Share

Denganmu

Keesokan harinya.

Rayna sudah siap berangkat ke kantor di hari perdananya. Ia menunggu Sofi di pertigaan rumahnya sudah hampir 10 menit. Tapi sang sahabat tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Berkali-kali Rayna menghubunginya menggunakan ponsel. Tapi tetap tak ada jawaban.

Waktu menunjukkan pukul 6.30 pagi. Rayna harus berangkat meski tanpa Sofi. Ia sudah menunggu Sofi selama 10 menit lebih. Jika dirinya masih menunggu Sofi, dia akan terlambat datang di kantor. Reno bisa marah padanya karena terlambat di hari perdana bekerja.

Tanpa menghiraukan apapun lagi, akhirnya Rayna berangkat ke kantornya naik angkot yang biasa lewat di dekat pertigaan tempatnya menunggu Sofi. Hanya membutuhkan waktu 15 menit untuknya sampai di kantor perusahaan ternama Reygold Corp.

Rayna merapikan pakaiannya, ia melihat rambut dan make up nya menggunakan layar ponselnya. Sudah rapi, batinnya. Gadis periang itu menghela nafas panjang, menyiapkan mental dan semangatnya bekerja di hari pertama. Dia harus bekerja dengan baik, tidak boleh ada kesalahan. Sejenak Rayna berdoa, memohon supaya diberi kelancaran dalam bekerja.

.....

Hal pertama yang harus dicari Rayna adalah ruang kerja Reno. Ya, dia harus bertanya pada resepsionis yang nampak mempersiapkan komputernya di meja panjang, tepat berhadapan dengan pintu masuk.

“Selamat pagi, Mbak,” ucap Rayna ramah. Sebagai pegawai baru, Rayna harus terlihat sopan dan ramah agar mendapat respect dari rekan kerjanya.

“Pagi juga, Mbak. Oh, ini Mbak Rayna, ya?” tanya resepsionis yang berparas manis itu.

“Ah, iya, Mbak. Saya Rayna. Maaf kalau saya mengganggu mbak. Ruang kerja Pak Reno di mana ya, Mbak?”

Resepsionis yang baru mengenal Rayna itu membulatkan kedua bola matanya. Ia hendak menjawab pertanyaan Rayna. Akan tetapi, seseorang melarangnya. “Mm... Itu...”

“Ikut aku saja. Kau pasti tahu di mana ruang kerja Pak Reno.”

Deg!

Rayna pun ikut membulatkan sepasang matanya. Itu suara Reno, batin Rayna. Sontak, dia membalikkan badan dan kaget melihat Reno yang sudah berdiri di depannya.

“Wah, sebagai pegawai baru, kau rajin sekali jam segini sudah datang,” kata Reno, melihat arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.

Rayna merasa tidak perlu menjawab.

“Ayo.”

Sebagai bawahan, Rayna pun menuruti perintah Reno yang mengatakan bahwa ia hanya perlu mengikutinya untuk bisa menemukan ruang kerja milik wakil presdir perusahaan. Lorong lantai satu nampak sepi sekali pagi itu. Para petinggi perusahaan banyak yang belum datang, hanya para pegawai yang sedang menyiapkan segala sesuatu untuk pekerjaan mereka di hari itu.

Suasana hening. Reno dan Rayna enggan membuka pembicaraan. Lagipula, saat ini di tempat itu, Rayna adalah bawahan Reno. Secara otomatis, Rayna harus menghormati Reno dan tidak boleh salah bicara.

“Oh iya. Terimakasih untuk yang semalam,” kata Reno singkat sambil menyunggingkan senyum kecil tanpa diperlihatkan pada Rayna. Pandangan matanya tetap ke depan.

Rayna mengernyitkan keningnya sedikit. Semalam? pikirnya. “Oh yang itu. Tidak masalah, Pak. Anggap saja itu hiburan dari sekretaris Pak Reno.”

Reno tertawa mendengar Rayna memanggilnya dengan nama Pak Reno.

“Ngomong-ngomong, sebagai seorang petinggi perusahaan, Anda rajin sekali, Pak. Ini bahkan masih jam 7. Biasanya petinggi perusahaan itu datangnya agak siang.” Entah keberanian dari mana, Rayna mengeluarkan kata-kata itu pada Reno.

