Share

8. Persaingan

Mita yang sejak tadi menunggu Dinda keluar dari ruangan dosen, langsung menghampiri Dinda. Wajah Dinda yang masih bersemu merah, menimbulkan pertanyaan dalam diri Mita.

"Lu kenapa? Kok merah jambu begitu wajahnya?" Mita terus saja menatap wajah Dinda.

"Nggak. Nggak ada apa-apa." 

"Bohong, ah. Jujurlah. Doi ngajakin makan siang bareng?" 

"Nggaklah."

"Terus?"

"Nggak ngajakin apa-apa. Cuma disuruh balik lagi besok, nyerahin skripsi buat dipelajari, biar bisa bantuin pas sidang."

Mendengar itu, Mita berteriak heboh. "Ini pertanda bagus nih, Din. Moga aja kalian berjodoh. Buat mantan pembimbing  lu yang dulu, mati kutu."

Dinda menepuk keningnya. "Gawat ini. Kalau dia tahu dosen pembimbing gua Pak Arya, bisa-bisa dia bakal bikin masalah lagi sama gua."

"Tenang. Lu kan sekarang udah punya bodyguard."

"Bodyguard pala lu!"

"Serius. Percaya sama gua, doi pasti jatuh cinta sama elu."

"Tau dari mana?"

"Feeling gua kuat soal ini. Percaya, deh."

"Mau minta berapa mangkok bakso nih?"

Mita langsung memukul keras lengan Dinda. "Ah, elu, Din."

"Lu lagi pengen makan bakso kan?"

Mita nyengir kuda. "Kuy kalau begitu. Kita ke warung bakso Solo depan kampus." Mita menarik tangan Dinda, menuju mobilnya.

"Gua bawa mobil."

"Pake mobil gua aja. Lu ntar gua anterin ke kampus lagi."

"Kalau gitu sekalian anterin gua pulang ambil skripsi gua. Kali aja ntar Pak Arya masih ada di kampus."

"Oke."

-0-

"Ayo, Pak Arya makan siang dulu. Mumpung Pak Hasan sedang ulang tahun ini," seru Rudy staf administrasi yang bertugas di gedung rektorat. 

Saat itu, Arya baru saja menyerahkan blangko pendaftaran beasiswa S2 di Inggris. "Saya masih kenyang, Pak Rudy."

"Jangan menolak rezeki, Pak Arya. Siapa tahu di sana nanti Pak Arya bisa ketemu jodohnya." Hasan menjawil pundak Arya.

"Ah, Pak Hasan rupanya." Arya menatap dosen seniornya yang sudah lebih dulu lulus dari program Magister Management di Inggris. Karena rekomendasi Hasan-lah, Arya kini mengikuti jejak pria itu.

"Ayo, kita ke warung bakso depan kampus. Sudah lama nggak nongkrong bareng kawan-kawan di sini." Hasan berjalan lebih dulu di depan. 

Arya akhirnya menyerah. Ia yang sebenarnya sedang dalam program menjaga asupan gizi dengan mengurangi makan daging-pun, tidak dapat mengelak. Mereka ber-enam berangkat dengan dua mobil, mobil Arya dan mobil Hasan. 

Siang itu antrian mengular seperti biasa. Beruntung, pemilik warung memiliki hubungan cukup akrab dengan Rudy, sehingga mereka mendapatkan tempat yang cukup strategis. Di halaman luar warung, di bawah pohon mangga, yang tengah berbunga.

Tanpa sengaja, Arya menangkap sosok mahasiswi yang baru saja menjadi anak bimbingnya. Gadis itu tengah menggambar sesuatu dan menunjukkan pada teman di seberangnya. Keduanya lantas  tertawa. 

"Gimana, Pak Arya? Sudah dapat pandangan?" Hasan rupanya memperhatikan Arya sejak mereka duduk di tempat itu.

"Pandangan apa, Pak?" Arya hanya membalas singkat sambil tersenyum simpul.

"Kampus ini banyak cewek cantik. Di sini juga saya bertemu dengan ibu-nya anak-anak." Hasan memulai ceritanya.

"Oh, ternyata begitu. Ibu dari kampus sini juga?"

"Kuliahnya di tempat lain, tapi bekerjanya di sini. Waktu itu beliau masih dosen baru." 

Rudy lantas berdeham. "Sebenarnya Pak Arya ini sudah ada yang naksir, Pak Hasan."

"Oh, betulkah?"

"Iya, Pak. Bapak tahu Bu Mega?" Jiwa merumpi Rudy mulai memanas. 

"Astaga! Ngomong apa sih Pak Rudy?" Arya berusaha mencegah Rudy berbicara lebih banyak lagi.

"Yang suka sekali menggelung rambutnya itu? Yang satu tim dengan saya kemarin?"

"Iya, Pak. Bu Mega Sandrina, tapi Pak Arya-nya lari melulu."

Arya kesal bukan kepalang. "Bukan begitu, Pak Rudy."

