ini. Aku bereskan semuanya dulu,” seru Rayna membalas sang sahabat.