Share

Konyol

Malam ini gerimis masih membasahi sebagian wilayah Jakarta. Hanya orang-orang yang memiliki kepentingan mendadak, yang rela keluar rumah dan diguyur gerimis. Bukan masalah gerimis yang akan membasahi pakaian ataupun kendaraan namun angin pada malam itu berhembus dengan agak ganas. Mungkin di daerah terdekat dari Jakarta mengalami hujan deras hingga dampak anginnya sampai di Jakarta. Jalan-jalan beraspal, atap-atap bangunan, halaman toko, dan halaman kantor milik perusahaan Reno pun tak luput daru guyuran gerimis lebat atau yang lebih pantas disebut hujan.

Kembali ke kantornya, Reno mengajak Rayna mengerjakan pekerjaan yang harus ia selesaikan malam itu. Rayna yang sudah merasakan tulang-tulang dan persendiannya protes ingin diistirahatkan, tetap menurut pada atasannya.

Meskipun mereka telah saling mengenal layaknya hubungan teman, Rayna selalu menghormati Reno sebagai atasannya yang baik. Ia yakin kalau Reno tidak akan berbuat aneh-aneh padanya. Lagipula, untuk apa bosnya berbuat aneh pada seorang gadis miskin?

Rayna merupakan gadis yang cerdas. Ia mampu mengerjakan tugas-tugas kantor dengan cepat. Itulah alasan yang membuat sang atasan merekrut dirinya. Pengalaman kerja Rayna pada perusahaan sebelumnya itu jarang dimiliki oleh orang lain.

Lembar demi lembar dibaca ulang oleh Reno. Lembaran laporan dan proposal itu adalah hasil kerja Rayna dalam waktu yang singkat, kurang dari dua jam. Kemampuan Rayna mengoperasikan komputer juga tak dapat diragukan.

Berdua dengan sekretaris secantik Rayna menambah semangat Reno dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Ada banyak tugas yang harus diselesaikan oleh seorang wakil presdir. Dia membagi pekerjaan itu dengan Rayna. Kemampuan Rayna dan Reno hampir sama. Keduanya sama-sama cekatan dan cerdas. Namun berdasarkan hasil kerja, Rayna lebih mumpuni daripada Reno.

Manik mata Reno menatap Rayna saat gadis itu sedang mengerjakan tugas-tugas kantor. Tersirat jelas lelah di wajah Rayna yang berusaha ia sembunyikan. Berkali-kali Rayna meluruskan lengan kanannya karena terlalu lelah mengetik.

“Kamu lelah?” tanya Reno yang tanpa disadari memperhatikan Rayna selama beberapa menit.

Rayna mendongakkan kepalanya, memandang Reno dengan ekspresi tanya. “Anda bertanya pada saya?”

“Iyalah, siapa lagi kalau bukan kamu? Di ruangan ini hanya ada aku dan kamu.” Reno melepas dasi yang melingkar di kerah kemejanya.

Tak menjawab, Rayna hanya terdiam dan menatap Reno.

“Kenapa tidak menjawab?” tanya Reno lagi.

“Itu... Anu... Ya, aku lelah. Tapi aku masih baik-baik saja. Akan ku selesaikan secepatnya.” Rayna berusaha menyembunyikan lelahnya.

“Sudah, letakkan saja sisa laporan yang belum kau kerjakan di meja itu. Aku sendiri yang akan mengerjakannya.”

Rayna membulatkan kedua bola matanya lalu bertanya. “Semuanya?”

Reno mengangguk mantab. “Iya. Semuanya. Memangnya kenapa?” Ia mengangkat kedua alisnya. Rupanya Rayna tak percaya bahwa dirinya sedang serius dan bisa menyelesaikan tugas-tugas itu semua. “Pulanglah! Jangan sampai besok kamu datang terlambat.”

Rayna mendelik kesal. Sesibuk apapun dirinya di malam hari, tidak akan bangun kesiangan di pagi hari. “Baiklah, aku akan pulang.”

.....

Pukul 11 malam, Rayna sampai di rumahnya dengan selamat. Meskipun malam semakin larut, di kampung tempat tinggal Rayna tetap ada beberapa penjual kaki lima yang berkeliling menjajakan dagangannya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Rayna memanggil tukang bakso. Perutnya masih keroncongan meskipun di kantor ia makan makanan Jepang bersama Reno.

Selesai membersihkan diri, ia bergegas naik ke atas ranjang dan merebahkan punggungnya yang terasa panas di tulang-tulang rusuknya. Terlalu lama duduk dan berdiri. Lama tak dibaringkan di atas kasur yang empuk, begitu rasanya, seperti terbakar.

Hampir satu jam Rayna berusaha memejamkan kedua netranya. Tak kunjung dapat dilakukan. Pikirannya masih terfokus pada sosok wanita yang menghampirinya dan Reno di restoran Jepang.