Hasan mencoba menengahi. "Mungkin bukan tidak mau, Pak Rudy. Pak Arya mungkin sedang menaksir yang lain. Yang lebih cantik dan lebih seksi."

"Aduh, Pak Hasan jangan ikut-ikutan Pak Rudy, deh." Arya menjadi salah tingkah sendiri.

"Bisa saja kan. Mungkin Pak Arya sedang mengincar dosen dari fakultas lain."

Arya menyerah. Ia akhirnya membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan teman-teman kantornya. Netranya sesekali masih mencuri pandang empat meja di seberangnya, yang tampaknya tidak menyadari jika mereka berdua tengah berada di tempat yang sama. 

Tampak di pandangan Arya, Dinda tengah sibuk dengan ponselnya. 'Sedang menghubungi siapa?'

Ponsel Arya berkedip. Ia segera mengambil ponsel yang semula ia letakkan di meja. Dari nomor asing. Siapa?

* Selamat Siang, Pak. Saya Dinda Erdiana Maharani, mahasiswi transferan dari Bu Mega, Pak. Yang tadi pagi menghadap, Bapak. Maaf jika mengganggu. Apakah Bapak masih ada jadwal di kampus siang ini?

Wajah Arya langsung berubah. Ada seulas senyum tersungging di sudut bibirnya, dan itu ternyata tidak luput dari Hasan yang sejak tadi terus memperhatikan Arya.

* Saya ada di kampus sampai nanti sore. Ada apa?

* Mohon ijin untuk menyerahkan skripsi seperti yang Bapak minta tadi pagi.

* Temui saya satu setengah jam lagi di ruangan saya.

* Baik, Pak. Terima kasih.

Arya kini meletakkan ponselnya di saku kemejanya. Ia seperti seseorang yang baru saja mendapatkan barang yang sangat berharga.

Hasan tersenyum simpul. Tampaknya ia mengetahui siapa yang baru saja menghubungi Arya. 

"Oh iya. Saya baru ingat dengan seorang mahasiswi yang tidak lulus sidang kemarin. Siapa ya namanya, saya lupa." Hasan berpura-pura lupa dengan sosok yang ia ingat, meski dia benar-benar lupa dengan nama Dinda.

"Siapa, Pak?" Rudy membantu pelayan memindahkan mangkok bakso dari nampan ke meja.

"Cantik anaknya. Saya sering melihatnya di perpus pusat. Yang suka datang ke perpus rame-rame dengan teman-temannya. "

"Oh itu. Dinda kalau tidak salah namanya Pak Hasan. Kasihan anak itu."

"Apakah anaknya memang pintar?"

"Pintar, Pak. Setiap sore selalu mengajar teman-temannya, kalau nggak di halaman rumput di depan rektorat, perpus pusat atau di perpus fakultas. Yang saya heran mengapa dia bisa tidak lulus, sampai dua kali lagi, sedangkan teman-teman yang belajar dengannya lulus semua."

"Sewaktu saya menempel pengumuman pengunduran jadwal sidang skripsi, wajahnya tambah memprihatinkan sekali. Setiap saya  ingat ekspresinya, saya merasa pengen memeluk, memberi semangat atau melakukan semacamnya."

"Hush! Nggak boleh asal peluk. Bukan Muhrim." Arya tiba-tiba nyeletuk.

Hasan hanya bisa menggeleng. "Sepertinya ada masalah antara dia dengan pembimbingnya. Jawaban dan penjelasannya tidak ada yang salah. Cara menjelaskannya pun enak, mudah dipahami dan benar."

Arya memilih kembali diam.

"Mungkin Pak Arya tahu penyebabnya?" Hasan menatap Arya dengan tatapan serius.

"Saya tidak tahu, Pak. Saya juga terkejut melihat nilai yang diberikan oleh Bu Sandrina. Untuk anak dengan penjelasan sedetil itu dan benar, mengapa diberi nilai D."

Semua orang terdiam.

"Mungkin ada semacam persaingan diantara kedua orang ini." Hasan kembali berbicara.

"Maksudnya, Pak?" Rudy kali ini menatap serius ke arah Hasan. "Tidak mungkin persaingan mendapatkan nilai'kan Pak Hasan."

"Jelas bukan itu. Rivalitas yang saya maksud di sini adalah rivalitas dalam menarik perhatian seseorang. Sehingga saat orang yang mendapatkan perhatian lebih dari yang diincar, ia menjadi korbannya."

Arya berkidik. Ia tidak mau ikut berspekulasi dengan Hasan, dan tidak mungkin yang dimaksud adalah dirinya.

"Maksud Pak Hasan, Bu Sandrina menganggap Dinda sebagai saingannya untuk mendapatkan Pak Arya?" Rudy sangat penasaran.

"Sudah-sudah. Mari kita hentikan pembicaraan ini. Saatnya kita makan bakso. Keburu dingin nanti kuahnya." Arya dengan sigap memasukkan satu butir bakso ke mulut Rudy. Ia tidak ingin pembicaraan melantur dan tidak ada gunanya ini semakin panjang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status