“Jika aku berada di rumah dalam waktu lama, aku bisa mati di sana. Aku berangkat awal karena di rumah tidak ada yang bisa ku ajak bicara atau bercanda. Jika aku di kantor sejak pagi sekali, aku bisa bicara dengan banyak orang.” Reno menjawab santai, tanpa ada marah sedikit pun.

Satu hal yang bisa ditangkap dari kata-kata Reno yaitu dia merasa kesepian. Dengan kehidupan mewah, apapun bisa dia beli, tapi dia sama sekali tidak bisa membeli kebahagiaan. Rayna merasa iba pada Reno. Ia menatap punggung Reno dari belakang sambil berpikir bahwa mungkin saja Reno melampiaskan kekesalan, kesepian dan segala yang ia rasakan pada pekerjaannya di kantor.

Lima menit kemudian, keduanya sampai di depan sebuah ruangan. Sebuah meja berukuran agak besar, dilengkapi telepon, bunga imitasi dalam vas, sebuah komputer, dan beberapa buku yang tertumpuk rapi menghias sisi kanan pintu masuk ruangan itu.

“Ini meja kerjamu dan itu ruanganku.”

Rayna melihat sebuah pintu berwarna coklat tak jauh dari meja kerjanya.

“Tunggu di sini. Mira akan datang untuk membimbingmu di hari pertama. Aku masuk ke sana dulu.” Reno menunjuk ke arah ruangannya.

“Baiklah. Terimakasih, Pak.”

.....

Sepuluh menit Rayna menunggu seseorang bernama Mira yang akan membimbingnya di hari pertama bekerja sebagai sekretaris. Sosok wanita bernama Mira itu memiliki paras yang manis dan tinggi badannya mungkin sekitar 160 sentimeter. Mira tampak ramah, dari kejauhan ketika melihat Rayna yang berdiri di dekat mejanya saja sudah memamerkan senyumnya. Rayna pun membalas senyum wanita manis itu.

“Mbak Rayna, ya?” tanya Mira dengan nada ramah.

“Iya, Mbak. Salam kenal.” Rayna menjabat tangan Mira.

Mira pun menyambutnya dengan senang. “Saya Mira. Pak Reno meminta saya untuk mengenalkan tugas-tugas mbak dan menjelaskan beberapa tempat penting di kantor ini.”

....

Dua jam kemudian.

Mira merasa bahwa Ryna mendapat penjelasan yang cukup banyak hari itu. Ia yakin bahwa Rayna pasti dapat bekerja dengan baik karena dia memiliki pengalaman di bidang yang sama dan profesi yang sama.

“Apakah ada yang ingin dijelaskan lagi, Mbak?”

“Mbak, memangnya di kantor ini dibolehkan berpakaian seksi?” tanya Rayna polos setelah ia melihat seorang wanita berpakaian ketat dan bahkan belahan buah dadanya nampak jelas dari kejauhan.

Mira tertawa lirih yang sukses membuat Rayna semakin bingung.

“Mbak, orang yang seperti itu tidak usah ditiru. Berpakaian senyaman Mbak Rayna saja.” Seakan Mira tahu bahwa yang dimaksud Rayna adalah wanita yang baru saja melewati mereka. “Biasanya karyawan yang berpakaian seperti itu adalah simpanan petinggi perusahaan. Mereka sengaja berpakaian seksi untuk menarik mata buaya para petinggi. Bahkan dulu ada yang kepergok sedang bercumbu, mm...adegan syur.” Mira menjelaskan dengan suara lirih sekali, nyaris berbisik supaya tidak terdengar oleh siapapun.

Rayna menutup mulutnya, refleks ketika dia heran dengan penjelasan Mira bahwa di kantor itu ada yang kepergok sedang bercumbu.

“Saran saya, mbak Rayna jangan berpakaian seperti itu. Hanya untuk melindungi diri mbak. Karena jika ada yang melirik mbak, bahkan naksir mbak maka mbak harus menuruti nafsu bejat mereka.”

Rayna lebih terkejut mendengarnya. “Mbak, apakah Pak Reno juga seperti itu?” tanya Rayna penasaran.