“Sebenarnya siapa wanita itu?” gumam Rayna yang ingin sekali mengetahui siapa wanita judes yang tiba-tiba marah pada Reno. “Mungkinkah wanita itu adalah kekasihnya? Ah, apa yang sedang aku pikirkan?” Rayna membenamkan kepalanya diantara bantal dan guling. Ia berusaha membuang jauh-jauh pikirannya tentang wanita itu dan Reno. Dia bukan siapa-siapa Reno. Jadi untuk apa sampai ingin mengetahui identitas wanita itu.

.....

Kriiiiiiing!

Ponsel Rayna berbunyi di waktu Subuh. Dia bahkan baru memejamkan mata tiga jam yang lalu. Sekarang sudah Subuh? Rayna menjawab telepon tanpa membaca nama yang tertera di layar ponsel itu.

“Ya, halo...” Dengan suara parau, Rayna mengucapkan dua kata itu.

Reno yang berada di ujung telepon terkikik geli mendengar suara parau Rayna bangun tidur. “Ternyata seperti suaramu saat bangun tidur.”

Pada saat itu juga, Rayna langsung membelalakkan kedua bola matanya. Reno? Ini suara Reno. Lalu dilihatnya nama dan nomor di ponselnya. Benar, Reno meneleponnya di waktu Subuh.

“A, ada apa?” Betapa malu Rayna.

Reno masih tertawa di ujung telepon. Dia berhasil menjahili Rayna.

“Kenapa menelepon jam empat pagi? Kenapa tidak jam 12 malam saja?”

Tetap saja, Reno tak menjawab. Dia malah tertawa lepas mendengar nada kesal Rayna. Membuat Rayna kesal merupakan kebahagiaan tersendiri bagi laki-laki kaya tersebut.

“Baiklah, aku tidak akan bicara padamu lagi sampai kau mengatakan alasan meneleponku jam empat seperti ini.” Merasa dijahili, Rayna memutuskan untuk diam seribu bahasa sampai Reno menjelaskan alasannya menelepon jam empat pagi. Waktu yang tak lazim untuk seseorang menelepon orang lain.

“Jam enam aku tunggu di taman dekat rumahmu. Pakailah pakaian olahraga. Kita balap lari.”

Rayna membuka mulutnya membentuk huruf O. “Apa? Tidak, tidak bisa. Aku harus pergi bekerja.

“Rayna Husna! Bukankah seharusnya kau menuruti perintah atasanmu? Aku ini bosmu!”

Bos macam apa seperti ini? Batin Rayna. Hari ini bukan hari libur. Mana bisa dirinya membolos kerja? Tapi Reno benar. Dia adalah atasannya. Saat atasannya menyuruh dia berolahraga maka dia harus melakukannya. Toh, olahraga bukan sesuatu yang aneh atau bersifat vulgar.

“Kenapa diam?” tanya Reno dengan nada datar.

“Baiklah. Aku akan ke sana jam enam pagi.” Baru pertama kali ini Rayna mendapatkan atasan super aneh seperti Reno.

Jam enam pagi, sesuai yang dijanjikan, Rayna tiba di taman dengan pakaian olahraga. Ia datang seorang diri. 10 menit bukan waktu yang lama untuk menunggu seseorang. Reno menyuruhnya datang tapi malah dia sendiri yang belum menampakkan batang hidungnya. Rayna gemas dan ingin mencakar pemuda itu.

Rayna menunggu Reno di bangku taman yang pernah mereka gunakan malam itu. Ketika Reno frustasi karena ada masalah dengan kekasihnya. Rayna tersenyum tipis. Ternyata kenangan itu masih teringat di memori otaknya.

“Ada apa denganmu? Kenapa tersenyum seorang diri?”

Suara Reno terdengar dekat sekali. Rayna terlonjak kaget.

“Sejak kapan kau berdiri di sana?” tanya Rayna menutupi malunya.

“Kau tidak menyadari kalau aku berdiri di sini hampir lima menit?”

“Lima menit?” Rayna beranjak dari duduknya. Membuat Reno semakin heran melihat tingkah sekretarisnya.

“Hei, ada apa denganmu? Pagi-pagi bertingkah aneh.”

Rayna benar-benar malu. Entah harus disembunyikan di mana wajahnya saat ini. Pasti Reno berpikir yang aneh tentangnya. Masih berdiri seperti patung, Rayna memikirkan sesuatu. Memikirkan bagaimana caranya menutupi malu di depan Reno. Padahal pemuda itu sama sekali tidak mengira kalau Rayna akan memikirkan dirinya.

“Kau pasti mencari alasan untuk menghindar, ya? Kau tidak takut balap lari denganku, kan?” tebak Reno asal.

