Share

3. Dinda-ku Sayang, Dinda-ku Malang

Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Pengunduran jadwal sidang skripsi diundur hampir tiga bulan. Itu artinya ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.

Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya  untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.

Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.

“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.

“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia melihat rivalnya sudah berdiri di samping mejanya. Sebenarnya, Dinda tidak pernah menganggap gadis cantik di depannya sebagai rival, hanya saja karena gadis itu selalu saja mencari gara-gara dengannya, setiap kali mereka berpapasan dan setiap kali mereka bertemu saat berkonsultasi dengan dosen yang sama. Mega juga menjadi pembimbing Mona.

“Ntar juga lu lulus. Meski bisa jadi, lu baru lulus setelah gua nikah ma direktur kaya raya,” ejek Mona sambil tertawa puas. Ia bersama dengan geng centilnya, beramai-ramai mengolok-olok Dinda.

Dinda menatap mereka dengan tatapan malas. Ia sedang malas meladeni gitar-gitar spanyol tanpa senar di depannya, yang sama sekali tidak seksi menurutnya.

“Eh, lu. Udah nggak jamannya kali mahasiswa bergaya kek anak kecil begini. Emang siapa yang mau nikahin elu? Badan lu aja full oplas semua. Dinda  dong masih orisinil semua.” Tiba-tiba Mita sudah berdiri di belakang Dinda.

"Luuu...!" Mona mengepalkan kedua tangannya. 

Disindir sedemikian rupa oleh Mita, membuat Mona tidak dapat membalas panjang lebar, karena itu memang kenyataannya. Ia meninggalkan Dinda dan Mita, diikuti geng-nya, sambil menahan malu teramat sangat.

“Noh! Rasain lu! Mentang-mentang udah lulus sidang. Gua yakin, Din. Seribu seratus sebelas persen yakin. Dia lulus bukan karena bisa menjawab semua pertanyaan penguji, tapi pasti udah nyuap ketua tim dengan bodi palsunya itu.” Mita menjatuhkan tubuhnya di kursi seberang Dinda.

“Hussh! Ngomong yang bener. Jangan asal tuduh begitu.” DInda kembali meletakkan kepalanya di atas meja. Mengabaikan Pak Yon yang datang mengantarkan es jeruk pesanannya.

“Dibilangin kagak percaya lu sama gua.”

“Beneran??” Dinda membulatkan kedua netranya.

“Kalau lu berani, tanya ma Pak Arya  noh. Doi pasti sudah pernah disamperin sama Si Mon-Mon itu.”

“Pak Arya? Pak Arya yang mana?”

“Tsk. Lu sekarang kenapa lemah ingatan banget sih Din? Pak Arya. Pak Arya. Pak Arya yang tempo hari lu ajakin nikah, pas kita papasan di depan kampus!”

“Whats!!!  Dia???! Masa iya?! Mengapa seleranya nggak berkelas begitu? Nggak jadi deh kalau gitu. Ternyata dia sudah nggak perjaka lagi.” Dinda langsung mengangkat kepalanya.

Percakapan kedua makhluk Tuhan ini makin ke sini makin kacau. Untungnya, perpus masih sangat sepi. Hanya ada mereka berdua.

setelah berdiskusi dengan Mita, Dinda akhirnya memutuskan untuk mengulang mata kuliah yang membuatnya tidak lulus dalam sidang skripsi. Mungkin ia harus memperdalam manajemen komunikasi, yang semester ini diampu oleh Pak Hasan, ketua tim pengujinya, yang sebelumnya diampu oleh Mega Sandrina, dosen pembimbingnya.

-0-

Siang itu, Mita dan  Dinda mengentri mata kuliah yang akan diambilnya semester sembilan ini. Mita sendiri memang masih harus mengulang beberapa mata kuliah karena nilai yang begitu mepet. Salah satunya, mata kuliah yang diambil Dinda.

“Semoga beneran ganti dosennya. Pak Hasan seratus kali lebih baik dari sebelumnya. Ah, dia yang namanya malas aku sebutkan,” ujar Dinda penuh harap.

Mita sontak terpingkal-pingkal mendengar ujung kalimat Dinda. “Emang Voldemort?”

“Sebelas dua belas. Bedanya, dia woman aja.”

Tawa Mita semakin keras. Mereka tidak tahu jika  ada perubahan lagi untuk kedua kalinya.

Di sisi lain, di  sayap kanan gedung utama fakultas ekonomi, tepatnya di bagian administrasi, bunyi mesin printer sedang memenuhi ruangan, mencetak jadwal perkuliahan yang baru lengkap dengan nama dosen pengampu.

-0-

“Ma.” Arya mendatangi wanita berkacamata yang tengah membaca sebuah surat undangan pernikahan yang baru saja diterima dari satpam perumahan.

“Ada apa?”

“Soal yang kemarin ….”

“Mmm.”

“Itu beneran?”

“Memang terlihat seperti gurauan?”

“Bukan begitu, Ma. Sekarang kan bukan jamannya Siti Nurbaya lagi. Jumlah populasi cewek cantik juga sudah melesat tajam. Berbagai pilihan ada di depan mata. Mengapa harus lewat jalur ini, gitu loh?”

“Nah. Mengapa kamu belum juga membawa calon istri ke hadapan mama sama  papa?”  Wanita berwajah putih bersih itu menatap tajam Arya.

“Belum ketemu, Ma.”

“Makanya. Daripada kelamaan, mending mama dan papa aja yang mencarikan buat kamu sama abang kamu.”

“Abang aja.” Arya berusaha menyelamatkan dirinya.

“Ya, kamu juga.”

“Arya entar cari sendiri, Ma.”

Kali ini, wanita bernama Anggun itu meletakkan undangan di tangannya ke atas meja makan. “Dari dulu juga ngomong begitu, tapi sampai sekarang mana orangnya?”

Arya berdecak kesal. “Yah, Mama. Nyari istri itu kan nggak boleh sembarangan. Harus hati-hati.”

“Oleh karena itu, lebih baik Mama yang carikan. Udah. Percaya aja sama Mama. Kamu pasti nggak akan nolak. Kalau kamu keberatan, ya biar nanti buat abang kamu aja.”

Arya tidak lagi bersuara. Pikirannya justru berlabuh pada sosok gadis di kampusnya. Seandainya gadis itu adalah dia. Angan Arya berharap banyak.

“Besok kamu tetap harus datang menemui Om Broto. Papa sudah menghubunginya minggu lalu.”

-0-

“Pa,” panggil Sari ketika menyambut kedatangan Broto dari kantor.

“Ada apa, Ma?” Broto melepas kedua sepatunya lalu duduk sejenak di kursi teras.

“Papa beneran dengan rencana itu? Dinda masih kecil, loh?” Sari membawa tas kerja Broto ke pangkuannya.

“Mama ini gimana. Kemarin katanya setuju, sekarang malah bingung sendiri. Usia Dinda tahun ini sudah 23 tahun. Kecil itu, kalau dia baru lulus SMP. Sebentar lagi kan, anak mama itu jadi sarjana. Sudah pantas untuk menikah.”

“Kalau tunangan dulu bagaimana?”

Broto langsung menggelengkan kepalanya. “Dalam ajaran agama kita, tidak mengenal istilah tunangan. Jika cocok dan sama-sama setuju, lebih baik disegerakan atau justru tidak sama sekali.”

Sari tidak lagi melanjutkan pembicaraan itu. Suaminya itu, jika sudah mengambil keputusan tidak bisa dirubah lagi. Rayuan macam apa pun tidak akan mempan.

Ah. Dinda-ku sayang, Dinda-ku malang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status