Mira menggeleng. “Terkecuali Pak Reno, Mbak. Dia bahkan tidak bisa minun alkohol. Orang-orang di sini mengatakan bahwa Pak Reno memiliki iman yang bagus, ia bisa menahan godaan apapun.”

Rayna merasa lega. Setidaknya, atasannya tidak seperti itu. Rayna sedikit membayangkan seorang karyawati yang bercumbu dengan petinggi perusahaan. Tiba-tiba ia merasa merinding.

....

Tiga hari berlalu. Rayna sudah mampu menjadi sekretaris yang diandalkan oleh Reno. Tetapi setiap Reno tidak ada di ruangannya, ia merasa takut dan cemas. Bagaimana jika ada seseorang menggodanya?

Ah tidak mungkin, pikir Rayna. Tidak mungkin ada yang seperti itu. Jika dirinya tidak berpakaian seksi maka tidak akan ada yang mengganggunya.

Kriiiing!

Rayna terlonjak kaget. Di saat dia sedang setengah melamun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Reno tertulis jelas di layar ponselnya. Sejak kapan ia menyimpan nomor ponsel atasannya? Sejak kapan pula Reno tahu nomor ponselnya? Rayna semakin bingung.

Klik!

“Ya, halo, Pak Reno.”

“Na, tolong bawakan berkas ke ruang Direktur Tono. Aku akan menyusul ke sana.” Suara Reno terdengar jelas seakan pria itu ada di depan Rayna.

Direktur Tono? batin Rayna. “Baik, Pak. Saya segera antar berkasnya.”

Secepat mungkin Rayna mencari berkas yang ada di atas meja kerja Reno. Setelah ia mendapatkannya, Rayna terhenti sejenak. Tunggu, Direktur Tono bukannya yang seorang buaya itu? pikir Rayna. Tiba-tiba ia merinding dan takut pergi ke ruangan direktur itu. Tapi di sisi lain, Reno menyuruhnya ke sana. Bahkan dia mengatakan bahwa akan menyusul Rayna.

“Baiklah, tidak perlu takut.” Rayna bicara sendiri seakan menguatkan dirinya sendiri agar tidak takut pergi ke ruangan direktur buaya itu.

.....

Sesampainya di depan ruangan Direktur Tono, Rayna menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Reno.

“Dia bilang akan menyusulku. Sekarang mana batang hidungnya?” lirih Rayna kesal karena ia tidak melihat Reno di sana.

“Kau mencariku?” Reno bicara dari belakang Rayna dan mendekatkan mulutnya pada telinga kiri Rayna.

“Oh, astaga!” Rayna terlonjak kaget. Hampir saja jantungnya copot dari tempatnya. Ia mengelus dada dan menormalkan kembali detak jantungnya.

Bukannya simpati, Reno malah heran melihat Rayna. Dia tidak membentak gadis itu. Tidak juga berbicara dengan nada tinggi. Tapi Rayna nampak sangat kaget.

“Sini berkasnya.” Reno mengambil berkas yang dibawa Rayna begitu saja. Tak lama kemudian, ia membuka pintu ruang kerja Direktur Tono. Rayna pun mengekor di belakangnya.

Ceklek!

Knop pintu berhasil dibuka. Saat hendak menghampiri pria berusia 40-an itu, tiba-tiba Reno membalikkan badan dan menatap Rayna.

Rayna sontak kaget lagi. “A, ada apa, Pak?” tanya Rayna berbisik.

Reno menunjuk pada sebuah cermin yang memantulkan gambar si empunya ruangan. Terlihat lah bahwa Direktur Tono sedang melakukan sesuatu yang vulgar dengan sekretarisnya. Wanita yang menjadi selingkuhannya itu pun sangat menikmati permainan lidah Tono di area sensitifnya. Reno dan Rayna melihat kejadian itu dari cermin yang ada di ruangan Tono. Nampak wanita yang menjadi sekretarisnya itu membuka semua kancing kemejanya beserta bra. Sehingga buah dadanya terpampang nyata di depan mata sang buaya.

Rayna merasa malu melihat adegan itu. Ia menundukkan kepalanya, enggan melanjutkan kegiatan menonton adegan tak senonoh itu.

Reno mengetuk pintuk beberapa kali. Lalu dari cermin itu terlihat bahwa sang direktur dan sekretarisnya kaget. Mereka merapikan baju masing-masing agar nampak normal seperti biasa. Dalam hitungan puluhan detik, Reno masuk menghampiri dua insan yang baru saja melakukan adegan mesum.

