Share

Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing
Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing
Penulis: Lavender My Name

1. Permintaan Aneh Dinda

“TUHAAAAAN!!!! Kalau sampai pendadaran besok, gua nggak lulus lagi. Gua mau merit sama siapa aja yang ngajak gua nikah duluan!!!!”

Sebuah teriakan terdengar dari salah satu kamar, rumah besar bercat putih yang terletak di komplek perumahan elit kota J. seiring berhentinya teriakan itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di atas langit. Awan hitam mendadak menyelimuti kota J.

“Dindaaaaaa!!!” Suara gedoran dan teriakan  di depan pintu kamar Dinda terdengar tak kalah keras.

“Apaaa?!”

“Jangan ngomong yang nggak-nggak! Kalau beneran gimana? Sapa yang mau nikah sama lu! Anak bau kencur sok-sokan minta nikah!”

“Apaan sih, Kak! Yang nikahkan Dinda, kenapa kakak yang sewot?”

Perang mulut tak berujung antara dua bersaudara, kembali mewarnai suasana Jumat siang di rumah Broto Handjoyo, seorang saudagar kain dan pemilik peternakan sapi yang berjumlah ratusan ekor.

****

Hari ini adalah kali kedua Dinda, gadis cantik berusia 22 tahun, maju sidang skipsi. Sayangnya, sama dengan sidang pertama satu bulan yang lalu, Dinda kembali dinyatakan tidak lulus oleh tim penguji, yang salah satu anggotanya  tidak lain dan tidak bukan, pembimbingnya sendiri.

Sebuah kerikil yang berukuran sedang ditendang kuat oleh Dinda. Ia melampiaskan kekesalannya. Dinda tidak habis pikir. Kesalahan apa yang ia lakukan selama sidang tadi. Padahal  ia bisa menjawab semua pertanyaan yang diuji tim penguji dengan benar, tapi mengapa dirinya masih gagal lagi?

“Sabar, Din. Gua tetap bakal nemenin lu belajar di perpus.” Yuda menepuk bahu Dinda, seraya menunjukkan rasa simpatinya yang sangat dalam. Yuda adalah teman seangkatan Dinda dan maju sidang bersamanya hari ini. Bedanya, Yuda berhasil melewati semuanya. Ia termasuk yang dinyatakan lulus.

“Tau begini, gua mending nonton drakor aja sebulan ini. Nyesel gua, Mak. Nyesel!” Dinda kembali menendang satu kerikil di depannya. Dia tidak ambil pusing ketika kerikil itu jatuh tepat mengenai kening seseorang, dan menyebabkan luka gores yang cukup memprihatinkan.

Dinda tetap meneruskan langkahnya ke kantin, mengabaikan tatapan tajam seseorang.

“Satu mangkok soto, bakwan goreng, lumpia, sosis, martabak,  Es jeruk. Kerupuk sama sambal.”  Kasir kantin kampus sibuk menghitung pesanan Dinda, lalu segera mengantarkan nampan yang  sudah penuh itu ke meja Dinda.

“Apa sih  maksud itu dosen? Suka sama gua? Nggak mau kalau gua lulus cepat dan dapat gelar cumlaude? Takut kehilangan gua? Pengen ngambil gua jadi menantunya, gitu?” Dinda meneruskan omelannya sambil mencelupkan bakwan ke piring sambal yang sudah dicampur petis di dalamnya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya.

“Pelan-pelan, Din. Entar keselek loh. Lagian mana mau ngambil lu mantu. Orang dia aja masih ngejomblo.” Mita ikut nimbrung, duduk di samping Dinda.

Mita memperhatikan dengan seksama wajah sahabatnya itu. Ada satu titik bening di sudut mata Dinda, dan itu tidak luput dari perhatian Mita. Ia mengambil satu tisu lalu menyodorkannya ke Dinda.

“Hapus tuh. Jangan sampai mereka ngelihat lu begini.”

“Gua….” Dinda menghentikan kunyahannya, ketika beberapa orang datang menghampiri meja Dinda.

“Din …” Salah satu dari mereka bersuara. Suara yang terdengar penuh penyesalan. “Maaf …”

Dinda mendongakkan kepalanya. Ia mengerjapkan kedua matanya . “Kenapa?” Dinda lantas mengangkat dan mengibaskan tangan kanannya ke atas. “Bukan salah kalian. Dia-nya aja yang sentimen ke gua. Pertanyaannya sama kan. Jawaban lu juga sama dengan yang gua ajarkan selama dua bulan ini. Gua juga kasih jawaban yang sama. Tsk. Gak habis pikir gua. Bener-bener gak habis pikir.”