“Hah? A, aku tidak takut. Ayo kita pemanasan kemudian mulai balapan.” Rayna memulai lari-lari kecil meninggalkan Reno pelan-pelan.

“Menyebalkan. Rayna!” panggil Reno saat gadis itu semakin menjauh dari tempatnya berdiri.

.....

Rayna tak menggubris Reno yang memanggilnya dari kejauhan. Saat ini gadis bersurai panjang itu tengah menahan malu meskipun Reno tidak tahu yang sedang terjadi pada sekretarisnya. Reno menyusul Rayna dengan berlari lebih cepat.

“Tunggu!” Tangan kanan Reno menarik lengan Rayna dan memaksa gadis itu berhenti. “Ada apa denganmu? Tiba-tiba bersikap aneh.”

“Tidak ada apa-apa. Kau bilang ingin balapan lari, bukan? Ayo, kita mulai sekarang.”

Taman kota yang berada tak jauh dari rumah Rayna sering digunakan sebagai tempat lari pagi oleh warga sekitar. Pohon-pohon yang hidup di taman itu menambah asri taman yang dibangun 9 tahun silam. Bermacam-macam bunga hias dan tanaman perdu juga menjadi penghuni tetap taman itu. Di sebelah selatan terdapat taman bermain anak-anak. Setiap sore dan hari Minggu pasti diramaikan oleh anak-anak yang mengajak orangtuanya bermain di sana. Kemudian di sebelah timur terdapat beberapa bangku yanh terbuag dari besi, beberapa buah gazebo yang digunakan sebagai tempat piknik keluarga. Di tengah terdapat kolam ikan yang cukup besar. Di sekeliling kolam itu digunakan warga untuk lari-lari pagi dan sore.

Reno membatalkan rencana balap lari dengan Rayna. Sikap Rayna yang aneh, lain dari biasanya membuat mood nya hilang seketika.

“Kita lari mengelilingi kolam ikan saja.”

Rayan setuju. Mereka pun mulai berlari-lari mengitari kolam ikan sebanyak beberapa putaran.

.....

Hari semakin panas, matahari semakin meninggi. Tak ada mendung sama sekali. Setelah berolahraga pun badan terasa seperti dibakar. Keringat bercucuran meskipun sebotol air mineral telah sukses diteguk. Rayna mengatur napasnya agar tidak terlalu ngos-ngosan. Jujur saja, sejak bekerja di perusahaan Reygold Corp, dirinya jarang berolahraga. Padahal sebelumnya, dia rutin mengikuti kelas yoga di salah satu sanggar yoga di dekat rumahnya.

Merasa ada sesuatu yang disembunyjkan dan direncanakan oleh Reno pada hari itu, Rayna memberanikan diri bertanya pada atasannya.

“Sebenarnya hari ini ada masalah apa? Kenapa tiba-tiba mengajak berolahraga?” tanya Rayna datar.

Reno meliriknya. “Aku hanya ingin mencari udara segar dan menghibur diri. Tempat tinggalku sudah seperti kuburan. Sepi, tidak ada orang lain selain diriku sendiri.”

Rayna terenyuh mendengar penjelasan Reno. Ia bahkan tidak bisa membayangkan betapa sedih hatinya jika jauh dari keluarga. Betapa kesepian dirinya jika di rumah tidak ada siapa-siapa. “Baiklah, mulai sekarang jika kau membutuhkan teman untuk bermain, minum kopi, atau yang lain, telepon saja aku.”

Kedua mata Reno berbinar-binar. “Benarkah?”

“Tapi jangan terlalu sering karena aku tidak ingin mengganggu kekasih orang lain.”

Kata-kata Rayna bak halilintar di siang bolong bagi Reno. Kekasih? Terpaksa bertunangan dengan Clara bukan salah satu kebahagiaan dalam hidupnya. Baginya, itu adalah bencana terbesar. Apalagi jika dia harus menikah dengan wanita angkuh itu. Reno terdiam seketika, raut wajahnya berubah drastis. Kalau diibaratkan, siang hari yang panas berubah mendung dan hujan deras.

Melihat perubahan raut wajah tampan itu, Rayna bertanya-tanya dalam hati. Apa yang membuat Reno terlihat murung? Apakah setelah dia mengatakan tentang kekasihnya?

“Bolehkah aku bertanya?” tanya Rayna.

“Boleh saja. Apa?” jawabnya lesu.

Rayna ingin bertanya namun memdengar jawaban bernada lemah tadi membuatnya ragu melontarkan pertanyaan pada Reno. “Kalau boleh tahu, wanita yang kemarin malam... Itu siapa?” tanya Rayna memberanikan diri. Dia harus siap mendengar jawaban dari Reno. Bukan karena cemburu, melainkan ia takut jika atasannya itu tersinggung atau tersakiti ketika dia membahas wanita angkuh itu.