“Wah, rupanya ada yang baru saja bersenang-senang,” kata Reno santai.

Bruuuk!

Ia menaruh berkas-berkas yang dibawa Rayna tadi, di atas meja kerja Tono. “Berkasmu sudah ku tanda tangani. Kapan-kapan kau harus mengajariku cara memuaskan wanita.”

Tak berselang lama, Reno pergi dari ruangan itu. Sedangkan Rayna masih mematung di depan pintu. Entah apa yang dipikirkan gadis itu ketika sang atasan sudah pergi dari ruangan itu, ia malah melamun di depan pintu.

Reno berdiri dengan jarak lima langkah dari Rayna. Ia menoleh ke arah sekretarisnya. “Sedang apa di sana? Kembali ke tempatmu!” perintahnya pada Rayna.

Sontak Rayna terkejut, lamunannya pun buyar. Ia berjalan menyusul Reno yang ada di depannya.

“Apa yang kau pikirkan, huh?” tanya Reno yang merasa heran melihat sekretarisnya bertingkah aneh. “Melamun setelah melihat adegan tadi?”

“I, itu... Anu... Ti, tidak. Bukan itu, Pak.”

Reno tertawa geli. Mungkin baru kali ini Rayna melihat adegan syur seperti tadi. “Lalu apa yang kau pikirkan?” tanya Reno santai, sebelum masuk ke ruangannya.

Mereka berdua berdiri di depan ruangan Reno. Pria itu penasaran sekali pada Rayna. Ia menduga bahwa Rayna melamun memikirkan kejadian yang dilihatnya tadi.

“Tidak semua petinggi perusahaan berbuat tak senonoh seperti itu. Bersyukurlah kau mendapatkan atasan sepertiku. Aku tidak berminat melakukan hal yang seperti tadi pada wanita yang bukan istriku. Itu namanya pelecehan seksual,” terang Reno. Otomatis hal itu membuat Rayna merasa lega.

Reno melihat perubahan ekspresi pada Rayna. “Tunggu! Jangan-jangan kamu tadi memikirkan hal yang seperti itu? Kamu mengira kalau aku seperti Direktur Tono?”

Rayna membelalakkan kedua bola mata indahnya. Bagaimana Reno bisa tahu bahwa dirinya sedang memikirkan hal itu? Dia bahkan tidak berani menanyakan hal itu pada Reno. Gadis itu tak bisa menjawab. Dia berdiri layaknya patung es yang telah membeku di depan Reno. Melihat eskpresi Rayna yang menurutnya lucu, membuat Reno tertawa terpingkal-pingkal.

“Jangan memikirkan hal-hal yang aneh. Tugasmu adalah bekerja. Jangan berkhayal. Tidak baik seperti itu,” kata Reno di sela-sela tawanya.

Rayna sedikit kesal pada Reno. Pada akhirnya, dia yang selalu dikerjai oleh atasannya itu.

“Polos sekali,” gumam Reno saat membuka pintu ruang kerjanya.

.....

Bekerja seharian membuat Rayna merasa seperti kerbau yang dipaksa membajak sawah selama dua hari. Badannya terasa pegal-pegal, matanya lelah karena harus menatap layar komputer selama beberapa jam. Meskipun diselingi istirahat. Suasana kantor malam itu cukup sepi. Ada beberapa karyawan yang sengaja kerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tapi hanya satu atau dua orang yang melewati ruangan Reno.

Ceklek!

Suara pintu dibuka dari dalam. Rayna menoleh ke arah pintu itu. Benar saja, tak lama kemudian, Reno melangkahkan kakinya keluar dari pintu itu. Pakaiannya agak lusuh dan dia pun hanya memakai sandal, bukan sepatu pantofel seperti sebelumnya. Melihat sang atasan berpenampilan agak aneh tersebut membuat Rayna bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi pada Reno?

“Pak Reno.” Rayna masih melihat penampilan Reno dari atas sampai ke bawah.

“Kenapa?” tanya Reno sebelum ia meninggalkan tempat itu.

“Pak Reno mau ke mana?” tanya Rayna penasaran ke mana Reno akan pergi dengan kostum seperti itu.