Semua terdiam.

Perlu diketahui. Semua yang maju sidang  skripsi hari ini, adalah peserta sidang yang dinyatakan tidak lulus di sidang ujian sebelumnya. Selama dua bulan terakhir, mereka secara sukarela telah menjadi mahasiswa dadakan Dinda.  Mereka mendatangi Dinda, meminta belajar bersama.

Dan secara kebetulan,  semua  materi uji, sama persis dengan dengan apa yang telah diterangkan dan dijelaskan oleh Dinda selama ini.

Tapi anehnya, dari dua belas orang yang, yang maju sidang di hari yang berbeda, semua dinyatakan lulus, kecuali Dinda. Sang  guru justru terjegal lagi. Dinda harus mengikuti sidang ujian skripsi untuk ketiga kalinya, bulan depan.

Hal yang sama sekali tidak terlintas dalam benak semua orang.

“Gua yang bayarin, Din. Lu makan aja sepuasnya selama seminggu ke depan.” Yuda berkata dengan sungguh-sungguh.

“Minggu berikutnya gua, Din.” Seno tak mau kalah dengan Yuda

“Pokoknya, lu bebas makan apa aja di kantin ini, sampai lu dinyatakan lulus dari sidang.” Mita kembali menegaskan keinginan mereka.

Setidaknya, mereka menunjukkan rasa terima kasih dan setia kawan pada Dinda, dosen dadakan mereka yang baik hati dan tidak sombong.

“Yah, pelit. Kenapa Cuma di kantin ini doang? Mbok ya tiap hari, dimana pun tempatnya. Itu baru murid yang berbakti pada cikgu-nya.”

“Itu sih, nunggu kalau gua udah keterima di BUMN kali, Din. Melihat nafsu makan lu yang segede gini, mana kuat dompet gua yang sekarang. Bisa-bisa gagal nikah gua.”

Tiba-tiba suasana kantin sepi. Yuda mengirim kode untuk semua. Ada rombongan  yang tidak diundang datang ke kantin. Beberapa dosen masuk, berjalan ke depan mengambil makan siang.

“Lah?! Kenapa pada maksi di sini, sih? Nggak dapat jatah nasi kotak?” Gumaman  Mita ternyata terdengar oleh Yuda.

“Hush! Diam. Kasihan Dinda.”

Yuda memperhatikan mimik wajah Dinda yang langsung berubah, begitu melihat dosen pembimbingnya berada dalam rombongan itu. Gadis itu tiba-tiba berdiri, mengejutkan semua yang semeja dengannya.

“Gua balik dulu. Nggak nafsu lagi gua.”

Gadis itu memutar tubuhnya, melangkah lebar dan cepat meninggalkan kantin. Perasaan Dinda kembali mendung. Sosok dosen pembimbingnya sudah berhasil merusak semua mimpinya hari ini, dan Dinda sudah menyatakan perang pada sosok itu.

Ia sudah tidak sudi lagi menatap wajah pembimbingnya itu. Demi Tuhan. Dinda kembali berdoa dalam hati. Ingin bibirnya mengucap doa sakit hati, tapi hati sucinya melarang.

Dinda segera berlari  meninggalkan kampusnya, menuju halte, mencegat bis yang bisa mengantarkannya pulang secepat mungkin. Ia ingin segera melabuhkan kepalanya ke dalam pelukan Sari.

-0-

Tangis yang sejak tadi ditahannya, kini tumpah ruah di pangkuan Sari, 47 tahun, istri Broto Handjoyo. Wanita yang masih terlihat cantik itu mengusap lembut punggung putri semata wayangnya. Ia merasakan semua kekesalan Dinda.  Betapa usaha yang dilakukan putrinya sudah begitu keras.

Dinda yang selama ini masih sering bolong-bolong sholatnya, semenjak ia menyusun skripsi mulai memperbaiki sholatnya. Ia, yang lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptopnya demi melihat drama korea kesayangannya , mulai mengganti tontonannya. Ia mulai mendengar banyak kajian keagamaan. Ia pun mulai merajinkan sholat tahajud, demi kelancaran penyusunan skripsi dan sidang skripsinya.

Sari sangat maklum jika putrinya itu merasa sangat kecewa, terlebih lagi Dinda membagi ilmunya kepada teman-teman mahasiswa yang juga sedang memperjuangkan skripsi seperti dirinya.

“Ma,” panggil Dinda di sela tangisnya.

“Ehmm?”

“Kalau besok Dinda nggak lulus lagi. Tolong  carikan calon suami buat Dinda ya?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ines Meliana
menghibur...sangat fantastis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status