Reno duduk di kursi gazebo dengan tangan dilipat di atas meja bundar di depannya. “Kau mau tahu?”

Rayna mengangguk. “Kalau kau tidak keberatan menjawabnya,” kata Rayna.

“Dia adalah Clara, tunanganku.”

Benar dugaan Rayna. Dilihat dari ekspresi wanita bernama Clara saat menghampiri Reno dan melihatnya bersama wanita lain, sudah jelas kalau Clara marah sekali padanya. Tetapi kenapa Reno malah mengacuhkannya?

“Tapi kenapa kau tidak mengajaknya ke kantor sekalian?”

Rejo menoleh ke arah sekretarisnya. “Dia tidak pernah mau menginjakkan kakinya di kantorku,” jawab Reno sinis. “Dia itu hukan manusia. Seorang gadis, ya, aku akui Clara memang cantik. Akan tetapi perilakunya mirip iblis. Benar-benar licik.”

Jika wanita itu licik, kenapa Reno mau bertunangan dengannya?

“Keterlaluan sekali membicarakan tunangan sendiri seperti itu.”

“Itulah kenyataannya. Hati-hati kalau bertemu dengannya. Dia bisa melakukan apa saja untuk membuat musuhnya tunduk. “

Rayna tersenyum sinis. “Aku bukan orang yang memiliki hobi mencampuri urusan orang lain. Kenapa pula aku harus bertemu dengannya.”

“Terserahlah. Kemarin dia melihatmu di restoran itu bersamaku. Pasti dia akan mendatangimu. Jadi, aku sarankan hati-hati. Dia orang yang licik.” Reno menegakkan tubuh atletisnya. Ia melihat arloji yang melingkar erat di pergelangan tangannya. Arloji itu menunjukkan jam 9 pagi. “Aku harus pulang. Ada janji dengan seseorang.”

“Pergilah! Aku akan pulang nanti agak siang.”

Tiba-tiba Reno menarik rambut Rayna yang diikat ekor kuda. “Kau tidak bekerja?”

“Apa?” Rayna kaget. Setelah berolahraga dia harus ke kantor? Atasan yang benar-benar menjengkelkan.

“Kau pikir hari ini libur? Aku tidak mengatakan bahwa kau bisa membolos setelah menuruti perintahku untuk berolahraga. Pulang sekarang! Akan ku antar ke rumahmu. Lagipula aku juga ingin mengunjungi rumah sekretarisku.”

Rayna lebih kaget daripada beberapa detik yang lalu. “Apa? Untuk apa ke rumahku? Tidak, tidak usah. Aku bisa naik angkot.” Tentu saja terang-terangan ia menolak perintah sekaligus tawaran Reno.

Bukan karena Rayna tidak ingin diantar atau dia tidak menghargai Reno yang dengan senang hati ingin mengantarnya pulang. Namun Rayna sadar diri bahwa dia bukanlah siapa-siapa bagi Reno. Dia bukan orang dekat, sahabat, keluarga atau pacar. Tidak, dia tidak akan menerima tawaran Reno. Tidak semua tawaran harus diterima. Ia juga harus memikirkan harga dirinya sebagai wanita. Menurutnya, wanita yang mudah menerima pemberian dan tawaran dari laki-laki adalah wanita yang tidak memiliki harga diri.

“Pulanglah, Pak. Aku bisa pulang sendiri.”

Reno masih menatap heran pada Rayna yang duduk di sampingnya.

Melihat Reno tak bergerak sedikit pun, akhirnya Rayna memutuskan pulang lebih dulu. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Reno karena menolak tawarannya. Menolak lebih baik daripada dianggap seperti wanita murahan.

.....

Sore hari dentang waktu menunjukkan jam lima, jam pulang di perusahaan Reno. Mayoritas karyawan pulang di jam lima, begitu juga Rayna. Gadis itu berjalan keluar dari gedung Reygold Corp dan berhenti di pinggir jalan. Berharap sebuah angkot berhenti dan membawanya ke rumah.

Lima menit Rayna menunggu angkot yanh biasa lewat di waktu itu. Mungkin sebentar lagi, pikirnya. Ia harus lebih sabar menunggu angkotnya datang. Rayna menunggu beberapa menit lagi. Tak ada angkot sama sekali.

“Ada apa ini? Biasanya ada angkot lewat jam lima lebih.” Rayna melirik jam tangannya lalu melihat awan yang semakin gelap.

Ckiiit!

Sebuah mobil berhenti persis di depan Rayna. Gadis yang menunjukkan wajah lelahnya bingung. Dia sama sekali tidak memiliki teman dari golongan orang kaya. Lalu siapa yang sengaja berhenti di depannya?

Perlahan, kaca mobil terbuka. “Hai, Rayna!”

....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status