“Mau makan malam di restoran Jepang. Kenapa? Mau ikut?” tanya Reno lagi.

Rayna terdiam. Ia berpikir seorang wakil presdir akan pergi makan malam dengan penampilan seperti itu? “Pak Reno yakin dengan pakaian seperti itu?”

Reno melihat penampilannya sendiri. “Memangnya kenapa? Aku sudah terbiasa begini saat lembur. Jadi ketika makan malam juga seperti ini.”

Dalam hati Rayna tertawa geli. Seorang sultan makan malam dengan sandal jepit? Wah, ini langka sekali.

“Kenapa bertanya begitu? Kau mau menemaniku? Kalau begitu, ayo!” Reno menarik lengan Rayna. Membuat gadis itu terpaksa mengikuti kemauannya.

Restoran Jepang terletak sangat dekat dari kantor. Mereka berdua hanya berjalan kaki di pinggir jalan agar sampai di tempat itu. Malam itu nampak sepi. Jalan raya basah terkena hujan beberapa saat yang lalu. Udara malam itu pun agak dingin akibat hujan deras yang mengguyur kota Jakarta.

Langit masih mendung. Tetapi karena hari itu sudah malam maka mendung pun tak terlihat. Hanya titik-titik gerimis yang dapat dirasakan oleh orang-orang pengguna jalan, termasuk Reno dan Rayna.

Sepuluh menit berjalan kaki akhirnya mereka sampai di restoran Jepang. Rayna merasa sudah tak asing lagi dengan tempat itu. Beberapa kali dia masuk ke tempat itu untuk bertemu Sofi.

Rayna dan Reno duduk berhadapan layaknya pasangan kekasih. Ketika pelayan memberikan buku menu padanya, dia pun bingung mau memesan makanan atau minuman apa yang sesuai dengan seleranya. Jujur saja, Rayna memang hanya satu kali makan masakan Jepang.

Seolah mengerti apa yang terjadi pada Rayna, Reno pun bertanya pada sekretarisnya itu. “Mau pesan apa?”

Rayna bingung. “Pesan makanan yang sama dengan Pak Reno saja. Minumnya cocktail,” jawabnya. Dia yakin nantinya pilihan makanan Reno tidak akan mengecewakan lidahnya. Dia pun ingin merasakan makanan yang dimakan atasannya, rasanya seperti apa, enak atau tidak.

Tap! Tap! Tap!

Terdengar suara sepatu dari langkah seseorang yang berjalan mendekati keduanya. Rayna yang duduk membelakangi pintu masuk pun terlihat santai karena ia tidak melihat seseorang yang sedang berjalan ke arah mereka. Sedangkan Reno, tidak menyadari bahwa yang datang adalah Clara.

“Oh, jadi begini kelakuan wakil predir Reygold Corp? Selingkuh? Tunggu, siapa wanita itu? Sepertinya baru kali ini aku melihat wajahnya.” Clara duduk di bangku antara Rayna dan Reno.

Rayna kaget melihat kehadiran Clara saat itu. Ia sama sekali tidak mengenal Clara.

“Kalau kamu mau gabung, silahkan saja. Tidak usah banyak tanya ataupun komentar,” ketus Reno yang otomatis membuat Clara kesal.

“Baiklah. Kalau begitu, usir wanita itu dari tempat ini. Aku tidak mau makan semeja dengan gadis dungu seperti itu.” Clara, wanita super sombong itu bertingkah menjengkelkan lagi dan lagi.

Mendengar sekretarisnya direndahkan seperti itu, Reno langsung berdiri kemudian memanggil pelayan.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya pelayan itu.

“Saya minta pesanan saya tadi dibungkus saja. Sekarang tolong kasih bill (tagihan) nya.”

“Baik, Pak.” Tak lama kemudian, pelayan itu kembali dengan makanan yang sudah dipacking rapi dan bill nya.

Reno membayar semua tagihan itu kemudian mengajak Rayna meninggalkan tempat yang sudah memuakkan baginya.

“Kau... Berani seperti itu?” Merasa diacuhkan oleh Reno, Clara pun kesal dan marah. Dia hendak merusak perabot restoran itu namun dihalangi oleh pelayan yang tadi memberikan bill pada Reno.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status